Mila mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi karena wanita paruh baya di depan ini benar-benar mengganggu. Harusnya Bu Sinta itu tidak perlu sampai ke titik seperti itu, seolah-olah dia tidak akan menerima Mila apa pun yang terjadi pada sang wanita. "Bu, aku tahu, aku ini salah karena sudah merebut Mas Raka dari Lusi. Tapi, aku memang benar-benar mencintai Mas Raka. Walaupun Mas Raka sekarang bukan sekaya dulu, aku akan tetap mencintainya setulus hati dan menerima Mas Raka," ujar Mila dengan suara lemah lembut. Dia masih berusaha bersabar menghadapi Bu Sinta. Bukannya luluh, Bu Sinta malah kesal mendengar perkataan dari Mila. "Jadi, maksudmu anakku itu miskin, hah?! Dengar, ya! Kalau bukan gara-gara kamu, anak aku itu masih kaya. Meski dia tidak punya harta, tapi Raka punya kemampuan untuk memimpin perusahaan. Sekali lagi, semua gara-gara kamu! Kalau kamu tidak datang dalam kehidupan Raka, anakku tidak akan sengsara seperti ini dan tentu saja
"Tapi, Bu. Aku takut menyakiti anakku yang ada di dalam perut. Bagaimana kalau misalkan itu malah membuat anakku benar-benar sakit di perut ini?" tanya Mila berusaha menghalau agar Bu Sinta mengurungkan niatnya untuk tes DNA. Karena bagaimanapun pasti akan mengganggu janin itu yang masih kecil. Jadi, takut kalau misalkan tes DNA malah membuat bayinya kesakitan. Bu Sinta berdecak keras. Dia tiban muka sebentar sambil mencebik, lalu kembali melihat Mila dengan kesal. "Ya sudah kalau begitu. Tidak usah mendekati anakku. Apa sih susahnya tes DNA? Nanti juga dokter pasti ngasih tahu umur kandungan berapa Bisa di tes DNA. Itu hanya alasanmu saja agar tidak ketahuan kalau anak itu bukan anak Raka kan?" ujar Bu Sinta membuat Mila serba salah. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi, karena keras apa pun dia menolak pasti wanita paruh baya itu meminta Mila untuk tes DNA. Ini benar-benar membuat Mila kelabakan dan mungkin bisa rugi total. "Kenapa diam saja, sih? Kamu tidak mau menjawab? Ka
"Kenapa Mbak tiba-tiba saja sudah ada di depan gerbang? Bukankah aku belum menghubungi Mbak Adiba?" tanya Maura saat sudah ada di dalam mobil. Sebelumnya gadis itu memang sengaja keluar terlebih dahulu, takut jika dicegat oleh Anaya atau Rani. Tetapi siapa sangka? Ternyata Adiba sudah ada di depan gerbang sekolah. Padahal sebelumnya dia akan menghentikan taksi atau angkutan umum untuk pergi ke restoran Devan. Tentu saja bertemu dengan Raka dan juga sekutunya, Arya. Hanya saja, Adiba sudah ada di depan mata.Gadis itu awalnya pura-pura tidak tahu, tetapi Adiba terus saja membunyikan klakson, membuat sang gadis tidak punya pilihan lain. Kalau sampai banyak orang yang melihat, apalagi jika Anaya dan Rani mengetahui keberadaannya. Bisa-bisa besok akan habis oleh kedua siswi itu. Meskipun memang besok pasti akan diganggu lagi, setidaknya hari ini dia ingin lolos dari kedua orang tersebut. Melihat reaksi Maura yang begitu tegang dan juga ketakutan, Adiba tidak heran lagi. Sebenarnya dia
Maura hanya memesan minuman. Dia pun berusaha untuk mencari keberadaan Devan. Tetapi sayangnya tidak ada pria yang dari tadi dicarinya itu. Tampaknya Devan berada di ruang kerjanya. Ini membuat Maura sedikit kecewa, tapi dia juga tidak boleh melewati kesempatan ini untuk melihat ke sekitar, mungkin saja ada sesuatu yang bisa dijadikan sebagai bahan rencana. Selama itu pula, gerak-gerik Maura tidak lepas dari pandangan Arya. Dia merasa heran karena gadis SMA seperti Muara ini malah mencurigakan, dari tadi terus saja melihat ke sekitar. Mungkinkah anak ini termasuk komplotan pencurian? Kalau benar, Arya merasa puas dan juga beruntung. Itu artinya Devan akan mendapatkan kerugian, sebab itulah tujuan Arya, menginginkan kehancuran untuk Devan. Namun, semakin lama dilihat Maura itu bukan seperti pencuri, tampak mencari seseorang. Raka yang dari tadi sibuk pun tidak bisa diganggu. Sebenarnya Arya ingin bertanya perihal sang gadis, sebab selama bekerja di sini Arya belum pernah melihat Maur
Di rumah, Adiba mengeryit bingung. Karena saat ini Maura sedang berada di restoran, tapi beberapa menit kemudian titik pelacak itu menunjukkan kalau Maura keluar dari restoran. Tampaknya dia sudah melewatkan sesuatu. Sialnya, itu pasti penting. Sebab sebelumnya Adiba sempat membereskan dulu pekerjaannya dan juga memasakkan makan siang untuk Alia. Jadi, dia tidak berpikir kalau Maura itu sedang melakukan sesuatu yang penting. "Apa yang sudah dilakukan Maura tadi? Aku lupa, harusnya menyetel rekaman penyadap itu," gumam Adiba, tapi dia juga tidak bisa terus menyesali semua yang sudah terjadi. Sebaiknya gadis itu bersiap untuk mencari tahu apa yang sudah dilakukan Maura di restoran itu. Di tempat lain, Maura pun memakai taksi untuk pulang. Sekarang dia sudah benar-benar punya sekutu yang utuh, tinggal melaporkan apa saja yang terjadi di rumah Lusi, termasuk kehadiran Adiba. Sang gadis langsung terkesiap. Dia pun mengirimkan sebuah pesan ke WhatsApp yang menyatakan kalau di rumah Lusi
"Aku jamin itu. Nanti setelah dia melakukan tugas pertamanya, akan kubuat wanita itu menandatangani surat kontrak.""Maksudmu?" tanya Raka masih bingung. "Sudahlah, sebaiknya kamu ikuti saja alurnya. Nanti akan tahu sendiri," ujar Arya malas untuk menjelaskan apa pun. Raka tidak bisa berbuat apa-apa, memilih untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Arya. Setelahnya, mereka pun memilih untuk kembali ke restoran. Jangan sampai Devan keburu pulang dan malah membuat masalah baru. Di tempat Lusi, Devan pun akhirnya sampai setelah beberapa menit kemudian. Sang pria melihat kekasihnya itu tampak stress. "Ada apa? Apakah ada pekerjaan yang sangat berat?""Entahlah, laporan ini membuatku pusing tujuh keliling. Banyak sekali dan belum bisa aku handle," ucap Lusi dengan wajah yang terlihat kelelahan. Devan pun memilih untuk mengajak Lusi istirahat dulu. Lalu, melihat beberapa laporan keuangan. Tampaknya dia memang sudah paham karena memang pebisnis. Berbeda dengan Lusi yang sudah lama tidak
"Narapidana bernama Mila memang sudah keluar sekitar beberapa minggu yang lalu. Memangnya Mbak tidak tahu kalau dia sudah keluar?" tanya salah satu polisi yang membuat Lusi terkesiap. Wajahnya pucat pasi. Dia benar-benar tidak menyangka kalau kabar ini didapat dirinya setelah melihat tak sengaja Mila di kafe itu. Devan pun ikutan kaget melihat Lusi yang tampak syok. Akhirnya Devan berinisiatif untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, sampai Mila itu dibebaskan. "Sebentar, Pak polisi. Bukankah tuntutannya itu lebih dari beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun?" tanya Devan, ingin memastikan. Polisi itu tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Benar, tapi dia bisa bebas karena ada seseorang yang menjaminnya," ungkap polisi membuat Lusi membulatkan mata. Menjamin? Dia pikir tidak ada yang berani menjamin Mila, sebab pasti harganya sangat mahal. Lusi masih terdiam. Dia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja singgah. Devan pun memilih untuk mengakhiri
Setelah kepergian Devan, Lusi langsung masuk ke rumah dan betapa kagetnya dia mendapati Maura sedang berdiri tak jauh dari pintu utama. "Ya Tuhan, Maura. Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa berdiri di sana?" Sebenarnya gadis itu ingin sekali keluar untuk melihat Devan, sekali saja. Tetapi sayangnya dia tidak bisa, sebab Devan langsung pulang. Gadis itu ingin pergi ke kamar, tapi saat pintunya terbuka Maura memilih untuk berdiri, tidak mau menimbulkan kecurigaan kalau Lusi melihat dia lari ke kamar. "Ah, nggak apa-apa, Mbak. Tadinya aku mau keluar, kan. Aku pikir ada suara mobil masuk. Eh, ternyata ada Mbak Lusi.""Terus, kenapa kamu malah berdiri di situ?"Maura hanya cengengesan sembari menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Lusi hanya menggelengkan kepala saja. Wajahnya kelihatan lelah dan stres. Maura bisa melihat itu. Sepertinya beban pekerjaan begitu berat. Ini adalah informasi yang bagus bagi Raka. Maura akan berusaha untuk memberi tahu Raka, agar sang pria membujuk Lusi