Maura hanya memesan minuman. Dia pun berusaha untuk mencari keberadaan Devan. Tetapi sayangnya tidak ada pria yang dari tadi dicarinya itu. Tampaknya Devan berada di ruang kerjanya. Ini membuat Maura sedikit kecewa, tapi dia juga tidak boleh melewati kesempatan ini untuk melihat ke sekitar, mungkin saja ada sesuatu yang bisa dijadikan sebagai bahan rencana. Selama itu pula, gerak-gerik Maura tidak lepas dari pandangan Arya. Dia merasa heran karena gadis SMA seperti Muara ini malah mencurigakan, dari tadi terus saja melihat ke sekitar. Mungkinkah anak ini termasuk komplotan pencurian? Kalau benar, Arya merasa puas dan juga beruntung. Itu artinya Devan akan mendapatkan kerugian, sebab itulah tujuan Arya, menginginkan kehancuran untuk Devan. Namun, semakin lama dilihat Maura itu bukan seperti pencuri, tampak mencari seseorang. Raka yang dari tadi sibuk pun tidak bisa diganggu. Sebenarnya Arya ingin bertanya perihal sang gadis, sebab selama bekerja di sini Arya belum pernah melihat Maur
Di rumah, Adiba mengeryit bingung. Karena saat ini Maura sedang berada di restoran, tapi beberapa menit kemudian titik pelacak itu menunjukkan kalau Maura keluar dari restoran. Tampaknya dia sudah melewatkan sesuatu. Sialnya, itu pasti penting. Sebab sebelumnya Adiba sempat membereskan dulu pekerjaannya dan juga memasakkan makan siang untuk Alia. Jadi, dia tidak berpikir kalau Maura itu sedang melakukan sesuatu yang penting. "Apa yang sudah dilakukan Maura tadi? Aku lupa, harusnya menyetel rekaman penyadap itu," gumam Adiba, tapi dia juga tidak bisa terus menyesali semua yang sudah terjadi. Sebaiknya gadis itu bersiap untuk mencari tahu apa yang sudah dilakukan Maura di restoran itu. Di tempat lain, Maura pun memakai taksi untuk pulang. Sekarang dia sudah benar-benar punya sekutu yang utuh, tinggal melaporkan apa saja yang terjadi di rumah Lusi, termasuk kehadiran Adiba. Sang gadis langsung terkesiap. Dia pun mengirimkan sebuah pesan ke WhatsApp yang menyatakan kalau di rumah Lusi
"Aku jamin itu. Nanti setelah dia melakukan tugas pertamanya, akan kubuat wanita itu menandatangani surat kontrak.""Maksudmu?" tanya Raka masih bingung. "Sudahlah, sebaiknya kamu ikuti saja alurnya. Nanti akan tahu sendiri," ujar Arya malas untuk menjelaskan apa pun. Raka tidak bisa berbuat apa-apa, memilih untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Arya. Setelahnya, mereka pun memilih untuk kembali ke restoran. Jangan sampai Devan keburu pulang dan malah membuat masalah baru. Di tempat Lusi, Devan pun akhirnya sampai setelah beberapa menit kemudian. Sang pria melihat kekasihnya itu tampak stress. "Ada apa? Apakah ada pekerjaan yang sangat berat?""Entahlah, laporan ini membuatku pusing tujuh keliling. Banyak sekali dan belum bisa aku handle," ucap Lusi dengan wajah yang terlihat kelelahan. Devan pun memilih untuk mengajak Lusi istirahat dulu. Lalu, melihat beberapa laporan keuangan. Tampaknya dia memang sudah paham karena memang pebisnis. Berbeda dengan Lusi yang sudah lama tidak
"Narapidana bernama Mila memang sudah keluar sekitar beberapa minggu yang lalu. Memangnya Mbak tidak tahu kalau dia sudah keluar?" tanya salah satu polisi yang membuat Lusi terkesiap. Wajahnya pucat pasi. Dia benar-benar tidak menyangka kalau kabar ini didapat dirinya setelah melihat tak sengaja Mila di kafe itu. Devan pun ikutan kaget melihat Lusi yang tampak syok. Akhirnya Devan berinisiatif untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, sampai Mila itu dibebaskan. "Sebentar, Pak polisi. Bukankah tuntutannya itu lebih dari beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun?" tanya Devan, ingin memastikan. Polisi itu tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Benar, tapi dia bisa bebas karena ada seseorang yang menjaminnya," ungkap polisi membuat Lusi membulatkan mata. Menjamin? Dia pikir tidak ada yang berani menjamin Mila, sebab pasti harganya sangat mahal. Lusi masih terdiam. Dia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja singgah. Devan pun memilih untuk mengakhiri
Setelah kepergian Devan, Lusi langsung masuk ke rumah dan betapa kagetnya dia mendapati Maura sedang berdiri tak jauh dari pintu utama. "Ya Tuhan, Maura. Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa berdiri di sana?" Sebenarnya gadis itu ingin sekali keluar untuk melihat Devan, sekali saja. Tetapi sayangnya dia tidak bisa, sebab Devan langsung pulang. Gadis itu ingin pergi ke kamar, tapi saat pintunya terbuka Maura memilih untuk berdiri, tidak mau menimbulkan kecurigaan kalau Lusi melihat dia lari ke kamar. "Ah, nggak apa-apa, Mbak. Tadinya aku mau keluar, kan. Aku pikir ada suara mobil masuk. Eh, ternyata ada Mbak Lusi.""Terus, kenapa kamu malah berdiri di situ?"Maura hanya cengengesan sembari menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Lusi hanya menggelengkan kepala saja. Wajahnya kelihatan lelah dan stres. Maura bisa melihat itu. Sepertinya beban pekerjaan begitu berat. Ini adalah informasi yang bagus bagi Raka. Maura akan berusaha untuk memberi tahu Raka, agar sang pria membujuk Lusi
"Memangnya kamu mau pergi ke mana? Apakah ada tujuan lain atau rahasia lain yang belum aku tahu?" tanya Adiba membuat Lusi diam. Benar, hanya dirinya sendiri yang menyimpan semua rahasia ini, tidak Devan ataupun Adiba. Namun sekarang dia butuh bantuan dan mungkin saja semua ini tidak akan pernah bisa berjalan lancar kalau Lusi tidak menceritakan semuanya. Akhirnya, dengan berat hati Lusi pun mulai membuka rahasia siapa Maura dan Mila sebenarnya. Selama menceritakan itu Adiba kaget. Bahkan sang gadis sampai melotot dan menutup mulutnya, tak percaya. "Jadi, yang ada di rumah ini adalah Adik sedarah denganmu?" tanya Adiba, benar-benar tak menyangka. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang, sih? Kenapa tidak kemarin-kemarin? Lalu, Maura tahu tidak tentang kenyataan ini?" lanjut Adiba.Lusi langsung menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat sedih dan pasrah, membuat Adiba menghela napas panjang sembari mengguyar kepalanya. "Ya Tuhan, kenapa kamu tidak ceritakan saja kepada Maura, siap
Pagi-pagi sekali Bu Sinta tampak grasak-grusuk, sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama Mila. Raka yang melihat itu pun merasa keheranan, sebab biasanya Ibu itu tampak santai di pagi hari. Bahkan hanya menyiapkan sarapan untuknya.Karena rasa penasaran, akhirnya Raka bertanya. Tentu saja Bu Sinta menjawab kalau dia memang ingin jalan-jalan sebentar dengan teman-temannya. Ini sempat mencurigakan bagi Raka, karena dia tahu kalau ibunya itu tidak punya teman dekat atau teman baik. Kebanyakan teman-teman ibunya hanya untuk saling menggosip dan memanas-manasi saja. "Kalau begitu, hati-hati, ya. Jangan sampai terbawa hal-hal yang aneh," ucap Raka, membuat Bu Sinta mendelik. "Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu ini seperti ABG labil, gitu? Yang bisa terbawa arus. Ya enggaklah! Ibu juga pasti berpikir ulang," timpal Bu Sinta membela diri. Raka hanya tersenyum kecil. Padahal menurut Raka, ibunya itu lebih dari ABG labil. Setiap kali pulang berkumpul dengan teman-teman perkumpulannya it
"Aduh, aduh," ucap Amanda saat dibawa ke mobil Devan. Wanita itu didudukkan di kursi penumpang. Dengan cepat Devan langsung jalan berputar dan duduk di balik kemudi. Pria itu tampak ketakutan dan benar-benar merasa bersalah karena sudah menabrak orang. Padahal hari ini dia harusnya menemui Lusi, tapi malah ada kejadian yang tak terduga seperti ini. "Aku benar-benar minta maaf, tapi kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Devan, masih terlihat khawatir.Amanda yang melihat betapa ketakutannya pria di samping ini, membuat hatinya menghangat. Entah kapan terakhir kali dia mendapatkan perhatian seperti ini, tanpa memandang kalau dirinya hanyalah wanita penghibur yang didatangi saat dibutuhkan saja. "Kenapa kamu diam saja? Apakah ada bagian tubuhmu yang sakit selain di kaki?" tanya Devan, karena sudah dari tadi Amanda hanya diam saja. Dengan cepat wanita itu menggelengkan kepala, lalu beberapa detik kemudian meringis kesakitan sembari memegang lutut."Tidak apa-apa, mungkin ini hanya benturan