Pagi-pagi sekali Bu Sinta tampak grasak-grusuk, sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama Mila. Raka yang melihat itu pun merasa keheranan, sebab biasanya Ibu itu tampak santai di pagi hari. Bahkan hanya menyiapkan sarapan untuknya.Karena rasa penasaran, akhirnya Raka bertanya. Tentu saja Bu Sinta menjawab kalau dia memang ingin jalan-jalan sebentar dengan teman-temannya. Ini sempat mencurigakan bagi Raka, karena dia tahu kalau ibunya itu tidak punya teman dekat atau teman baik. Kebanyakan teman-teman ibunya hanya untuk saling menggosip dan memanas-manasi saja. "Kalau begitu, hati-hati, ya. Jangan sampai terbawa hal-hal yang aneh," ucap Raka, membuat Bu Sinta mendelik. "Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu ini seperti ABG labil, gitu? Yang bisa terbawa arus. Ya enggaklah! Ibu juga pasti berpikir ulang," timpal Bu Sinta membela diri. Raka hanya tersenyum kecil. Padahal menurut Raka, ibunya itu lebih dari ABG labil. Setiap kali pulang berkumpul dengan teman-teman perkumpulannya it
"Aduh, aduh," ucap Amanda saat dibawa ke mobil Devan. Wanita itu didudukkan di kursi penumpang. Dengan cepat Devan langsung jalan berputar dan duduk di balik kemudi. Pria itu tampak ketakutan dan benar-benar merasa bersalah karena sudah menabrak orang. Padahal hari ini dia harusnya menemui Lusi, tapi malah ada kejadian yang tak terduga seperti ini. "Aku benar-benar minta maaf, tapi kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Devan, masih terlihat khawatir.Amanda yang melihat betapa ketakutannya pria di samping ini, membuat hatinya menghangat. Entah kapan terakhir kali dia mendapatkan perhatian seperti ini, tanpa memandang kalau dirinya hanyalah wanita penghibur yang didatangi saat dibutuhkan saja. "Kenapa kamu diam saja? Apakah ada bagian tubuhmu yang sakit selain di kaki?" tanya Devan, karena sudah dari tadi Amanda hanya diam saja. Dengan cepat wanita itu menggelengkan kepala, lalu beberapa detik kemudian meringis kesakitan sembari memegang lutut."Tidak apa-apa, mungkin ini hanya benturan
Lusi tampak mondar-mandir di kantornya. Beberapa kali melihat jam di tangan. Ini sudah pukul 8 lebih, tapi Devan belum juga datang. Padahal, janjinya pria itu akan mampir dulu ke kantor Lusi pagi-pagi sekali sebelum ke restoran. Tetapi kenapa sampai mengaret 1 jam dari perjanjian? Ini benar-benar membuat Lusi khawatir. Belum lagi telepon Lusi tidak diangkat sama sekali oleh pria itu, membuat sang wanita was-was bukan main. Dibandingkan memikirkan Devan terjadi masalah besar di jalan atau apa pun yang menimpa pria itu, Lusi malah berpikiran buruk perihal Devan yang berkaitan dengan seorang wanita. Ini dikarenakan pengalaman buruknya karena diselingkuhi oleh Raka. Sebuah trauma yang harus dia hadapi dan juga obati secara perlahan. Karena kalau tidak, mungkin selanjutnya Lusi akan terus-terusan berpikiran buruk kepada Devan. Wanita itu kembali duduk dan melihat jam di tangan. Dia ingin menelepon Devan lagi, tapi takut kalau pria itu risi. Entah kenapa ini pertama kalinya dia merasakan
Maura berusaha tenang sembari memegang dadanya yang masih bergetar. Ini benar-benar perasaan yang aneh. Kelakuan Maura seperti itu dilihat oleh Rani dan Anaya. Mereka tampak kesal, terutama Anaya. Rani melirik sekilas kepada temannya, sepertinya akan ada permusuhan yang sengit jika melihat dari gelagat gadis yang ada di sampingnya itu. "Sialan! Itu cewek belum juga satu hari udah buat masalah. Kemarin dia buat kita masuk ke BK, sekarang dia malah menggaet calon pacar gue, kurang ajar!" seru Anaya benar-benar kesal.Rani mulai khawatir kalau temannya ini akan emosi. Jika sampai terjadi, bisa-bisa Anaya melabrak Maura dan mungkin berakhir di BK lagi."Nay, gue tahu pasti lo kesel, tapi masalahnya jangan buat masalah dulu, deh," ucap Rani dengan hati-hati, karena dia tahu kalau tabiat Anaya itu mudah sekali tersinggung. Meskipun tampak tenang dari luar, tapi jika sudah tahu Anaya itu bisa menghalalkan segala cara agar semua keinginannya tercapai. Gadis itu menoleh kepada Rani dengan t
"Kenapa? Apa aku tidak bisa seperti Raka dan tidak menguasai bidang itu?" tanya Devan, tiba-tiba saja membuat Lusi benar-benar kaget mendengarnya. Biasanya pria ini begitu tenang menghadapi sesuatu, tetapi baru kali ini dia melihat Devan benar-benar marah seperti sekarang. "Bukan, Mas. Bukan maksudku seperti itu. Cuma, kamu kan di bidang restoran. Sementara aku di penerbitan, jadi menurutku itu beda sekali.""Beda? Apanya yang beda? Lalu, coba kamu cek laporan keuangan buatanku. Benar, kan?" "Iya, aku paham. Laporan keuangannya memang benar, tapi masalahnya untuk hal-hal lain semacam klien dan perihal apa pun yang berkaitan dengan penerbitan juga percetakan itu beda sekali dengan restoran, Mas."Devan diam. Dia menatap Lusi dengan tatapan menyelidik. Ini membuat jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Takut, jika pria itu berpikir macam-macam kepadanya. Padahal, niatnya bukan seperti itu. Dia memang sebelumnya berpikir untuk memperkerjakan Raka. Hanya saja karena Devan
Maura hendak membela diri, tapi tiba-tiba saja Anaya memegang pipinya dengan keras, membungkam gadis itu agar tidak berkata apa-apa. "Gue bilang diam! Kalau lo nggak mau hidup lo berantakan di sini, lo harus ikutin kemauan gue."Maura ingin menjawab, tapi tidak bisa. Karena mulutnya sulit sekali untuk digerakkan. "Kecuali kalau lo ingin menderita, ya terus berontak dan seolah-olah lo itu orang yang hebat. Ingat, ya! Ini tawaran dari gue," ucap Anaya. Setelah itu melepaskan cengkraman pada sang gadis dengan keras. Untung saja Maura tidak terjerembab lagi ke lantai. Rani dan Anaya memilih pergi sembari menertawakan wajah Maura yang begitu kesakitan. Maura menatap dua temannya dengan kekesalan penuh. Andaikan saja dia punya kekuatan untuk melawan mereka, mungkin sudah dilakukan dari tadi. Tetapi apalah daya, posisinya hanya sebagai siswa baru. Bahkan tidak ada satu pun teman yang mau mendekat kepadanya. Gadis itu pun memilih untuk pergi ke kantin, takut jika waktunya habis. Kalau ti
"Kamu yakin dengan kata-katamu? Aku melakukan ini karena belas kasihanmu, tidak mau sampai ada korban Devan lagi." Lusi membacanya pun tampak membayangkan. Hati yang berusaha untuk percaya dan tidak begitu saja termakan dengan omongan dari orang yang tak dikenal itu, mulai meragukan kepercayaannya sendiri. Mungkinkah apa yang dikatakan orang di seberang sana itu benar, jika Devan sedang bersama seorang wanita? Dan ini bukan editan seperti yang dipikirkan Lusi. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, membuat Lusi mulai berpikiran buruk perihal Devan. Arya tersenyum miring melihat Lusi tak membalas pesan darinya. Dia pun melancarkan kembali aksi. Arya memberikan alamat tempat Amanda tinggal, tentu saja ini akan lebih menyenangkan. Makin cepat mereka berpisah, semakin baik untuknya. Dia juga bisa semakin cepat menghancurkan Devan, karena memang sepertinya meluluhlantakan seseorang bukan dari mentalnya, tetapi dari hatinya. Jika hatinya sudah tersakiti, apalagi tentang
Dengan berat langkahnya, Lusi berusaha untuk tetap berjalan memasuki pelataran rumah itu. Dia benar-benar harus memastikan kalau itu adalah mobil Devan. Plat nomornya pun sama. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, takut kalau semua praduga yang diberikan oleh pengirim pesan misterius itu adalah kenyataan. Dari pantulan cahaya, Amanda melihat siluet dan itu yakin miliknya Lusi. Dengan cepat Amanda pun berpura-pura sakit dan mengeluhkan kakinya yang diperban. "Aduh, sakit," keluh Amanda, tiba-tiba membuat Devan kaget dan syok. Pria itu langsung merangkul Amanda. "Apa kamu tidak apa-apa? Mau kita pergi saja ke rumah sakit?""Tidak usah. Tolong antarkan aku ke kamar," pinta Amanda. Aktingnya benar-benar sempurna. Wajah Amanda memperlihatkan kalau dia benar-benar menderita dengan rasa sakit di kaki. Devan pun berusaha untuk memapah Amanda. Posisi mereka tampak berpelukan dari jauh. Lusi yang saat ini berada di ambang pintu pun kaget bukan main, melihat adegan yang terpampang jela