Maura hendak membela diri, tapi tiba-tiba saja Anaya memegang pipinya dengan keras, membungkam gadis itu agar tidak berkata apa-apa. "Gue bilang diam! Kalau lo nggak mau hidup lo berantakan di sini, lo harus ikutin kemauan gue."Maura ingin menjawab, tapi tidak bisa. Karena mulutnya sulit sekali untuk digerakkan. "Kecuali kalau lo ingin menderita, ya terus berontak dan seolah-olah lo itu orang yang hebat. Ingat, ya! Ini tawaran dari gue," ucap Anaya. Setelah itu melepaskan cengkraman pada sang gadis dengan keras. Untung saja Maura tidak terjerembab lagi ke lantai. Rani dan Anaya memilih pergi sembari menertawakan wajah Maura yang begitu kesakitan. Maura menatap dua temannya dengan kekesalan penuh. Andaikan saja dia punya kekuatan untuk melawan mereka, mungkin sudah dilakukan dari tadi. Tetapi apalah daya, posisinya hanya sebagai siswa baru. Bahkan tidak ada satu pun teman yang mau mendekat kepadanya. Gadis itu pun memilih untuk pergi ke kantin, takut jika waktunya habis. Kalau ti
"Kamu yakin dengan kata-katamu? Aku melakukan ini karena belas kasihanmu, tidak mau sampai ada korban Devan lagi." Lusi membacanya pun tampak membayangkan. Hati yang berusaha untuk percaya dan tidak begitu saja termakan dengan omongan dari orang yang tak dikenal itu, mulai meragukan kepercayaannya sendiri. Mungkinkah apa yang dikatakan orang di seberang sana itu benar, jika Devan sedang bersama seorang wanita? Dan ini bukan editan seperti yang dipikirkan Lusi. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, membuat Lusi mulai berpikiran buruk perihal Devan. Arya tersenyum miring melihat Lusi tak membalas pesan darinya. Dia pun melancarkan kembali aksi. Arya memberikan alamat tempat Amanda tinggal, tentu saja ini akan lebih menyenangkan. Makin cepat mereka berpisah, semakin baik untuknya. Dia juga bisa semakin cepat menghancurkan Devan, karena memang sepertinya meluluhlantakan seseorang bukan dari mentalnya, tetapi dari hatinya. Jika hatinya sudah tersakiti, apalagi tentang
Dengan berat langkahnya, Lusi berusaha untuk tetap berjalan memasuki pelataran rumah itu. Dia benar-benar harus memastikan kalau itu adalah mobil Devan. Plat nomornya pun sama. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, takut kalau semua praduga yang diberikan oleh pengirim pesan misterius itu adalah kenyataan. Dari pantulan cahaya, Amanda melihat siluet dan itu yakin miliknya Lusi. Dengan cepat Amanda pun berpura-pura sakit dan mengeluhkan kakinya yang diperban. "Aduh, sakit," keluh Amanda, tiba-tiba membuat Devan kaget dan syok. Pria itu langsung merangkul Amanda. "Apa kamu tidak apa-apa? Mau kita pergi saja ke rumah sakit?""Tidak usah. Tolong antarkan aku ke kamar," pinta Amanda. Aktingnya benar-benar sempurna. Wajah Amanda memperlihatkan kalau dia benar-benar menderita dengan rasa sakit di kaki. Devan pun berusaha untuk memapah Amanda. Posisi mereka tampak berpelukan dari jauh. Lusi yang saat ini berada di ambang pintu pun kaget bukan main, melihat adegan yang terpampang jela
Tepat pukul 12.30, Lusi sampai di depan gerbang sekolah Maura. Dia mengamati kalau sekolah ini memang sangat megah. Dari luar tampak seperti asrama zaman kolonial Belanda, benar-benar memukau.Ini adalah kebanggaan tersendiri di hati Lusi, karena bisa menyekolahkan adiknya di sini. Meskipun mereka belum saling mengakui sebagai Adik Kakak. Di saat seperti ini, Lusi jadi teringat kembali pada Devan. Namun dengan segera wanita itu menghilangkan pemikiran-pemikiran tersebut. Dia harus fokus kepada keluarganya sendiri. Besok wanita itu akan kembali mengambil Raka untuk bekerja di tempatnya, tidak peduli lagi apa yang akan dikatakan Devan. Yang pasti wanita itu tidak mau berharap apa pun kepada sang pria. Lagi pula niat awal sebelumnya memang hanya ingin mempermainkan Raka saja, jadi menurut Lusi ini hal yang pantas dia lakukan. Wanita itu turun dari mobil dan hendak masuk ke gerbang sekolahan yang ada di sana, tetapi sebuah pemandangan langsung tertuju kepada kerumunan anak-anak yang be
Lusi kaget bukan main mendengar pernyataan dari sahabatnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata Devan akan menyusulnya ke rumah. Namun wanita itu saat ini tidak mau bertemu dengan siapa pun, takut jika malah terjadi konflik dan mungkin akan didengar oleh Alia yang sedang istirahat. Wanita itu mencari alasan dan memohon kepada Adiba agar Devan disuruh pergi dengan cara apa pun. "Loh, kok? Tidak bisa seperti itu. Lusi, aku sudah bilang kalau kamu ada di rumah," timpal Adiba dia tambah kebingungan, tapi tetap berusaha meyakinkan Lusi agar menemui Devan terlebih dahulu."Aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi saat ini aku tidak mau bertemu dengan Devan." "Kenapa?" "Akan aku ceritakan semuanya. Aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya, tolong."Melihat wajah Lusi yang memohon dan ada sekali beban pikiran yang tergambar jelas, membuat wanita itu kalang kabut. Sang gadis pun memilih untuk menuruti keinginan Adiba sambil mendekati Devan yang saat ini sedang
"Pokoknya kamu harus menempel terus di dekat Devan. Usahakan agar kamu itu bisa mengambil hati Devan, biar bisa dipercaya untuk mengelola restoran. Aku ingin dia bangkrut. Bila perlu, kamu rebut restorannya. Tentu saja kamu harus menghasut Devan, agar mau meninggalkan Lusi. Dengan begitu dia akan benar-benar hancur. Lakukanlah sebagaimana mestinya. Bukankah kamu itu berpengalaman merebut suami orang?" papar Arya, membuat senyuman di bibir Amanda luntur. Sebenarnya dia tidak suka dengan predikat tersebut, tetapi mau bagaimana? Lagi pula, memang kenyataannya Amanda adalah seorang pelakor, yang sudah merebut beberapa pria beristri. Untuk saat ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Lebih baik sang wanita melakukan tugasnya dengan benar, agar rencana ini segera terlaksana. Setelah itu dia akan benar-benar mengambil hati Devan."Jangan lupa kamu besok datang ke restorannya. Bukankah kamu diberikan kartu nama oleh Devan?" Amanda langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Tugasmu hanya
Hening beberapa saat. Tidak ada yang berbicara. Saat ini Lusi berhasil masuk ke tempat Maura. Gadis itu juga tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya bisa menunduk sembari memainkan jemari tangan. Sungguh, dia benar-benar merutuki diri karena sudah meminta sesuatu yang harusnya tidak dikatakan. Pasti Lusi saat ini murka kepada Maura, begitu pikir sang gadis. Tampaknya sebentar lagi dia harus bersiap untuk pulang ke kampung halaman, bertemu dengan Ayah dan ibunya. Lalu, kembali sengsara dan harus memenuhi kebutuhan kedua orang tua itu.Terdengar helaan napas panjang dari Lusi, membuat Maura memejamkan mata. Karena takut jika sang wanita akan memarahinya. "Coba jelaskan, kenapa kamu meminta hal seperti itu?" tanya Lusi dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau melukai hati adiknya. Bagaimanapun situasi saat ini sedang tidak baik, entah dirinya maupun Maura. "Maaf, Mbak. Kalau aku salah bicara, aku hanya refleks saja," ujar Maura, akhirnya mengungkapkan hal itu. Sebab dari tadi dia ta
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan melakukan seperti itu. Karena bagiku istri dan anak lebih utama, apalagi istrimu sudah melahirkan sampai nyawanya tidak terselamatkan."Mendengar kata-kata Arya yang begitu menusuk, membuat Devan terdiam. Dia pun memilih untuk bungkam, tidak melanjutkan perkataan itu. Arya juga memilih untuk pergi dari sana. Kalau terus-terusan di depan Devan, bisa-bisa emosinya terpancing. Apa pun yang berkaitan perihal sepupunya, membuat Arya terus-terusan memendam dendam kepada Devan. Sementara itu, Devan juga mulai bingung harus melakukan apa. Masalahnya jadi banyak seperti ini. Satu sisi dia tidak mungkin meninggalkan Amanda karena sudah menabraknya. Sisi lain Lusi juga salah paham dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya cara, dia harus segera bertemu dengan Lusi. Kalau tidak, masalah ini akan semakin membesar dan mungkin berefek kepada dirinya.Keesokan harinya, Devan sudah datang ke rumah Lusi. Betapa kagetnya saat mengetahui kalau Lusi ternyata pergi ke
"Apa di otakmu itu hanya terpikirkan kalau aku ini berkhianat dan kejelekanku saja, Mila?" tanya Raka.Akhirnya Raka bersuara, sudah tidak kuasa. Tetapi dia berusaha untuk tetap mendam emosinya dengan berkata tanpa menaikkan nada bicara. "Bagaimana aku tidak curiga, Mas? Dan bagaimana aku tidak berpikir tentang kejelekanmu? Kamu tidak pamit kepadaku dan aku juga tidak tahu kamu pergi ke mana, ditambah kamu tidak menerima teleponku. Bagaimana aku bisa berpikiran positif kepadamu? Coba saja! Semua wanita dan istri di seluruh dunia akan berpikiran macam-macam kalau kamu melakukan hal itu, Mas!"Mila berucap dengan bahu naik turun, menandakan kalau wanita ini sedang benar-benar emosi. Raka memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosinya agar tidak meledak. Bagaimanapun wanita ini sedang mengandung anaknya. Dia tidak boleh membuat Mila stress dan akan berakibat fatal kepada anaknya itu. "Dengar, Mila. Aku sudah bilang kemarin, kan? Aku ke rumah Ibu." "Oh, ya? Mana buk
"Aaah, sial!"Mila berteriak sembari membanting semua barang-barang yang ada di kamarnya. Ini sudah jam 08.00 pagi, tapi dia belum mandi dan sarapan. Perutnya yang terasa lapar pun tak dipedulikan, dari tadi sudah termakan emosi. Padahal berkali-kali dia menghubungi Raka, tapi tak ada sahutan. Ditambah Maura juga tidak ada di sini.Kecurigaan menyeruak dalam dada, mungkin saja kedua orang itu kabur darinya dan meninggalkan Mila sendirian bersama anak yang ada dalam kandungan. Membayangkannya saja yang membuat dia merasa terbakar. Ingin sekali memaki atau menyakiti dua orang itu. "Kenapa tidak ada satu pun orang yang mengerti posisiku di sini?! Aku sedang hamil, tapi tak ada yang mau berusaha untuk mengikuti semua kemauanku!" seru Mila dengan berteriak.Dia mengacak rambutnya dan menangis. Ini benar-benar memuakkan untuknya. Harusnya Raka itu mengangkat telepon dan memberi kabar di mana sang pria berada. Tak masalah kalau misalkan pria itu pergi ke tempat lain, asalkan Raka memberi k
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan