Tepat pukul 12.30, Lusi sampai di depan gerbang sekolah Maura. Dia mengamati kalau sekolah ini memang sangat megah. Dari luar tampak seperti asrama zaman kolonial Belanda, benar-benar memukau.Ini adalah kebanggaan tersendiri di hati Lusi, karena bisa menyekolahkan adiknya di sini. Meskipun mereka belum saling mengakui sebagai Adik Kakak. Di saat seperti ini, Lusi jadi teringat kembali pada Devan. Namun dengan segera wanita itu menghilangkan pemikiran-pemikiran tersebut. Dia harus fokus kepada keluarganya sendiri. Besok wanita itu akan kembali mengambil Raka untuk bekerja di tempatnya, tidak peduli lagi apa yang akan dikatakan Devan. Yang pasti wanita itu tidak mau berharap apa pun kepada sang pria. Lagi pula niat awal sebelumnya memang hanya ingin mempermainkan Raka saja, jadi menurut Lusi ini hal yang pantas dia lakukan. Wanita itu turun dari mobil dan hendak masuk ke gerbang sekolahan yang ada di sana, tetapi sebuah pemandangan langsung tertuju kepada kerumunan anak-anak yang be
Lusi kaget bukan main mendengar pernyataan dari sahabatnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata Devan akan menyusulnya ke rumah. Namun wanita itu saat ini tidak mau bertemu dengan siapa pun, takut jika malah terjadi konflik dan mungkin akan didengar oleh Alia yang sedang istirahat. Wanita itu mencari alasan dan memohon kepada Adiba agar Devan disuruh pergi dengan cara apa pun. "Loh, kok? Tidak bisa seperti itu. Lusi, aku sudah bilang kalau kamu ada di rumah," timpal Adiba dia tambah kebingungan, tapi tetap berusaha meyakinkan Lusi agar menemui Devan terlebih dahulu."Aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi saat ini aku tidak mau bertemu dengan Devan." "Kenapa?" "Akan aku ceritakan semuanya. Aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya, tolong."Melihat wajah Lusi yang memohon dan ada sekali beban pikiran yang tergambar jelas, membuat wanita itu kalang kabut. Sang gadis pun memilih untuk menuruti keinginan Adiba sambil mendekati Devan yang saat ini sedang
"Pokoknya kamu harus menempel terus di dekat Devan. Usahakan agar kamu itu bisa mengambil hati Devan, biar bisa dipercaya untuk mengelola restoran. Aku ingin dia bangkrut. Bila perlu, kamu rebut restorannya. Tentu saja kamu harus menghasut Devan, agar mau meninggalkan Lusi. Dengan begitu dia akan benar-benar hancur. Lakukanlah sebagaimana mestinya. Bukankah kamu itu berpengalaman merebut suami orang?" papar Arya, membuat senyuman di bibir Amanda luntur. Sebenarnya dia tidak suka dengan predikat tersebut, tetapi mau bagaimana? Lagi pula, memang kenyataannya Amanda adalah seorang pelakor, yang sudah merebut beberapa pria beristri. Untuk saat ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Lebih baik sang wanita melakukan tugasnya dengan benar, agar rencana ini segera terlaksana. Setelah itu dia akan benar-benar mengambil hati Devan."Jangan lupa kamu besok datang ke restorannya. Bukankah kamu diberikan kartu nama oleh Devan?" Amanda langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Tugasmu hanya
Hening beberapa saat. Tidak ada yang berbicara. Saat ini Lusi berhasil masuk ke tempat Maura. Gadis itu juga tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya bisa menunduk sembari memainkan jemari tangan. Sungguh, dia benar-benar merutuki diri karena sudah meminta sesuatu yang harusnya tidak dikatakan. Pasti Lusi saat ini murka kepada Maura, begitu pikir sang gadis. Tampaknya sebentar lagi dia harus bersiap untuk pulang ke kampung halaman, bertemu dengan Ayah dan ibunya. Lalu, kembali sengsara dan harus memenuhi kebutuhan kedua orang tua itu.Terdengar helaan napas panjang dari Lusi, membuat Maura memejamkan mata. Karena takut jika sang wanita akan memarahinya. "Coba jelaskan, kenapa kamu meminta hal seperti itu?" tanya Lusi dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau melukai hati adiknya. Bagaimanapun situasi saat ini sedang tidak baik, entah dirinya maupun Maura. "Maaf, Mbak. Kalau aku salah bicara, aku hanya refleks saja," ujar Maura, akhirnya mengungkapkan hal itu. Sebab dari tadi dia ta
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan melakukan seperti itu. Karena bagiku istri dan anak lebih utama, apalagi istrimu sudah melahirkan sampai nyawanya tidak terselamatkan."Mendengar kata-kata Arya yang begitu menusuk, membuat Devan terdiam. Dia pun memilih untuk bungkam, tidak melanjutkan perkataan itu. Arya juga memilih untuk pergi dari sana. Kalau terus-terusan di depan Devan, bisa-bisa emosinya terpancing. Apa pun yang berkaitan perihal sepupunya, membuat Arya terus-terusan memendam dendam kepada Devan. Sementara itu, Devan juga mulai bingung harus melakukan apa. Masalahnya jadi banyak seperti ini. Satu sisi dia tidak mungkin meninggalkan Amanda karena sudah menabraknya. Sisi lain Lusi juga salah paham dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya cara, dia harus segera bertemu dengan Lusi. Kalau tidak, masalah ini akan semakin membesar dan mungkin berefek kepada dirinya.Keesokan harinya, Devan sudah datang ke rumah Lusi. Betapa kagetnya saat mengetahui kalau Lusi ternyata pergi ke
Tiba-tiba saja Adiba mencengkram kedua pipi Anaya, membuat gadis itu terkesiap. Rani yang melihatnya pun kaget bukan main. Adiba mendekat pada Anaya, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, sampai gadis itu pun membisikan sesuatu kepada Anaya. Tubuh Anaya begitu bergetar mendengarnya. "Lo tahu? Gue itu pernah masukin orang yang pernah bully gue ke rumah sakit. Bahkan, dia itu nggak bisa berjalan sampai sekarang. Jadi, kecil bagi gue buat melakukan hal sama sama lo, kalau lo masih buat masalah sama saudara gue atau lo mau coba sekarang?"Tatapan Adiba begitu menusuk dan mengintimidasi, membuat Anaya kontan menggelengkan kepala. Tiba-tiba Adiba langsung menghempaskan wajah Anaya, membuat wanita itu hampir saja terjerembab ke lantai kalau tidak ditahan oleh Rani. "Ingat, ya! Kalau sampai gue dengar saudara gue dibully atau dianiaya sama kalian, lo berdua nggak akan pernah melihat masa depan. Paham?"Anaya langsung menganggukkan kepala, setelah itu Adiba menghadap kepada Maura
Lusi menghentikan mobilnya di bahu jalan. Entah di mana, yang pasti dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Antara penyesalan dan juga kelegaan bercampur jadi satu. Karena dia sudah bisa melepas Devan dengan alasan jelas. Memang dari awal dia setengah hati menjalani hubungan ini. Hanya terlintas untuk memanfaatkan pria itu dan balas dendam kepada Raka. Tetapi ternyata dia mulai main hati dan merasa sakit saat melihat Devan bersama wanita lain. Padahal harusnya Lusi bersiap untuk menerima semua itu. Lagi pula, pada akhirnya dia akan meninggalkan Devan jika rencananya sudah selesai. Ternyata semua kejadian itu membuatnya bisa mengambil hikmah.Sekarang, Lusi akan kembali ke jalurnya yang seharusnya, tidak melibatkan siapapun. Apalagi seorang pria. Dia tidak mau tertaut hatinya kepada siapapun lagi. Selama rencananya belum berhasil, segala perasaan yang bersarang harus dikendalikan. Mungkin dia bisa memikirkan semua ini dengan matang. Jika orang tuanya masih ada, pasti akan membantun
"Loh, Ibu ngapain di sini?" tanya Raka, suaranya tergagap. Dia benar-benar kaget, berpikir kalau ibunya sudah pergi dari restoran ini. Ternyata Bu Sinta balik lagi. Sebenarnya, wanita itu tiba-tiba saja kebelet saat sudah di luar restoran, jadi dia berpikir untuk menumpang ke kamar mandi terlebih dahulu. Tetapi yang dilihat, anaknya sedang membereskan piring bekas makannya. Apalagi memakai seragam yang sesuai dengan karyawan yang ada di sini."Ibu yang harusnya tanya, kamu lagi ngapain di sini, hah?!" tanya Bu Sinta dengan setengah berteriak, membuat tamu-tamu yang lain mulai menjadikan mereka sebagai tontonan. Arya yang melihat itu pun langsung menghampirinya. Tampaknya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, ada apa, ya? Kenapa ribut-ribut di restoran kami?" tanya Arya, berusaha untuk menengahi dan berpura-pura secara spontanitas. "Ini loh, Mas. Kenapa anak saya ada di sini? Pakai seragam pula," tanya Bu Sinta menyelidik. Raka tidak bisa berkata-kata. Dia seperti dejavu k
"Tidak akan. Aku jamin dia tidak akan tahu masalah ini, kecuali kamu yang ngomong. Tapi sepertinya kalau kamu ngomong pun jika tidak ada bukti percuma," ucap Mila. Dia tidak sadar kalau dari tadi Maura sedang mengambil buktinya. Wanita itu juga tidak berniat untuk mengatakan kalau dirinya punya bukti. Dia akan menyimpan ini baik-baik dan menjadi kejutan untuk Mila, memberikan semua ini kepada Raka tanpa sepengetahuan wanita hamil itu. Ingin tahu, betapa terkejutnya Mila setelah Raka mengambil tindakan. Karena Maura yakin, Raka tidak akan diam saja jika diperlakukan tidak baik oleh istrinya. Apalagi martabatnya sebagai seorang suami diinjak-injak begitu saja."Dengar, ya. Sekali lagi aku tegaskan, kamu jangan macam-macam sama aku dan jangan terlalu senang seolah Mas Raka itu akan benar-benar mendukungmu, kecuali kalau kamu itu adalah pelakor," ujar Mila dengan santai.Maura hanya diam saja. Dia memilih untuk mematikan rekaman dan hendak pergi dari sana, tetapi baru juga beberapa lang
"Apa tadi Mbak bilang? Mas Raka itu hidup dari uang Kakak, begitu?" tanya Maura memperjelas.Dia ingin merekam semua perkataan Mila. Dengan begitu secara kontan Raka pasti akan sakit hati dan meninggalkan Mila. Menurutnya tak masalah kalau Raka tiba-tiba saja meninggalkan Mila dengan alasan yang jelas. Lagi pula masalah perceraian bisa diurus setelah anak yang ada dalam kandungan Mila lahir. "Iya, kamu nggak sadar juga? Suamiku itu bisa hidup karena aku. Dia juga bisa mendapatkan apa-apa juga sebab uangku. Jadi, kamu jangan merasa senang karena dibela oleh Mas Raka. Karena dia juga akan tergantung padaku. Lalu, apa kamu pikir Mas Raka akan memberikan uang kepadamu? Tidak, kecuali dariku. Uang Mas Raka juga itu uangku. Apa kamu tidak menyadarinya?" ucap Mila. Dia sama sekali tidak curiga kepada Maura, apalagi wanita itu mengatakan hal tersebut sembari makan bubur. Perutnya sangat lapar. Anak yang ada dalam kandungan juga sudah menendang-nendang. Dia benar-benar merasa kalau hari ini
Awalnya Maura takut saat kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu, tetapi karena kelicikan yang sudah terlatih membuat dia berpikir lebih baik mempermainkan perasaan kakaknya itu, akan sangat menghancurkan Siapa tahu dengan tidak sengaja bisa berakibat fatal kepada anak yang ada dalam kandungan. Jadi, dia tidak perlu susah-susah menggugurkan kandungan Mila. Tinggal buat saja mental ibunya down, pasti anaknya ada dalam kandungan pun ikut terkena dampaknya. "Oh, Kakak mau tahu kenapa aku sampai yakin sekali kalau Mas Raka itu pasti membelaku? Sebab Mas Raka lebih percaya sama aku ketimbang sama istrinya. Kakak nggak sadar, ya? Kalau selama ini Mas Raka itu sudah lelah sekali berhubungan dengan Kak Mila, tetapi karena anak yang ada dalam kandungan itulah Mas Raka akhirnya bertahan. Dia sebenarnya berharap Kak Mila bisa berubah lebih baik, tidak terus mengekang dan cemburu buta. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi juga. Aku yakin, memang itu ada sifat asli Kak Mila, kan? Pencemburu dan mend
Maura istirahat sejenak di sebuah masjid, tapi dia sama sekali tidak salat. Hanya berteduh. Sebelumnya wanita itu pergi ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebab dia tidak mungkin menunggu terus Mila, sementara kakaknya itu menyebalkan. Ada saja kata-kata yang membuat dirinya semakin kesal.Wanita itu makan sambil melamun, banyak pikiran yang terus bergerilya di benak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Sementara Raka sama sekali tidak bisa dihubungi. Kalau misalkan dirinya pulang dengan Mila, apakah semua akan baik-baik saja dan rencananya untuk mengerjai kakaknya itu akan berhasil? Pertanyaan itu juga semakin menjadi-jadi di benaknya. Dia tak tahu harus melakukan apa. "Ah, capeknya! Aku harus benar-benar menerima semua ini. Lagi pula nggak ada salahnya, kan? Aku sudah menolongnya juga. Aku akan memulai aksiku nanti kalau sudah sampai rumah," gumam wanita itu langsung menghabiskan makanan.Dia memilih untuk kembali ke kamar kakaknya dan melihat kalau Mila sedang terduduk sembari he
"Sekarang masih diam lagi, kan? Berarti itu Kakak mengaku kalau selama ini aku belajar cara kejam dari Kakak. Aku tidak mungkin belajar dari orang lain. Pasti dari orang terdekat dulu. Coba saja dari awal saat aku datang ke sini untuk menjenguk Kakak di penjara, mungkin kejadiannya akan beda kalau Kakak bersikap baik saat itu. Ini pun aku pasti akan melupakan semua dendam dan kesakitan yang sudah Kakak beri. Sayangnya sampai detik terakhir, Kakak bersikap seperti ini. Jadi, untuk apa aku lembut dan tetap diam saja? Tidak, aku tidak mau bodoh dan menderita kedua kalinya. Sekarang terserah. Kalau misalkan aku harus keluar rumah, tanggung akibatnya. Kalau tidak mau, lakukan sesuai dengan keinginanku," ujar Maura. Setelah itu dia pergi dari hadapannya, membuat wanita hamil itu mengerang dengan hati yang dipenuhi amarah. "Maura, kurang ajar kamu! Awas! Aku akan buat perhitungan padamu!" seru Mila dengan suara parau. Maura memilih untuk keluar dan menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak
Mila sampai tidak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adiknya. Jadi, selama ini Maura itu menyimpan dendam begitu banyak. Dia kira wanita itu tidak akan melakukan hal seperti ini, sebab tahu kalau dirinya adalah keluarga satu-satunya di sini. Melihat diamnya Mila, Maura tersenyum sinis sembari melipat tangan di depan dada."Kakak tahu? Ini adalah curahan hatiku selama ini. Inginnya aku memakai-maki Kakak sebisaku, tetapi sayang ini rumah sakit. Aku tidak bisa begitu saja mengeluarkan unek-unek. Tetapi satu hal yang pasti, Kakak jangan mengharapkan apa-apa dariku. Kecuali kalau bisa membayarku dengan uang yang mahal," ucap Maura menantang. Mila hanya diam saja memandangi adiknya yang dulu polos dan penurut, setelah masuk ke dunia luar dan tinggal di kota sifatnya berubah drastis seperti ini. Entah siapa yang sudah meracuni Maura, tetapi Mila yakin wanita ini tidak tiba-tiba seperti ini. Padahal belum lama di Jakarta, tapi sudah berubah drastis. Diyakini ada yang meracuni piki
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud