Lusi kaget bukan main mendengar pernyataan dari sahabatnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata Devan akan menyusulnya ke rumah. Namun wanita itu saat ini tidak mau bertemu dengan siapa pun, takut jika malah terjadi konflik dan mungkin akan didengar oleh Alia yang sedang istirahat. Wanita itu mencari alasan dan memohon kepada Adiba agar Devan disuruh pergi dengan cara apa pun. "Loh, kok? Tidak bisa seperti itu. Lusi, aku sudah bilang kalau kamu ada di rumah," timpal Adiba dia tambah kebingungan, tapi tetap berusaha meyakinkan Lusi agar menemui Devan terlebih dahulu."Aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi saat ini aku tidak mau bertemu dengan Devan." "Kenapa?" "Akan aku ceritakan semuanya. Aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya, tolong."Melihat wajah Lusi yang memohon dan ada sekali beban pikiran yang tergambar jelas, membuat wanita itu kalang kabut. Sang gadis pun memilih untuk menuruti keinginan Adiba sambil mendekati Devan yang saat ini sedang
"Pokoknya kamu harus menempel terus di dekat Devan. Usahakan agar kamu itu bisa mengambil hati Devan, biar bisa dipercaya untuk mengelola restoran. Aku ingin dia bangkrut. Bila perlu, kamu rebut restorannya. Tentu saja kamu harus menghasut Devan, agar mau meninggalkan Lusi. Dengan begitu dia akan benar-benar hancur. Lakukanlah sebagaimana mestinya. Bukankah kamu itu berpengalaman merebut suami orang?" papar Arya, membuat senyuman di bibir Amanda luntur. Sebenarnya dia tidak suka dengan predikat tersebut, tetapi mau bagaimana? Lagi pula, memang kenyataannya Amanda adalah seorang pelakor, yang sudah merebut beberapa pria beristri. Untuk saat ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Lebih baik sang wanita melakukan tugasnya dengan benar, agar rencana ini segera terlaksana. Setelah itu dia akan benar-benar mengambil hati Devan."Jangan lupa kamu besok datang ke restorannya. Bukankah kamu diberikan kartu nama oleh Devan?" Amanda langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Tugasmu hanya
Hening beberapa saat. Tidak ada yang berbicara. Saat ini Lusi berhasil masuk ke tempat Maura. Gadis itu juga tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya bisa menunduk sembari memainkan jemari tangan. Sungguh, dia benar-benar merutuki diri karena sudah meminta sesuatu yang harusnya tidak dikatakan. Pasti Lusi saat ini murka kepada Maura, begitu pikir sang gadis. Tampaknya sebentar lagi dia harus bersiap untuk pulang ke kampung halaman, bertemu dengan Ayah dan ibunya. Lalu, kembali sengsara dan harus memenuhi kebutuhan kedua orang tua itu.Terdengar helaan napas panjang dari Lusi, membuat Maura memejamkan mata. Karena takut jika sang wanita akan memarahinya. "Coba jelaskan, kenapa kamu meminta hal seperti itu?" tanya Lusi dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau melukai hati adiknya. Bagaimanapun situasi saat ini sedang tidak baik, entah dirinya maupun Maura. "Maaf, Mbak. Kalau aku salah bicara, aku hanya refleks saja," ujar Maura, akhirnya mengungkapkan hal itu. Sebab dari tadi dia ta
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan melakukan seperti itu. Karena bagiku istri dan anak lebih utama, apalagi istrimu sudah melahirkan sampai nyawanya tidak terselamatkan."Mendengar kata-kata Arya yang begitu menusuk, membuat Devan terdiam. Dia pun memilih untuk bungkam, tidak melanjutkan perkataan itu. Arya juga memilih untuk pergi dari sana. Kalau terus-terusan di depan Devan, bisa-bisa emosinya terpancing. Apa pun yang berkaitan perihal sepupunya, membuat Arya terus-terusan memendam dendam kepada Devan. Sementara itu, Devan juga mulai bingung harus melakukan apa. Masalahnya jadi banyak seperti ini. Satu sisi dia tidak mungkin meninggalkan Amanda karena sudah menabraknya. Sisi lain Lusi juga salah paham dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya cara, dia harus segera bertemu dengan Lusi. Kalau tidak, masalah ini akan semakin membesar dan mungkin berefek kepada dirinya.Keesokan harinya, Devan sudah datang ke rumah Lusi. Betapa kagetnya saat mengetahui kalau Lusi ternyata pergi ke
Tiba-tiba saja Adiba mencengkram kedua pipi Anaya, membuat gadis itu terkesiap. Rani yang melihatnya pun kaget bukan main. Adiba mendekat pada Anaya, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, sampai gadis itu pun membisikan sesuatu kepada Anaya. Tubuh Anaya begitu bergetar mendengarnya. "Lo tahu? Gue itu pernah masukin orang yang pernah bully gue ke rumah sakit. Bahkan, dia itu nggak bisa berjalan sampai sekarang. Jadi, kecil bagi gue buat melakukan hal sama sama lo, kalau lo masih buat masalah sama saudara gue atau lo mau coba sekarang?"Tatapan Adiba begitu menusuk dan mengintimidasi, membuat Anaya kontan menggelengkan kepala. Tiba-tiba Adiba langsung menghempaskan wajah Anaya, membuat wanita itu hampir saja terjerembab ke lantai kalau tidak ditahan oleh Rani. "Ingat, ya! Kalau sampai gue dengar saudara gue dibully atau dianiaya sama kalian, lo berdua nggak akan pernah melihat masa depan. Paham?"Anaya langsung menganggukkan kepala, setelah itu Adiba menghadap kepada Maura
Lusi menghentikan mobilnya di bahu jalan. Entah di mana, yang pasti dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Antara penyesalan dan juga kelegaan bercampur jadi satu. Karena dia sudah bisa melepas Devan dengan alasan jelas. Memang dari awal dia setengah hati menjalani hubungan ini. Hanya terlintas untuk memanfaatkan pria itu dan balas dendam kepada Raka. Tetapi ternyata dia mulai main hati dan merasa sakit saat melihat Devan bersama wanita lain. Padahal harusnya Lusi bersiap untuk menerima semua itu. Lagi pula, pada akhirnya dia akan meninggalkan Devan jika rencananya sudah selesai. Ternyata semua kejadian itu membuatnya bisa mengambil hikmah.Sekarang, Lusi akan kembali ke jalurnya yang seharusnya, tidak melibatkan siapapun. Apalagi seorang pria. Dia tidak mau tertaut hatinya kepada siapapun lagi. Selama rencananya belum berhasil, segala perasaan yang bersarang harus dikendalikan. Mungkin dia bisa memikirkan semua ini dengan matang. Jika orang tuanya masih ada, pasti akan membantun
"Loh, Ibu ngapain di sini?" tanya Raka, suaranya tergagap. Dia benar-benar kaget, berpikir kalau ibunya sudah pergi dari restoran ini. Ternyata Bu Sinta balik lagi. Sebenarnya, wanita itu tiba-tiba saja kebelet saat sudah di luar restoran, jadi dia berpikir untuk menumpang ke kamar mandi terlebih dahulu. Tetapi yang dilihat, anaknya sedang membereskan piring bekas makannya. Apalagi memakai seragam yang sesuai dengan karyawan yang ada di sini."Ibu yang harusnya tanya, kamu lagi ngapain di sini, hah?!" tanya Bu Sinta dengan setengah berteriak, membuat tamu-tamu yang lain mulai menjadikan mereka sebagai tontonan. Arya yang melihat itu pun langsung menghampirinya. Tampaknya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, ada apa, ya? Kenapa ribut-ribut di restoran kami?" tanya Arya, berusaha untuk menengahi dan berpura-pura secara spontanitas. "Ini loh, Mas. Kenapa anak saya ada di sini? Pakai seragam pula," tanya Bu Sinta menyelidik. Raka tidak bisa berkata-kata. Dia seperti dejavu k
Lusi langsung menoleh dengan tatapan yang datar. Maura terkesiap, jantungnya berdetak sangat kencang. Tampaknya dia sudah mengucapkan sesuatu yang fatal, sampai wanita ini bersikap dingin kepadanya.Lusi lalu kembali menatap lurus ke depan. Dia menghela napas panjang sembari memejamkan mata, seolah berusaha untuk melepaskan beban yang begitu menyakitkan. "Maksudmu, aku harus kembali kepada benalu itu?" tanya Lusi. Maura terperangah. Raka disebut benalu oleh Lusi. Dia memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai Lusi menyebutnya benalu. Karena setahunya kakaknya itu berselingkuh dengan Raka sampai akhirnya diviralkan. Tetapi masalah intinya tidak tahu menahu sampai sekarang. "Maksudnya gimana?" Lusi tersenyum miring. Dia menoleh kepada Maura dan bersikap sewajarnya. "Selama ini kan dia numpang hidup kepadaku. Ayahku yang menerimanya sebagai suami. Mas Raka itu hanyalah karyawan biasa. Ya, kebetulan saja aku merasa kagum dengan sikapnya yang dulu. Aku pikir Mas Raka itu pri
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb
Maura tampak muram dan ketakutan. Dia tidak tahu harus tenang apa, karena saat ini posisinya sedang sendirian. Tidak ada tempat bergantung. Bahkan kakaknya sendiri pun malah mengintimidasi. Tapi, kalau sampai Mila mengetahui masalah ini, yang ada dia akan semakin dipersulit atau mungkin bisa saja malah dilaporkan ke polisi dan berakhir di penjara. Membayangkannya saja membuat Maura merasa ketakutan, apalagi kalau jadi kenyataan. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini, berharap kalau ada solusi lain. Namun semakin diamkan, perasaannya semakin gundah. Maura tidak bisa diam saja. Dia harus meminta bantuan kepada seseorang dan satu orang yang terlintas di benak wanita itu adalah nama Raka.Dengan cepat dia menelepon Raka, tapi sayangnya tidak aktif. “Apa Mas Raka sengaja melakukan ini agar tidak ada yang mengganggu?” gumam sang wanita dan tebakan Maura memang benar.Raka sengaja mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh Mila atau siapapun yang akan memperkeruh suasana. Hari ini jug
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-