"Jadi, gimana keadaan Lusi di rumah?" tanya Arya, setelah Maura dan Raka berkumpul di tempat Amanda. Sebelumnya Maura pikir mereka memang menyewa sebuah tempat yang mewah untuk dijadikan markas, tetapi ternyata ini adalah rumah kontrakan Amanda. Bahkan gadis itu baru tahu kalau Arya menyewa Amanda untuk menghancurkan hubungan kedua orang ini. Padahal, dia pikir Lusi dan Devan mengakhiri hubungan karena permintaan dirinya. Ternyata, memang ada andil Arya. Maura benar-benar tidak terima karena keterlibatan Amanda, tidak diketahui oleh dirinya sendiri. "Kenapa Mas Arya tidak bilang kalau ada orang baru di tim kita?!" tanya Maura, dengan wajah kesal. Arya menoleh kepada gadis itu dan langsung tersenyum kecil. "Memangnya kenapa? Bukankah memang tujuan kita itu untuk memisahkan mereka. Kamu juga senang kan kalau keduanya berpisah?" tanya Arya membuat Maura kesal. Sebenarnya bukan itu poin yang penting, hanya saja dia tidak mau berdebat dan memilih untuk diam. Amanda yang melihat kehadi
Arya menghela napas kasar. Dia, lalu menoleh kepada Raka sembari tatapan sinis."Lihatlah, begini kalau misalkan kamu ikut sertakan anak ingusan sepertinya. Aku sudah bilang kan, apa manfaatnya? Tapi, kamu bilang dia pasti bermanfaat dan memata-matai Lusi di rumah. Kalau dia bekerja bagaimana dia bisa memata-matai Lusi? Apalagi Maura ini masih sekolah, kan? Mana mungkin dia bisa bekerja, hah?!" papar Arya, membuat Raka jadi bingung sendiri.Dia menoleh kepada Maura, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak terbawa emosi sebab cuitan dari Amanda. Raka berusaha untuk menenangkan semua orang yang ada di sini. Dia tahu, dialah yang memulai semua ini. Lagi pula kalau misalkan Raka tiba-tiba saja membuang Maura dari grup yang sudah ditentukan mereka, merasa bersalah. Sebab karena Maura dia bisa menjalankan rencana semua ini. "Sudahlah. Kenapa kalian harus mendebatkan semua ini? Biarkan saja kalau misalkan Maura berkata seperti itu. Bukankah kamu tahu sendiri, Arya? Kalau dia juga yang me
Sudah lewat dari Magrib, tapi Maura belum juga pulang. Padahal yang lain. sudah makan malam. Sebenarnya Lusi ingin menunggu Maura terlebih dahulu, tetapi mengingat Adiba dan juga Alia, dia tidak tega kalau misalkan membiarkan mereka menunggu terlalu lama. Terpaksa Lusi pun membiarkan keduanya untuk makan. Sementara dia memilih untuk menunggu Maura. Wanita itu tampak mondar-mandir di depan pintu utama, berharap kalau Maura segera datang. Sebenarnya Lusi sudah menelepon Maura beberapa kali. Tetapi, sayangnya tidak juga diangkat. Adiba yang melihat kegundahan Lusi pun menghampiri temannya itu. "Kenapa, Lus? Kok, kamu kayak lagi bingung seperti itu?" "Diba, Maura belum juga pulang. Padahal, sudah Magrib. Aku sedang berusaha meneleponnya untuk cepat pulang, tapi bagaimana ini?" tanya Lusi. Wajahnya begitu khawatir. Adiba merasa kasihan kepada Lusi, bertambah beban sejak kehadiran Maura. Tetapi mau bagaimana lagi? Dari mereka berdua sama-sama mengalir darah yang sama, jadi pasti Lusi t
Adiba tiba-tiba saja tersenyum miring, tampaknya dia tahu apa yang dipikirkan Maura. Tiba-tiba saja gadis itu ke dalam dengan membawa tas Maura, tentu saja si empunya juga kaget. Dia menyusul Adiba. "Mbak, mau diapain?! Ke siniin tas aku!" Maura berusaha untuk menyusul Adiba, tampaknya penutup hari ini akan diisi dengan pertengkaran atau debatan lagi. Sampai akhirnya tiba-tiba saja Adiba sudah ada di depan Lusi, yang kebetulan sedang duduk bersama Alia. Mereka kaget mendengar ribut-ribut dari arah depan."Ada apa, sih?" tanya Lusi. "Nih, lihat itu isi tas Maura." Lusi langsung menerima tas gadis itu, membuat Maura langsung terkesiap. Wajahnya pucat pasi dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Ini benar-benar sebuah hari yang tak disangka. Sudah bertemu dengan Amanda, sekarang dia harus berhadapan dengan Lusi sebab kebohongannya sendiri. Lusi pun melihat isi tas itu, yang ternyata baju dengan barcode. Itu artinya baru saja dibeli."Apa ini, Maura?" tanya Lusi dengan wajah seriu
"Tidak ada, Mbak. Kenapa Mbak bertanya seperti itu? Tatapannya kayak menyelidik. Aku benar-benar ingin kerja paruh waktu agar mandiri," papar Maura dengan wajah ketus, tapi terlihat serius. Lusi yang melihatnya pun tampak diam sejenak, sepertinya sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan, mendengar permintaan dari adiknya ini. Sampai tak lama kemudian, akhirnya wanita itu memberikan keputusannya yang membuat Adiba geleng-geleng kepala. "Ya, sudah kalau begitu. Tapi hanya Sabtu Minggu, ya? Hari sekolah, kamu harus tetap sekolah dengan baik dan aku tidak mau sampai mendengar kalau nilaimu turun gara-gara kerja paruh waktu ini. Mengerti?" Maura tersenyum senang. "Tentu saja, Mbak. Aku akan mempertahankan nilai-nilaiku yang baik dan tidak akan pernah mengecewakan Mbak Lusi," ucap Maura. Gadis itu pun bereuforia dan meninggalkan Adiba yang terperangah kaget. Setelah gadis itu menghilang, sekarang Adiba mengajukan protes. "Kamu yakin memberikan izin kepadanya?" "Ya, lagian untuk ap
"Untuk apa kamu mau berbicara dengan anak saya? Anak saya mau berangkat kerja!" seru Bu Sinta, berusaha untuk mencegah pembicaraan yang terjadi antara anaknya dan Mila. "Jangan gitu, dong, Bu. Aku kan belum pernah bicara dengan Mas Raka. Lagi pula sebentar, tidak akan lama," ucap Mila memohon. Raka yang melihat kalau Mila ini memang seperti ingin membicarakan sesuatu yang penting, akhirnya memilih untuk membiarkan sang wanita berbicara dengannya."Loh, kok kamu kayak gitu, sih? Nanti kamu terlambat kerja bagaimana?" ucap Bu Sinta berusaha untuk mencegah anaknya."Nggak apa-apa, Bu. Ya, ini masih ada satu jam lagi sampai jam masuk kerja. Jadi, biarkan saja aku berbicara dulu dengan Mila." Mila tersenyum, senang saat mendengar kalau Raka mau berbicara dengannya. Berbeda dengan Bu Sinta, ketakutan kalau Mila itu akan membicarakan sesuatu perihal tes DNA. Tetapi dia juga tidak mungkin tiba-tiba saja menyerobot dan mungkin ini akan lebih mencurigakan untuk Raka. Raka dan Mila pun agak
"Anak itu licik juga. Dia pikir bisa mengelabuiku dengan cara masuk ke gang kecil seperti itu? Awas aja! Akan aku ikuti kamu kemana pun," ujar Adiba.Sang gadis lalu parkir di depan sebuah toko yang kebetulan masih tutup, jadi dia bisa langsung mengikuti Maura. Adiba tidak boleh sampai kehilangan jejak Maura, karena seterusnya gadis itu pasti akan turun di sini. Sebenarnya bisa saja besok dia mencari tahu, tetapi mumpung hari ini libur, dia juga tidak mau menunda-nunda lagi perihal ini semua. Kecurigaannya harus segera dituntaskan, yaitu dengan melihat sendiri apa yang dilakukan oleh adiknya Lusi itu. Dari tadi Maura menoleh ke belakang, takut jika diikuti oleh Adiba. Sang gadis yang berlari kecil pun akhirnya berhenti sejenak, menghela napas berkali-kali. Berusaha untuk tenang. Setelah keluar dari gang kecil itu, dia kembali berjalan di jalan raya yang sebelumnya. Beberapa meter lagi dia pun sampai ke tempat itu. Untunglah Adiba mengikuti Maura dengan jalan cepat dan melihat kalau
Mendengar itu, Arya memijat pelipisnya yang berdenyut. Padahal ini masih pagi, tetapi ada saja keributan disebabkannya oleh kedua orang yang menginginkan Devan. "Bisakah kalian tidak ribut? Malu di sini sudah ada pelanggan. Amanda, sebaiknya kamu tunggu saja Devan di ruangannya dan kamu Maura, harus ikut denganku. Kita akan memulai training dulu," papar Arya.Adiba melirik kepada pria bernama Arya, sang gadis kesal karena pria itu malah mengakhiri pembicaraan mereka. Padahal, biarkan saja Amanda dan Maura debat, dengan begitu Adiba akan tahu sampai mana rahasia Maura terhadap perilakunya kepada Lusi. Sayangnya, semua sudah berakhir. Adiba jadi bingung, dia harus tetap di sini atau memilih untuk pergi. Sementara tidak ada informasi lagi yang dia dapatkan. Sialnya, dia tidak merekam pembicaraan mereka tadi. Hanya mengambil foto saja.Adiba memilih tetap di sini, mungkin ada kesempatan lain untuk mendapatkan rekaman kedua orang itu. Selang 10 menit, Devan pun datang. Adiba kaget meliha