"Tidak ada, Mbak. Kenapa Mbak bertanya seperti itu? Tatapannya kayak menyelidik. Aku benar-benar ingin kerja paruh waktu agar mandiri," papar Maura dengan wajah ketus, tapi terlihat serius. Lusi yang melihatnya pun tampak diam sejenak, sepertinya sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan, mendengar permintaan dari adiknya ini. Sampai tak lama kemudian, akhirnya wanita itu memberikan keputusannya yang membuat Adiba geleng-geleng kepala. "Ya, sudah kalau begitu. Tapi hanya Sabtu Minggu, ya? Hari sekolah, kamu harus tetap sekolah dengan baik dan aku tidak mau sampai mendengar kalau nilaimu turun gara-gara kerja paruh waktu ini. Mengerti?" Maura tersenyum senang. "Tentu saja, Mbak. Aku akan mempertahankan nilai-nilaiku yang baik dan tidak akan pernah mengecewakan Mbak Lusi," ucap Maura. Gadis itu pun bereuforia dan meninggalkan Adiba yang terperangah kaget. Setelah gadis itu menghilang, sekarang Adiba mengajukan protes. "Kamu yakin memberikan izin kepadanya?" "Ya, lagian untuk ap
"Untuk apa kamu mau berbicara dengan anak saya? Anak saya mau berangkat kerja!" seru Bu Sinta, berusaha untuk mencegah pembicaraan yang terjadi antara anaknya dan Mila. "Jangan gitu, dong, Bu. Aku kan belum pernah bicara dengan Mas Raka. Lagi pula sebentar, tidak akan lama," ucap Mila memohon. Raka yang melihat kalau Mila ini memang seperti ingin membicarakan sesuatu yang penting, akhirnya memilih untuk membiarkan sang wanita berbicara dengannya."Loh, kok kamu kayak gitu, sih? Nanti kamu terlambat kerja bagaimana?" ucap Bu Sinta berusaha untuk mencegah anaknya."Nggak apa-apa, Bu. Ya, ini masih ada satu jam lagi sampai jam masuk kerja. Jadi, biarkan saja aku berbicara dulu dengan Mila." Mila tersenyum, senang saat mendengar kalau Raka mau berbicara dengannya. Berbeda dengan Bu Sinta, ketakutan kalau Mila itu akan membicarakan sesuatu perihal tes DNA. Tetapi dia juga tidak mungkin tiba-tiba saja menyerobot dan mungkin ini akan lebih mencurigakan untuk Raka. Raka dan Mila pun agak
"Anak itu licik juga. Dia pikir bisa mengelabuiku dengan cara masuk ke gang kecil seperti itu? Awas aja! Akan aku ikuti kamu kemana pun," ujar Adiba.Sang gadis lalu parkir di depan sebuah toko yang kebetulan masih tutup, jadi dia bisa langsung mengikuti Maura. Adiba tidak boleh sampai kehilangan jejak Maura, karena seterusnya gadis itu pasti akan turun di sini. Sebenarnya bisa saja besok dia mencari tahu, tetapi mumpung hari ini libur, dia juga tidak mau menunda-nunda lagi perihal ini semua. Kecurigaannya harus segera dituntaskan, yaitu dengan melihat sendiri apa yang dilakukan oleh adiknya Lusi itu. Dari tadi Maura menoleh ke belakang, takut jika diikuti oleh Adiba. Sang gadis yang berlari kecil pun akhirnya berhenti sejenak, menghela napas berkali-kali. Berusaha untuk tenang. Setelah keluar dari gang kecil itu, dia kembali berjalan di jalan raya yang sebelumnya. Beberapa meter lagi dia pun sampai ke tempat itu. Untunglah Adiba mengikuti Maura dengan jalan cepat dan melihat kalau
Mendengar itu, Arya memijat pelipisnya yang berdenyut. Padahal ini masih pagi, tetapi ada saja keributan disebabkannya oleh kedua orang yang menginginkan Devan. "Bisakah kalian tidak ribut? Malu di sini sudah ada pelanggan. Amanda, sebaiknya kamu tunggu saja Devan di ruangannya dan kamu Maura, harus ikut denganku. Kita akan memulai training dulu," papar Arya.Adiba melirik kepada pria bernama Arya, sang gadis kesal karena pria itu malah mengakhiri pembicaraan mereka. Padahal, biarkan saja Amanda dan Maura debat, dengan begitu Adiba akan tahu sampai mana rahasia Maura terhadap perilakunya kepada Lusi. Sayangnya, semua sudah berakhir. Adiba jadi bingung, dia harus tetap di sini atau memilih untuk pergi. Sementara tidak ada informasi lagi yang dia dapatkan. Sialnya, dia tidak merekam pembicaraan mereka tadi. Hanya mengambil foto saja.Adiba memilih tetap di sini, mungkin ada kesempatan lain untuk mendapatkan rekaman kedua orang itu. Selang 10 menit, Devan pun datang. Adiba kaget meliha
Devan semakin bingung karena kehadiran Maura. Sebelumnya, dia sama sekali tidak merasa mempekerjakan Maura. Sekali lagi Devan memastikan apa yang membuat Maura ada di sini. Mungkin saja gadis itu hanya sedang bermain atau berkunjung saja. "Kamu kerja di sini?" tanya Devan, lagi membuat Maura jadi salah tingkah, lebih tepatnya takut kalau pria itu marah kepadanya. Sementara Adiba masih berusaha untuk merekam pembicaraan mereka. Rasanya tak nyaman sekali memakai kacamata, hoodie dan juga masker. Tetapi demi kebaikan Lusi, dia harus melakukan ini semua. "Ayo jawab! Kenapa kamu ada di sini? Kamu bekerja?" tanya Devan lagi, karena belum mendapat jawaban apa pun dari Maura.Gadis itu terkesiap mendengar nada bicara Devan. Dengan cepat Maura pun menjawabnya walaupun terbata-bata."I-iya, Mas. Aku kerja di sini.""Apa?!" Devan memejamkan mata sembari berdecak kasar. Ini masalah untuk Devan. Dia sama sekali tidak pernah memperkerjakan Maura. Pria itu langsung melirik kepada Arya dan tahu k
Raka tidak punya pilihan lain, harus menandatangani surat perjanjian yang ditunjukkan Lusi. Padahal dirinya hanya ingin kembali kepada Lusi dan hanya menikmati harta itu. Dia benar-benar tidak pernah terpikirkan untuk merampas semua harta Lusi, kecuali ibunya.Mungkin saja Bu Sinta memang punya rencana lain, sampai mendorongnya untuk kembali kepada Lusi. Pria itu baru menyadari hal itu sekarang, karena terlalu fokus mengejar sang mantan istri. Bukan hanya itu saja, ini juga akan semakin memberatkan Raka untuk mendapatkan hati sang wanita. Tetapi, dia sudah bertekad dalam hati, akan benar-benar memperjuangkan wanita di depannya ini. Lusi tahu kalau sebenarnya Raka berat hati menandatangani itu semua, tetapi akan lebih menyakitkan lagi kalau dia kembali ditipu oleh sang pria. Jadi, ini merupakan sebuah penjagaan untuknya agar tidak terjadi hal yang buruk. Setelah selesai, Lusi merasa puas. Dia langsung menyuruh Raka untuk mengerjakan beberapa berkas. Tentu saja ini tidak boleh terlew
Adiba menghela napas panjang. Dia duduk tepat di depan Lusi. “Lakukan yang seharusnya kamu lakukan, Lus.”“Tapi, dia itu adikku, Diba.”Sesuai dengan perkiraan Adiba, Lusi akan lemah karena hubungan darah di antara mereka. Tetapi, Adiba harus meyakinkan Lusi kalau semua ini akan memberikan dampak yang buruk bagi Lusi, terutama Alia.“Ya, aku paham. Dia keluargamu yang berharga. Tetapi, lebih berharga mana dengan anakmu?”Wanita itu kontan menoleh mendengar perkataan Adiba. “Apa maksudmu?”Adiba terdiam. Padahal saat bertemu kembali dengan wanita ini, Adiba melihat kekuatan di mata Lusi meskipun sang teman dalam keadaan terpuruk. Tetapi, karena ikatan darah, semua kekuatan itu akhirnya runtuh juga. Sampai tidak sadar bahaya apa yang sedang menanti sang wanita.“Lus, bagaimana kalau ternyata Maura mencelakai Alia?”Wanita di depannya ini langsung berdiri dengan wajah kaget. “Itu tidak mungkin, Diba. Sebelum kamu ke sini, Maura terlihat sangat menyayangi anakku.”“Itu kan di depan kamu. T
Raka terkesiap saat melihat Devan datang bersama seorang wanita, Amanda. Pria itu sudah tahu siapa Amanda dan keduanya harus pura-pura tidak kenal demi lancarnya sebuah rencana. Namun, Raka langsung memberikan tatapan sinis pada Devan.“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Raka dengan berani.Mungkin sebelumnya dia harus menjaga sikap pada Devan saat di restoran. Tetapi, sekarang beda lagi. Dia bisa mengatakan apa saja pada pria ini karena sudah tidak bekerja pada Devan.“Aku ingin menemui Lusi,” jawab Devan dengan lugas. Terlihat kalau dirinya begitu sinis pada Raka.“Dia sedang bekerja. Sebaiknya kamu pergi saja,” cetus Raka, dagunya sampai dinaikkan. Dia tampak seorang pelindung bagi Lusi, tidak sadar dengan posisi diri sendiri.Devan menatap sinis. “Aku tidak ada urusan denganmu.”“Urusan Lusi urusanku juga.”Devan terkekeh sembari menggelengkan kepala. “Oh iya? Kamu siapanya Lusi?”Seketika Raka tersentak mendengarnya. Mulutnya tia-tiba terasa kelu, tak bisa menjawab pertanyaan Devan.