Halo semua. Sepertinya ini pertama kalinya aku menyapa kalian. Bagaimana kabar kalian? Semoga sehat dan bahagia. Terima kasih atas kesetiaan kalian pada cerita ini. Aku berjanji dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi kalian. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Tuhan. Aamiin ....
Raka terkesiap saat melihat Devan datang bersama seorang wanita, Amanda. Pria itu sudah tahu siapa Amanda dan keduanya harus pura-pura tidak kenal demi lancarnya sebuah rencana. Namun, Raka langsung memberikan tatapan sinis pada Devan.“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Raka dengan berani.Mungkin sebelumnya dia harus menjaga sikap pada Devan saat di restoran. Tetapi, sekarang beda lagi. Dia bisa mengatakan apa saja pada pria ini karena sudah tidak bekerja pada Devan.“Aku ingin menemui Lusi,” jawab Devan dengan lugas. Terlihat kalau dirinya begitu sinis pada Raka.“Dia sedang bekerja. Sebaiknya kamu pergi saja,” cetus Raka, dagunya sampai dinaikkan. Dia tampak seorang pelindung bagi Lusi, tidak sadar dengan posisi diri sendiri.Devan menatap sinis. “Aku tidak ada urusan denganmu.”“Urusan Lusi urusanku juga.”Devan terkekeh sembari menggelengkan kepala. “Oh iya? Kamu siapanya Lusi?”Seketika Raka tersentak mendengarnya. Mulutnya tia-tiba terasa kelu, tak bisa menjawab pertanyaan Devan.
Devan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan alasan pria itu berbohong. Amanda juga tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti perintah Devan untuk berbicara sesuai dengan kejadian versi Devan. Lusi diam sejenak sembari melihat gelagat Amanda yang tampak terpaksa.Meskipun Amanda sudah mengatakan yang sesuai dengan Devan, tapi Lusi yakin ada yang disembunyikan oleh wanita itu. Lusi tetap tenang, sekarang giliran Devan yang ditatap. Ada sorot mata penuh penyesalan dan permohoan jadi satu. Mungkin memang cerita Devan benar. Tetapi, ada hal yang harus Lusi pastikan dulu.“Kamu sudah bertanggung jawab, kan, Mas?”Devan langsung menganggukkan kepala. Dia tidak boleh berbohong lagi, benar-benar tidak mau kehilangan wanita itu.“Benar itu?” tanya Lusi, kepada Amanda.Wanita itu pun sontak menganggukkan kepala. “Tentu saja. Bahkan, sekarang aku diberi pekerjaan oleh Mas Devan.”Lusi dan Devan sama-sama terdiam mengdengarnya. Tampaknya Amanda sudah salah berbicara.“Benarkah? Bagian apa?”
“K-Kak Mila?”Maura kaget bukan main. Dia tidak menyangka bisa bertemu kakaknya di sini. Padahal sepengetahuannya, Mila ada di penjara. Tetapi kenapa sekarang bisa berkeliaran bebas?“Bagaimana bisa—““Bebas maksudmu?” sela Mila, membuat gadis itu bungkam.Sedari dulu, Mila memang selalu mendominasi dalam hal apa pun. Dari kasih sayang, perhatian dan keadilan di antara keduanya. Lebih parahnya lagi, Mila membenci kehadiran Maura. Sebab karena kelahiran Maura semuanya jadi kacau.Hanya saja Maura tetap berusaha untuk dekat dan peduli pada Mila sebab hanya wanita itulah satu-satunya keluarga yang tersisa bagi Maura, berharap Mila mau berbaik hati padanya.Namun, setelah meminta pembebasan untuk Mila kala itu, Lusi malah menawarkan kehipan yang lebih baik. Tentu saja Maura memilih Lusi.Gadis itu merasa sudah mengkhianati Mila, makanya syok saat melihat kebebasan sang Kakak.“Kenapa diam saja? Kamu masih tidak percaya ini aku?” tanya Mila sembari duduk di depan Maura yang masih berdiri.
“Oh, ya udah kalau begitu. Tapi, sebelumnya kamu mau tahu enggak? Ada satu rahasia yang akan buat kamu kaget.”Maura sudah sangat jengah mendengar ocehan gadis itu. Ingin sekali marah-marah, tetapi bisa berabe dan malah membuat masalah baru. Dia pun menoleh kepada Adiba dengan malas.“Rahasia apalagi, sih, Mbak? Lagian, jarang-jarang Mbak berbagi rahasia sama aku.”Adiba tersenyum penuh arti, lalu dia mendekat dan membisikan sesuatu pada gadis itu. “Aku tahu loh kalau kamu itu sudah dipecat dari tempat kerjamu.”Seketika gadis itu melotot. Dia syok mendengarnya. Seperti disiram air es, hingga membeku ditempat. Maura sampai meneguk saliva dengan susah payah. Pertanyaan yang langsung hinggap di benak Maura adalah, bagaimana Adiba tahu tentang kabar itu?Adiba menjauh dan masih berhadapan dengan Maura. Gadis itu menyeringai melihat reaksi dari remaja yang masih labil tersebut.“Kenapa? Apa kamu bertanya-tanya aku tahu dari mana?”Maura masih diam. Dia tidak berkutik. Tampaknya gadis di d
“Bu, apa harus menggunakan cara itu? Itu keterlaluan, Bu.”Menurut Raka ide yang diberikan ibunya terlalu ekstrim. Banyak cara mendapatkan Lusi, tapi bukan dengan cara sperti itu.“Halah, keterlaluan gimana? Lebih keterlaluan mana dengan Lusi yang membuatmu viral sampe tidak bisa bekerja di manapun? Sudahlah, pakai logika, jangan persaaan. Kecuali, kalau kamu mau Lusi diembat sama laki-laki lain.”Raka langsung menoleh dengan wajah tegang. “Maksud Ibu apa? Lusi sudah tidak berhubungan dengan Devan lagi.”Bu Sinta tersenyum miring. Anaknya ini terlalu naif, sampai tidak sadar akan sesuatu yang sangat penting.“Kamu itu naif, bodoh atau pura-pura bodoh, hah?! Lihat kondisi Lusi sekarang. Dia seorang bos, punya banyak bisnis. Ditambah Lusi cantik dan baik hati. Kamu pikir yang menginginkan Lusi hanya si Devan itu saja? Enggak!”Bu Sinta jadi kesal sendiri. Harusnya anak itu sedikit pintar dalam menaghadapi situasi. Entah bagaimana kalau tidak ada dirinya, mungkin Raka akan melakukan hal
“Sial banget, sih. Sejak kedatangan Mbak Adiba, Mbak Lusi jadi dekat dengannya. Aku malah dicuekin di sini. Yang dituntut hanya belajar baik dan gak macam-macam. Aku juga kan butuh teman ngobrol.”Maura menggerutu sembari jalan ke kamar. Dai pikir setelah keluar dari rumah orang tuanya, kehidupan sang gadis akan membaik. Tetapi, malah seperti ini. Yang didapatkan Muara hanya tuntutan dan perintah saja. Gadis itu memilih diam di kamar sembari menunggu Adiba mengajaknya untuk berangkat.Sementara itu di tempat lain, saat ini Raka sedang berada di jalan menggunakan taksi bersama ibunya. Beberapa kali pria itu sudah bertanya ke mana mereka akan pergi, tapi tak disebutkan.“Sudah, jangan banyak tanya. Yang penting nurut dan Lusi akan kembali.”Raka pun hanya bisa diam, sampai hampir satu jam kemudian mereka sampai di sebuah desa yang sangat asri. Raka tidak sempat melihat nama desa ini, sebab dia tertidur di jalan. Pria itu terbangun saat taksi sampai di depan sebuah rumah gaya dulu.Saat
“Kalian bisa berpisah lagi kalau kamu mengakui anak Mila,” cetus Bu Sinta dengan kesal.Raka diam saja. Hati kecilnya berbisik, apakah dia bisa melakukan itu semua? Membuang darah dagingnya sendiri? Sementara bayi itu tidak salah sama sekali.“Bu, bayi itu tidak bersalah. Apa perlu aku melakukan kejahatan seperti itu?”“Kamu itu terlalu pakai perasaan. Kalau memang tidak tega, tinggal kasih nafkah saja setiap bulannya untuk anak itu. Tapi, itu pun kalau memang dia anak kandungmu. Intinya, jangan dibuat pusing dengan hal yang belum pasti.” Bu Sinta gampang sekali mengatakan itu, karena hanya bisa merintah. Sementara yang menjalankan adalah Raka. Pria itu lagi-lagi tak bisa mengatakan apa-apa.Sementara itu, Adiba sudah bersiap dengan Maura. Sebenarnya gadis itu merasa malas sekali jika berurusan dengan Adiba. Sebab, pasti ada saja masalah yang timbul.Sementara Lusi mengamati Maura yang tampak gusar. Sejak Adiba memperlihatkan bukti tentang Maura, wanita itu jadi merasa harus waspada.
“Ngapain di situ saja? Ayo, masuk!” seru Adiba saat dia hendak masuk ke restoran, tapi Maura hanya diam di tempat.Maura berdecak keras. Dari pada melihat Adiba, lebih baik dia tunggu saja di mobil. Begitu pikir sang gadis. Namun, tampaknya Adiba tidak mau.“Mbak aja. Aku kan udah dipecat, malu kalau ke dalam. Dikira nanti ngarep balik lagi.”“Bukannya memang ngarep balik lagi, kan?” celetuk Adiba, membuat Maura mendengkus kesal.“Sudahlah, kamu datang buat nemenim makan. Kalau ada yang tanya kenapa ke sini, jawab saja jadi pelanggan, bukan pelayan.”Adiba tidak mau menerima alasan apa pun, langsung menarik tangan Maura untuk ikut dengan gadis itu.Saat sampai di dalam, mereka berdua disambut oleh Arya yang kebetulan ada di dekat pintu. Pria itu sontak terdiam, lebih tepatnya terpana dengan penampilan Adiba.Mungkin saja pria itu sama sekali tidak mengenali Adiba yang dimaksud oleh Maura tempo hari.“Silakan masuk,” ucap Arya, sedikit gugup.Pria itu sempat melirik sekilas pada Maura,