“Bu, apa harus menggunakan cara itu? Itu keterlaluan, Bu.”Menurut Raka ide yang diberikan ibunya terlalu ekstrim. Banyak cara mendapatkan Lusi, tapi bukan dengan cara sperti itu.“Halah, keterlaluan gimana? Lebih keterlaluan mana dengan Lusi yang membuatmu viral sampe tidak bisa bekerja di manapun? Sudahlah, pakai logika, jangan persaaan. Kecuali, kalau kamu mau Lusi diembat sama laki-laki lain.”Raka langsung menoleh dengan wajah tegang. “Maksud Ibu apa? Lusi sudah tidak berhubungan dengan Devan lagi.”Bu Sinta tersenyum miring. Anaknya ini terlalu naif, sampai tidak sadar akan sesuatu yang sangat penting.“Kamu itu naif, bodoh atau pura-pura bodoh, hah?! Lihat kondisi Lusi sekarang. Dia seorang bos, punya banyak bisnis. Ditambah Lusi cantik dan baik hati. Kamu pikir yang menginginkan Lusi hanya si Devan itu saja? Enggak!”Bu Sinta jadi kesal sendiri. Harusnya anak itu sedikit pintar dalam menaghadapi situasi. Entah bagaimana kalau tidak ada dirinya, mungkin Raka akan melakukan hal
“Sial banget, sih. Sejak kedatangan Mbak Adiba, Mbak Lusi jadi dekat dengannya. Aku malah dicuekin di sini. Yang dituntut hanya belajar baik dan gak macam-macam. Aku juga kan butuh teman ngobrol.”Maura menggerutu sembari jalan ke kamar. Dai pikir setelah keluar dari rumah orang tuanya, kehidupan sang gadis akan membaik. Tetapi, malah seperti ini. Yang didapatkan Muara hanya tuntutan dan perintah saja. Gadis itu memilih diam di kamar sembari menunggu Adiba mengajaknya untuk berangkat.Sementara itu di tempat lain, saat ini Raka sedang berada di jalan menggunakan taksi bersama ibunya. Beberapa kali pria itu sudah bertanya ke mana mereka akan pergi, tapi tak disebutkan.“Sudah, jangan banyak tanya. Yang penting nurut dan Lusi akan kembali.”Raka pun hanya bisa diam, sampai hampir satu jam kemudian mereka sampai di sebuah desa yang sangat asri. Raka tidak sempat melihat nama desa ini, sebab dia tertidur di jalan. Pria itu terbangun saat taksi sampai di depan sebuah rumah gaya dulu.Saat
“Kalian bisa berpisah lagi kalau kamu mengakui anak Mila,” cetus Bu Sinta dengan kesal.Raka diam saja. Hati kecilnya berbisik, apakah dia bisa melakukan itu semua? Membuang darah dagingnya sendiri? Sementara bayi itu tidak salah sama sekali.“Bu, bayi itu tidak bersalah. Apa perlu aku melakukan kejahatan seperti itu?”“Kamu itu terlalu pakai perasaan. Kalau memang tidak tega, tinggal kasih nafkah saja setiap bulannya untuk anak itu. Tapi, itu pun kalau memang dia anak kandungmu. Intinya, jangan dibuat pusing dengan hal yang belum pasti.” Bu Sinta gampang sekali mengatakan itu, karena hanya bisa merintah. Sementara yang menjalankan adalah Raka. Pria itu lagi-lagi tak bisa mengatakan apa-apa.Sementara itu, Adiba sudah bersiap dengan Maura. Sebenarnya gadis itu merasa malas sekali jika berurusan dengan Adiba. Sebab, pasti ada saja masalah yang timbul.Sementara Lusi mengamati Maura yang tampak gusar. Sejak Adiba memperlihatkan bukti tentang Maura, wanita itu jadi merasa harus waspada.
“Ngapain di situ saja? Ayo, masuk!” seru Adiba saat dia hendak masuk ke restoran, tapi Maura hanya diam di tempat.Maura berdecak keras. Dari pada melihat Adiba, lebih baik dia tunggu saja di mobil. Begitu pikir sang gadis. Namun, tampaknya Adiba tidak mau.“Mbak aja. Aku kan udah dipecat, malu kalau ke dalam. Dikira nanti ngarep balik lagi.”“Bukannya memang ngarep balik lagi, kan?” celetuk Adiba, membuat Maura mendengkus kesal.“Sudahlah, kamu datang buat nemenim makan. Kalau ada yang tanya kenapa ke sini, jawab saja jadi pelanggan, bukan pelayan.”Adiba tidak mau menerima alasan apa pun, langsung menarik tangan Maura untuk ikut dengan gadis itu.Saat sampai di dalam, mereka berdua disambut oleh Arya yang kebetulan ada di dekat pintu. Pria itu sontak terdiam, lebih tepatnya terpana dengan penampilan Adiba.Mungkin saja pria itu sama sekali tidak mengenali Adiba yang dimaksud oleh Maura tempo hari.“Silakan masuk,” ucap Arya, sedikit gugup.Pria itu sempat melirik sekilas pada Maura,
“Kartu namaku.”Adiba merasa puas, ternyata membuat pria ini terpesona semudah ini? Mana yang katanya tidak tertarik dengan wanita manapun? Tetapi, buktinya? Arya hanya perlu seorang gadis yang berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya.Gadis itu menaikkan sebelah alis, seolah bertanya apa maksud dari pria itu memberikan kartu namanya.“Nanti kalau mau makan menu yang ada di sini, tinggal hubungi aku saja.”Adiba tersenyum kecil. “Kupikir tidak ada layanan seperti ini.”“Hanya untuk pelanggan spesial.”Arya sama sekali tidak memberikan senyumannya. Tetapi, sorot mata dan raut wajahnya tampak sekali sedang berusaha menarik perhatian Adiba.“Aku tidak tahu soal itu. Tapi, terima kasih atas layanan spesial ini.”Setelah itu, Adiba dan Maura pun pergi dari sana. Arya hanya bisa melihat kepergian keduanya dengan perasaan campur aduk.Selama di perjalanan, Adiba diam. Sesekali menyeringai aneh. Gadis itu sudah banyak menyusun rencana, yang pasti selanjutnya dia akan membuat sebuah kejadia
Sesampainya di timezone, Alia begitu antusias. Dia menghabiskan waktu dengan kedua orang tuanya. Sesekali, Lusi dan Raka bermain bersama anaknya secara bergantian.Saat ini Lusi yang sedang bermain dengan Alia, sementara Raka menunggu dari kejauhan. Kala itu, Raka langsung terpikirkan tentang rencananya. Ini peluang yang sangat bagus.Sang pria melihat botol minuman di tas Lusi. Pria itu bergegas membuang isinya, lalu mengganti dengan air ajian dari dukun. Mungkin terlihat licik, tapi dari awal memang cara ini sudah salah. Jadi, sekalian saja melakukannya dengan jalan yang salah juga.Selang 15 menit kemudian, Lusi dan Alia pun menyudahi permainannya. Alia hendak meminum air di botol milik Lusi, tapi langsung dicegah.“Ini punya Ibu, Alia minum yang baru saja, ya?”Pria itu mengeluarkan botol minum miliknya yang masih tersegel rapi. Sementara itu Raka menyerahkan botol milik Lusi.Wanita itu sama sekali tidak curiga dengan apa yang sudah dilakukan oleh sang pria. Meminum air itu hingg
Raka berpindah tempat, duduk di samping Lusi. Dia akan memberikan dokrin kepada Lusi, agar wanita itu mau mengikuti semua perintahnya.“Kalau begitu, kita rujuk saja, ya?”Lusi menoleh kepada Raka. Lagi-lagi tatapan wanita itu tampak tak karuan, lebih terlihat kosong.“Rujuk?”“Iya, rujuk. Kita bersama lagi, seperti dulu. Aku, kamu dan Alia. Mau kan?”Lusi tampak bingung. Raka berusaha mendesak Lusi untuk segera menjawab. Tetapi, didahului dengan suara dering ponsel Lusi.Wanita itu tampak kaget, sementara Raka dan Bu Sinta yang melihatnya hanya berdecak keras.Tertera nama Adiba di sana. Wanita itu langsung menolaknya. Raka kalah cepat, harusnya sang pria melarang. Bisa-bisa berabe kalau sampai Adiba tahu di mana mereka.“Halo, Lus. Kamu di mana?”“Aku—“Raka langsung meraih ponsel Lusi dan mematikan sambungan telepon. Sang wanita sempat kaget dengan pergerakan Raka, tapi Lusi sama sekali tak protes.Bu Sinta berdecak kagum. Kalau sebelumnya, wanita itu pasti akan menolak dan menganc
Sementara itu di tempat Mila, dia tampak tak tenang. Menunggu hari esok, keputusan apakah dia masih bisa mempertahankan Raka atau tidak. Sang wanita mengelus perutnya dengan lembut, berusahan berkomunikasi dengan anaknya agar besok bisa bekerja sama, menyemogakan agar mereka bisa kembali bersama dengan Raka.Untunglah, usaha butik dari hasil dia ‘bekerja’ di tempat lahirnya beberapa minggu yang lalu membuahkan hasil. Banyak peminat dari produk-produk di butik Mila. Wanita itu juga memasarkannya lewat on line, makanya lebih cepat terkenal. Tentu tanpa wajahnya.Mana mungkin Mila memasang wajahnya yang sempat viral karena kasus perselingkuhan. Wanita itu memakai pegawai yang live dan admin untuk mengelola toko onlinenya. Tentu saja di bawah pengawasannya.Untuk ekonomi, Mila memang membaik. Tetapi untuk percintaan, tampaknya Mila harus lebih ekstra usaha keras.“Nak, kita berdoa, ya. Semoga kamu adalah anak kandung dari Ayah Raka. Dengan begitu, kita bisa bersama lagi.”Di rumah Bu Sint