Raka berpindah tempat, duduk di samping Lusi. Dia akan memberikan dokrin kepada Lusi, agar wanita itu mau mengikuti semua perintahnya.“Kalau begitu, kita rujuk saja, ya?”Lusi menoleh kepada Raka. Lagi-lagi tatapan wanita itu tampak tak karuan, lebih terlihat kosong.“Rujuk?”“Iya, rujuk. Kita bersama lagi, seperti dulu. Aku, kamu dan Alia. Mau kan?”Lusi tampak bingung. Raka berusaha mendesak Lusi untuk segera menjawab. Tetapi, didahului dengan suara dering ponsel Lusi.Wanita itu tampak kaget, sementara Raka dan Bu Sinta yang melihatnya hanya berdecak keras.Tertera nama Adiba di sana. Wanita itu langsung menolaknya. Raka kalah cepat, harusnya sang pria melarang. Bisa-bisa berabe kalau sampai Adiba tahu di mana mereka.“Halo, Lus. Kamu di mana?”“Aku—“Raka langsung meraih ponsel Lusi dan mematikan sambungan telepon. Sang wanita sempat kaget dengan pergerakan Raka, tapi Lusi sama sekali tak protes.Bu Sinta berdecak kagum. Kalau sebelumnya, wanita itu pasti akan menolak dan menganc
Sementara itu di tempat Mila, dia tampak tak tenang. Menunggu hari esok, keputusan apakah dia masih bisa mempertahankan Raka atau tidak. Sang wanita mengelus perutnya dengan lembut, berusahan berkomunikasi dengan anaknya agar besok bisa bekerja sama, menyemogakan agar mereka bisa kembali bersama dengan Raka.Untunglah, usaha butik dari hasil dia ‘bekerja’ di tempat lahirnya beberapa minggu yang lalu membuahkan hasil. Banyak peminat dari produk-produk di butik Mila. Wanita itu juga memasarkannya lewat on line, makanya lebih cepat terkenal. Tentu tanpa wajahnya.Mana mungkin Mila memasang wajahnya yang sempat viral karena kasus perselingkuhan. Wanita itu memakai pegawai yang live dan admin untuk mengelola toko onlinenya. Tentu saja di bawah pengawasannya.Untuk ekonomi, Mila memang membaik. Tetapi untuk percintaan, tampaknya Mila harus lebih ekstra usaha keras.“Nak, kita berdoa, ya. Semoga kamu adalah anak kandung dari Ayah Raka. Dengan begitu, kita bisa bersama lagi.”Di rumah Bu Sint
Alia begitu bahagia saat tahu kalau dia akan diantarkan sekolah oleh Ayah dan ibunya, sama seperti dulu sebelum orang tuanya berpisah. Raka juga merasa kalau kebahagiaa akan segera menghampiri sebab perubahan Lusi memang sangat drastis.Awalnya dia dan Lusi akan berangkat jam 9 pagi, sesuai dengan kesepakatan awal. Tetapi, entah kenapa Bu Sinta tiba-tiba saja menyuruh Raka berangkat lebih awal meninggalkan rumah. Mengajak Lusi sarapan di luar sebelum pertemuan mereka dengan Mila.Raka tidak mau ambil pusing itu, yang penting semua rencana ibunya demi kebaikan dirinya.Di sela-sela sarapan mereka di sebuah restoran, Raka mulai berbicara dendan Lusi. Sang pria akan memberikan dokrin dan sebuah sugesti yang akan dipatuhi oleh Lusi.“Lus, aku sengaja mau ajak kamu keluar untuk bertemu Mila.”Tubuh Lusi menegang mendengarnya. Tetapi, wajahnya terlihat bingung dan khawatir. Tampaknya ajian yang masuk ke tubuh Lusi membuat wanita itu melupakan kisah tentang Mila.“Kenapa, Mas? Kamu memilih d
“Kenapa kamu tidak bilang kepadaku?!” tanya Devan, malah ikutan kesal pada Maura.Gadis itu mendelik, greget juga. Harusnya sang pria tahu kalau dirinya masih kesal perihal pemecatannya di restoran milik sang pria.“Buat apa? Mas Devan saja sudah memecatku, jadi untuk apa aku memberi informasi itu.”Devan menoleh dengan wajah tak percaya. Sang pria sampai tak bisa berkata-kata. Di saat seperti ini Maura malah membicarakan perihal pekerjaan.Padalah bagi sang gadis itu bukan hanya sekedar pekerjaan belaka, tapi sebuah usaha untuk mendekati pria yang disukainya.“Kalau masalah itu, kita bahas nanti. Sekarang, fokus ngurusi mereka dulu. Oke?”Maura hanya diam saja dan melihat ke depan. Sesekali melirik ke samping. Walaupun dalam keadaan seperti ini, tapi Maura sudah sangat senang.Kapan lagi bisa semobil dengan Devan? Berdua pula. Hatinya benar-benar merasa bahagia, berharap momen seperti ini terus terulang.Sementara itu selama dalam perjalanan, Raka terus mengobrol dengan Lusi. Bahkan
Mila membulatkan mata saat membaca isi surat tes DNA tersebut. Tangannya bergetar dengan mata berkaca-kaca. Melihat reaksi Mila, jantung Raka kembali berdetak dengan sangat kencang. Ada ketakutan yang begitu kentara di wajah sang pria.Sementara Lusi yang melihat itu kebingungan. Di sisi lain, Devan dan Maura menunggu dengan gelisah. Keduanya punya harapan berbeda. Sang pria mau Mila itu mengandung anak Raka. Dengan begitu Lusi tidak bisa kembali kepada Raka.Sementara, Maura berharap Mila tidak mengandung anak Raka. Agar Lusi dan Raka kembali bersama. Dengan begitu, Devan tidak akan bisa mendekati wanita itu lagi.“Apa hasilnya?” tanya Raka, karena sedari tadi Mila masih saja diam.Melihat wanita itu tidak juga bergerak, Raka dengan cepat merebut kertas itu. Mila sempat kaget dan tersadarkan. Sang wanita berusaha untuk meraih kertas itu lagi, tapi dihalangi oleh Raka.“Sinikan kertasnya, Mas!” seru Mila, berusaha menghalangi Raka agar tidak membaca isinya.Lusi hanya mundur beberapa
Devan melihat kepergian mobil Lusi dari kejauhan. Wajah pria itu sudah tak karuan. Berbagai rasa bercampur aduk jadi satu. Devan merasa sangat hancur, ini lebih menyakitkan dari kehilangan istrinya sendiri.Mungkin karena Devan menyimpan perasaan pada Lusi sudah sejak lama. Jadi, rasa kecewanya sangat terasa. Melihat itu Maura juga merasa kasihan, sekaligus senang. Di saat seseorang sedang terpuruk seperti ini, pasti mudah untuk dihasut.Sang gadis mengusap pundak sang pria dengan pelan. “Mas, kita harus pergi. Tidak mungkin kan kita di sini terus?”Devan menoleh pada gadis itu dengan wajah frustrasi. “Kita harus mengikuti mereka,” ujar Devan, dengan suara bergetar.Kalau saja tidak malu, mungkin pria itu akan menangis. Tetapi, Devan tidak mau kehilangan jejak sang wanita.“Tidak perlu, Mas. Mereka pasti pergi ke kantor.”“Bagaimana kamu tahu?”“Ya, kan Mbak Lusi banyak kerjaan sampai dibawa ke rumah. Pasti ke kantor. Sebaiknya Mas juga berangkat ke restoran.”Jangankan kerja, Devan
Selang beberapa menit kemudian mereka pun sudah sampai di rumah Devan. Maura membayar argo dari uang yang sebelumnya diberikan oleh Devan.“Pak, tolong bantu saya.”Devan yang masih saja meracau dipapah oleh sopir itu. Untunglah gerbang rumah Devan tidak dikunci, jadi bisa masuk dengan mudah. Sang gadis sempat tercengang melihat halaman rumah Devan yang luas dan indah.“Ini mau dibawa ke mana, Non?”Maura terkesiap. Hampir saja lupa sebab melihat keindahan rumah Devan.“Bawa masuk saja, Pak. Ayo!”Maura menemukan kunci rumah Devan dari saku jas dalam pria itu. Sang gadis tidak boleh terlihat mencurigakan di depan sopir, bisa-bisa dia dicurigai.Setelah berhasil masuk rumah, Maura meminta agar Devan dibiarkan di sofa.“Terima kasih, ya, Pak.”“Sama-sama, Non. Kasihan Mas nya, jaga baik-baik kakaknya, Non.”Maura hanya bisa menganggukkan kepala saja. Setelah kepergian sopir taksi, Maura malah melihat ke sekeliling rumah Devan yang mewah dan estetik.“Wah, ini sih lebih bagus dari rumah
“Maura?!” tanya Devan, sedikit menaikkan nada bicara.Sebab sedari tadi Maura hanya diam saja. Malah terlihat berpikir dan gelisah.“A-aku takut, Mas,” ucap Maura, tergagap dan gugup.Devan mengusap kasar wajahnya, entah untuk kesekian kalinya. Kalau Maura tidak menceritakan semuanya, bagaimana bisa dia tahu semua kejadian itu.Sang pria melihat jam di nakas dekat ranjang. Sudah jam 2 siang. Hari ini dia belum ke restoran. Sang pria melihat ponsel di dekat jas tergeletak di sofa, pinggir Maura berada.Ada banyak panggilan, salah satunya dari Arya dan Amanda. Pasti semua orang sedang mencarinya. Tetapi, dia tidak bisa keluar rumah tanpa mendengar keterangan dari Maura.Sang pria kembali menatap Maura dengan wajah tenang, meskipun hati dan pikirannya sedang benar-benar kacau.“Kamu jangan takut. Aku tidak akan melakukan apa-apa kepadamu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana semua ini bisa terjadi, ya?”Maura tidak langsung menjawab, tetapi memberikan tatapan memelas dan sedih. Setelahnya, sa