Tiba-tiba saja Adiba mencengkram kedua pipi Anaya, membuat gadis itu terkesiap. Rani yang melihatnya pun kaget bukan main. Adiba mendekat pada Anaya, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, sampai gadis itu pun membisikan sesuatu kepada Anaya. Tubuh Anaya begitu bergetar mendengarnya. "Lo tahu? Gue itu pernah masukin orang yang pernah bully gue ke rumah sakit. Bahkan, dia itu nggak bisa berjalan sampai sekarang. Jadi, kecil bagi gue buat melakukan hal sama sama lo, kalau lo masih buat masalah sama saudara gue atau lo mau coba sekarang?"Tatapan Adiba begitu menusuk dan mengintimidasi, membuat Anaya kontan menggelengkan kepala. Tiba-tiba Adiba langsung menghempaskan wajah Anaya, membuat wanita itu hampir saja terjerembab ke lantai kalau tidak ditahan oleh Rani. "Ingat, ya! Kalau sampai gue dengar saudara gue dibully atau dianiaya sama kalian, lo berdua nggak akan pernah melihat masa depan. Paham?"Anaya langsung menganggukkan kepala, setelah itu Adiba menghadap kepada Maura
Lusi menghentikan mobilnya di bahu jalan. Entah di mana, yang pasti dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Antara penyesalan dan juga kelegaan bercampur jadi satu. Karena dia sudah bisa melepas Devan dengan alasan jelas. Memang dari awal dia setengah hati menjalani hubungan ini. Hanya terlintas untuk memanfaatkan pria itu dan balas dendam kepada Raka. Tetapi ternyata dia mulai main hati dan merasa sakit saat melihat Devan bersama wanita lain. Padahal harusnya Lusi bersiap untuk menerima semua itu. Lagi pula, pada akhirnya dia akan meninggalkan Devan jika rencananya sudah selesai. Ternyata semua kejadian itu membuatnya bisa mengambil hikmah.Sekarang, Lusi akan kembali ke jalurnya yang seharusnya, tidak melibatkan siapapun. Apalagi seorang pria. Dia tidak mau tertaut hatinya kepada siapapun lagi. Selama rencananya belum berhasil, segala perasaan yang bersarang harus dikendalikan. Mungkin dia bisa memikirkan semua ini dengan matang. Jika orang tuanya masih ada, pasti akan membantun
"Loh, Ibu ngapain di sini?" tanya Raka, suaranya tergagap. Dia benar-benar kaget, berpikir kalau ibunya sudah pergi dari restoran ini. Ternyata Bu Sinta balik lagi. Sebenarnya, wanita itu tiba-tiba saja kebelet saat sudah di luar restoran, jadi dia berpikir untuk menumpang ke kamar mandi terlebih dahulu. Tetapi yang dilihat, anaknya sedang membereskan piring bekas makannya. Apalagi memakai seragam yang sesuai dengan karyawan yang ada di sini."Ibu yang harusnya tanya, kamu lagi ngapain di sini, hah?!" tanya Bu Sinta dengan setengah berteriak, membuat tamu-tamu yang lain mulai menjadikan mereka sebagai tontonan. Arya yang melihat itu pun langsung menghampirinya. Tampaknya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, ada apa, ya? Kenapa ribut-ribut di restoran kami?" tanya Arya, berusaha untuk menengahi dan berpura-pura secara spontanitas. "Ini loh, Mas. Kenapa anak saya ada di sini? Pakai seragam pula," tanya Bu Sinta menyelidik. Raka tidak bisa berkata-kata. Dia seperti dejavu k
Lusi langsung menoleh dengan tatapan yang datar. Maura terkesiap, jantungnya berdetak sangat kencang. Tampaknya dia sudah mengucapkan sesuatu yang fatal, sampai wanita ini bersikap dingin kepadanya.Lusi lalu kembali menatap lurus ke depan. Dia menghela napas panjang sembari memejamkan mata, seolah berusaha untuk melepaskan beban yang begitu menyakitkan. "Maksudmu, aku harus kembali kepada benalu itu?" tanya Lusi. Maura terperangah. Raka disebut benalu oleh Lusi. Dia memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai Lusi menyebutnya benalu. Karena setahunya kakaknya itu berselingkuh dengan Raka sampai akhirnya diviralkan. Tetapi masalah intinya tidak tahu menahu sampai sekarang. "Maksudnya gimana?" Lusi tersenyum miring. Dia menoleh kepada Maura dan bersikap sewajarnya. "Selama ini kan dia numpang hidup kepadaku. Ayahku yang menerimanya sebagai suami. Mas Raka itu hanyalah karyawan biasa. Ya, kebetulan saja aku merasa kagum dengan sikapnya yang dulu. Aku pikir Mas Raka itu pri
"Jadi, gimana keadaan Lusi di rumah?" tanya Arya, setelah Maura dan Raka berkumpul di tempat Amanda. Sebelumnya Maura pikir mereka memang menyewa sebuah tempat yang mewah untuk dijadikan markas, tetapi ternyata ini adalah rumah kontrakan Amanda. Bahkan gadis itu baru tahu kalau Arya menyewa Amanda untuk menghancurkan hubungan kedua orang ini. Padahal, dia pikir Lusi dan Devan mengakhiri hubungan karena permintaan dirinya. Ternyata, memang ada andil Arya. Maura benar-benar tidak terima karena keterlibatan Amanda, tidak diketahui oleh dirinya sendiri. "Kenapa Mas Arya tidak bilang kalau ada orang baru di tim kita?!" tanya Maura, dengan wajah kesal. Arya menoleh kepada gadis itu dan langsung tersenyum kecil. "Memangnya kenapa? Bukankah memang tujuan kita itu untuk memisahkan mereka. Kamu juga senang kan kalau keduanya berpisah?" tanya Arya membuat Maura kesal. Sebenarnya bukan itu poin yang penting, hanya saja dia tidak mau berdebat dan memilih untuk diam. Amanda yang melihat kehadi
Arya menghela napas kasar. Dia, lalu menoleh kepada Raka sembari tatapan sinis."Lihatlah, begini kalau misalkan kamu ikut sertakan anak ingusan sepertinya. Aku sudah bilang kan, apa manfaatnya? Tapi, kamu bilang dia pasti bermanfaat dan memata-matai Lusi di rumah. Kalau dia bekerja bagaimana dia bisa memata-matai Lusi? Apalagi Maura ini masih sekolah, kan? Mana mungkin dia bisa bekerja, hah?!" papar Arya, membuat Raka jadi bingung sendiri.Dia menoleh kepada Maura, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak terbawa emosi sebab cuitan dari Amanda. Raka berusaha untuk menenangkan semua orang yang ada di sini. Dia tahu, dialah yang memulai semua ini. Lagi pula kalau misalkan Raka tiba-tiba saja membuang Maura dari grup yang sudah ditentukan mereka, merasa bersalah. Sebab karena Maura dia bisa menjalankan rencana semua ini. "Sudahlah. Kenapa kalian harus mendebatkan semua ini? Biarkan saja kalau misalkan Maura berkata seperti itu. Bukankah kamu tahu sendiri, Arya? Kalau dia juga yang me
Sudah lewat dari Magrib, tapi Maura belum juga pulang. Padahal yang lain. sudah makan malam. Sebenarnya Lusi ingin menunggu Maura terlebih dahulu, tetapi mengingat Adiba dan juga Alia, dia tidak tega kalau misalkan membiarkan mereka menunggu terlalu lama. Terpaksa Lusi pun membiarkan keduanya untuk makan. Sementara dia memilih untuk menunggu Maura. Wanita itu tampak mondar-mandir di depan pintu utama, berharap kalau Maura segera datang. Sebenarnya Lusi sudah menelepon Maura beberapa kali. Tetapi, sayangnya tidak juga diangkat. Adiba yang melihat kegundahan Lusi pun menghampiri temannya itu. "Kenapa, Lus? Kok, kamu kayak lagi bingung seperti itu?" "Diba, Maura belum juga pulang. Padahal, sudah Magrib. Aku sedang berusaha meneleponnya untuk cepat pulang, tapi bagaimana ini?" tanya Lusi. Wajahnya begitu khawatir. Adiba merasa kasihan kepada Lusi, bertambah beban sejak kehadiran Maura. Tetapi mau bagaimana lagi? Dari mereka berdua sama-sama mengalir darah yang sama, jadi pasti Lusi t
Adiba tiba-tiba saja tersenyum miring, tampaknya dia tahu apa yang dipikirkan Maura. Tiba-tiba saja gadis itu ke dalam dengan membawa tas Maura, tentu saja si empunya juga kaget. Dia menyusul Adiba. "Mbak, mau diapain?! Ke siniin tas aku!" Maura berusaha untuk menyusul Adiba, tampaknya penutup hari ini akan diisi dengan pertengkaran atau debatan lagi. Sampai akhirnya tiba-tiba saja Adiba sudah ada di depan Lusi, yang kebetulan sedang duduk bersama Alia. Mereka kaget mendengar ribut-ribut dari arah depan."Ada apa, sih?" tanya Lusi. "Nih, lihat itu isi tas Maura." Lusi langsung menerima tas gadis itu, membuat Maura langsung terkesiap. Wajahnya pucat pasi dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Ini benar-benar sebuah hari yang tak disangka. Sudah bertemu dengan Amanda, sekarang dia harus berhadapan dengan Lusi sebab kebohongannya sendiri. Lusi pun melihat isi tas itu, yang ternyata baju dengan barcode. Itu artinya baru saja dibeli."Apa ini, Maura?" tanya Lusi dengan wajah seriu