"Kenapa? Apa aku tidak bisa seperti Raka dan tidak menguasai bidang itu?" tanya Devan, tiba-tiba saja membuat Lusi benar-benar kaget mendengarnya. Biasanya pria ini begitu tenang menghadapi sesuatu, tetapi baru kali ini dia melihat Devan benar-benar marah seperti sekarang. "Bukan, Mas. Bukan maksudku seperti itu. Cuma, kamu kan di bidang restoran. Sementara aku di penerbitan, jadi menurutku itu beda sekali.""Beda? Apanya yang beda? Lalu, coba kamu cek laporan keuangan buatanku. Benar, kan?" "Iya, aku paham. Laporan keuangannya memang benar, tapi masalahnya untuk hal-hal lain semacam klien dan perihal apa pun yang berkaitan dengan penerbitan juga percetakan itu beda sekali dengan restoran, Mas."Devan diam. Dia menatap Lusi dengan tatapan menyelidik. Ini membuat jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Takut, jika pria itu berpikir macam-macam kepadanya. Padahal, niatnya bukan seperti itu. Dia memang sebelumnya berpikir untuk memperkerjakan Raka. Hanya saja karena Devan
Maura hendak membela diri, tapi tiba-tiba saja Anaya memegang pipinya dengan keras, membungkam gadis itu agar tidak berkata apa-apa. "Gue bilang diam! Kalau lo nggak mau hidup lo berantakan di sini, lo harus ikutin kemauan gue."Maura ingin menjawab, tapi tidak bisa. Karena mulutnya sulit sekali untuk digerakkan. "Kecuali kalau lo ingin menderita, ya terus berontak dan seolah-olah lo itu orang yang hebat. Ingat, ya! Ini tawaran dari gue," ucap Anaya. Setelah itu melepaskan cengkraman pada sang gadis dengan keras. Untung saja Maura tidak terjerembab lagi ke lantai. Rani dan Anaya memilih pergi sembari menertawakan wajah Maura yang begitu kesakitan. Maura menatap dua temannya dengan kekesalan penuh. Andaikan saja dia punya kekuatan untuk melawan mereka, mungkin sudah dilakukan dari tadi. Tetapi apalah daya, posisinya hanya sebagai siswa baru. Bahkan tidak ada satu pun teman yang mau mendekat kepadanya. Gadis itu pun memilih untuk pergi ke kantin, takut jika waktunya habis. Kalau ti
"Kamu yakin dengan kata-katamu? Aku melakukan ini karena belas kasihanmu, tidak mau sampai ada korban Devan lagi." Lusi membacanya pun tampak membayangkan. Hati yang berusaha untuk percaya dan tidak begitu saja termakan dengan omongan dari orang yang tak dikenal itu, mulai meragukan kepercayaannya sendiri. Mungkinkah apa yang dikatakan orang di seberang sana itu benar, jika Devan sedang bersama seorang wanita? Dan ini bukan editan seperti yang dipikirkan Lusi. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, membuat Lusi mulai berpikiran buruk perihal Devan. Arya tersenyum miring melihat Lusi tak membalas pesan darinya. Dia pun melancarkan kembali aksi. Arya memberikan alamat tempat Amanda tinggal, tentu saja ini akan lebih menyenangkan. Makin cepat mereka berpisah, semakin baik untuknya. Dia juga bisa semakin cepat menghancurkan Devan, karena memang sepertinya meluluhlantakan seseorang bukan dari mentalnya, tetapi dari hatinya. Jika hatinya sudah tersakiti, apalagi tentang
Dengan berat langkahnya, Lusi berusaha untuk tetap berjalan memasuki pelataran rumah itu. Dia benar-benar harus memastikan kalau itu adalah mobil Devan. Plat nomornya pun sama. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, takut kalau semua praduga yang diberikan oleh pengirim pesan misterius itu adalah kenyataan. Dari pantulan cahaya, Amanda melihat siluet dan itu yakin miliknya Lusi. Dengan cepat Amanda pun berpura-pura sakit dan mengeluhkan kakinya yang diperban. "Aduh, sakit," keluh Amanda, tiba-tiba membuat Devan kaget dan syok. Pria itu langsung merangkul Amanda. "Apa kamu tidak apa-apa? Mau kita pergi saja ke rumah sakit?""Tidak usah. Tolong antarkan aku ke kamar," pinta Amanda. Aktingnya benar-benar sempurna. Wajah Amanda memperlihatkan kalau dia benar-benar menderita dengan rasa sakit di kaki. Devan pun berusaha untuk memapah Amanda. Posisi mereka tampak berpelukan dari jauh. Lusi yang saat ini berada di ambang pintu pun kaget bukan main, melihat adegan yang terpampang jela
Tepat pukul 12.30, Lusi sampai di depan gerbang sekolah Maura. Dia mengamati kalau sekolah ini memang sangat megah. Dari luar tampak seperti asrama zaman kolonial Belanda, benar-benar memukau.Ini adalah kebanggaan tersendiri di hati Lusi, karena bisa menyekolahkan adiknya di sini. Meskipun mereka belum saling mengakui sebagai Adik Kakak. Di saat seperti ini, Lusi jadi teringat kembali pada Devan. Namun dengan segera wanita itu menghilangkan pemikiran-pemikiran tersebut. Dia harus fokus kepada keluarganya sendiri. Besok wanita itu akan kembali mengambil Raka untuk bekerja di tempatnya, tidak peduli lagi apa yang akan dikatakan Devan. Yang pasti wanita itu tidak mau berharap apa pun kepada sang pria. Lagi pula niat awal sebelumnya memang hanya ingin mempermainkan Raka saja, jadi menurut Lusi ini hal yang pantas dia lakukan. Wanita itu turun dari mobil dan hendak masuk ke gerbang sekolahan yang ada di sana, tetapi sebuah pemandangan langsung tertuju kepada kerumunan anak-anak yang be
Lusi kaget bukan main mendengar pernyataan dari sahabatnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata Devan akan menyusulnya ke rumah. Namun wanita itu saat ini tidak mau bertemu dengan siapa pun, takut jika malah terjadi konflik dan mungkin akan didengar oleh Alia yang sedang istirahat. Wanita itu mencari alasan dan memohon kepada Adiba agar Devan disuruh pergi dengan cara apa pun. "Loh, kok? Tidak bisa seperti itu. Lusi, aku sudah bilang kalau kamu ada di rumah," timpal Adiba dia tambah kebingungan, tapi tetap berusaha meyakinkan Lusi agar menemui Devan terlebih dahulu."Aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi saat ini aku tidak mau bertemu dengan Devan." "Kenapa?" "Akan aku ceritakan semuanya. Aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya, tolong."Melihat wajah Lusi yang memohon dan ada sekali beban pikiran yang tergambar jelas, membuat wanita itu kalang kabut. Sang gadis pun memilih untuk menuruti keinginan Adiba sambil mendekati Devan yang saat ini sedang
"Pokoknya kamu harus menempel terus di dekat Devan. Usahakan agar kamu itu bisa mengambil hati Devan, biar bisa dipercaya untuk mengelola restoran. Aku ingin dia bangkrut. Bila perlu, kamu rebut restorannya. Tentu saja kamu harus menghasut Devan, agar mau meninggalkan Lusi. Dengan begitu dia akan benar-benar hancur. Lakukanlah sebagaimana mestinya. Bukankah kamu itu berpengalaman merebut suami orang?" papar Arya, membuat senyuman di bibir Amanda luntur. Sebenarnya dia tidak suka dengan predikat tersebut, tetapi mau bagaimana? Lagi pula, memang kenyataannya Amanda adalah seorang pelakor, yang sudah merebut beberapa pria beristri. Untuk saat ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Lebih baik sang wanita melakukan tugasnya dengan benar, agar rencana ini segera terlaksana. Setelah itu dia akan benar-benar mengambil hati Devan."Jangan lupa kamu besok datang ke restorannya. Bukankah kamu diberikan kartu nama oleh Devan?" Amanda langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Tugasmu hanya
Hening beberapa saat. Tidak ada yang berbicara. Saat ini Lusi berhasil masuk ke tempat Maura. Gadis itu juga tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya bisa menunduk sembari memainkan jemari tangan. Sungguh, dia benar-benar merutuki diri karena sudah meminta sesuatu yang harusnya tidak dikatakan. Pasti Lusi saat ini murka kepada Maura, begitu pikir sang gadis. Tampaknya sebentar lagi dia harus bersiap untuk pulang ke kampung halaman, bertemu dengan Ayah dan ibunya. Lalu, kembali sengsara dan harus memenuhi kebutuhan kedua orang tua itu.Terdengar helaan napas panjang dari Lusi, membuat Maura memejamkan mata. Karena takut jika sang wanita akan memarahinya. "Coba jelaskan, kenapa kamu meminta hal seperti itu?" tanya Lusi dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau melukai hati adiknya. Bagaimanapun situasi saat ini sedang tidak baik, entah dirinya maupun Maura. "Maaf, Mbak. Kalau aku salah bicara, aku hanya refleks saja," ujar Maura, akhirnya mengungkapkan hal itu. Sebab dari tadi dia ta