Setelah kepergian Devan, Lusi langsung masuk ke rumah dan betapa kagetnya dia mendapati Maura sedang berdiri tak jauh dari pintu utama. "Ya Tuhan, Maura. Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa berdiri di sana?" Sebenarnya gadis itu ingin sekali keluar untuk melihat Devan, sekali saja. Tetapi sayangnya dia tidak bisa, sebab Devan langsung pulang. Gadis itu ingin pergi ke kamar, tapi saat pintunya terbuka Maura memilih untuk berdiri, tidak mau menimbulkan kecurigaan kalau Lusi melihat dia lari ke kamar. "Ah, nggak apa-apa, Mbak. Tadinya aku mau keluar, kan. Aku pikir ada suara mobil masuk. Eh, ternyata ada Mbak Lusi.""Terus, kenapa kamu malah berdiri di situ?"Maura hanya cengengesan sembari menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Lusi hanya menggelengkan kepala saja. Wajahnya kelihatan lelah dan stres. Maura bisa melihat itu. Sepertinya beban pekerjaan begitu berat. Ini adalah informasi yang bagus bagi Raka. Maura akan berusaha untuk memberi tahu Raka, agar sang pria membujuk Lusi
"Memangnya kamu mau pergi ke mana? Apakah ada tujuan lain atau rahasia lain yang belum aku tahu?" tanya Adiba membuat Lusi diam. Benar, hanya dirinya sendiri yang menyimpan semua rahasia ini, tidak Devan ataupun Adiba. Namun sekarang dia butuh bantuan dan mungkin saja semua ini tidak akan pernah bisa berjalan lancar kalau Lusi tidak menceritakan semuanya. Akhirnya, dengan berat hati Lusi pun mulai membuka rahasia siapa Maura dan Mila sebenarnya. Selama menceritakan itu Adiba kaget. Bahkan sang gadis sampai melotot dan menutup mulutnya, tak percaya. "Jadi, yang ada di rumah ini adalah Adik sedarah denganmu?" tanya Adiba, benar-benar tak menyangka. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang, sih? Kenapa tidak kemarin-kemarin? Lalu, Maura tahu tidak tentang kenyataan ini?" lanjut Adiba.Lusi langsung menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat sedih dan pasrah, membuat Adiba menghela napas panjang sembari mengguyar kepalanya. "Ya Tuhan, kenapa kamu tidak ceritakan saja kepada Maura, siap
Pagi-pagi sekali Bu Sinta tampak grasak-grusuk, sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama Mila. Raka yang melihat itu pun merasa keheranan, sebab biasanya Ibu itu tampak santai di pagi hari. Bahkan hanya menyiapkan sarapan untuknya.Karena rasa penasaran, akhirnya Raka bertanya. Tentu saja Bu Sinta menjawab kalau dia memang ingin jalan-jalan sebentar dengan teman-temannya. Ini sempat mencurigakan bagi Raka, karena dia tahu kalau ibunya itu tidak punya teman dekat atau teman baik. Kebanyakan teman-teman ibunya hanya untuk saling menggosip dan memanas-manasi saja. "Kalau begitu, hati-hati, ya. Jangan sampai terbawa hal-hal yang aneh," ucap Raka, membuat Bu Sinta mendelik. "Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu ini seperti ABG labil, gitu? Yang bisa terbawa arus. Ya enggaklah! Ibu juga pasti berpikir ulang," timpal Bu Sinta membela diri. Raka hanya tersenyum kecil. Padahal menurut Raka, ibunya itu lebih dari ABG labil. Setiap kali pulang berkumpul dengan teman-teman perkumpulannya it
"Aduh, aduh," ucap Amanda saat dibawa ke mobil Devan. Wanita itu didudukkan di kursi penumpang. Dengan cepat Devan langsung jalan berputar dan duduk di balik kemudi. Pria itu tampak ketakutan dan benar-benar merasa bersalah karena sudah menabrak orang. Padahal hari ini dia harusnya menemui Lusi, tapi malah ada kejadian yang tak terduga seperti ini. "Aku benar-benar minta maaf, tapi kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Devan, masih terlihat khawatir.Amanda yang melihat betapa ketakutannya pria di samping ini, membuat hatinya menghangat. Entah kapan terakhir kali dia mendapatkan perhatian seperti ini, tanpa memandang kalau dirinya hanyalah wanita penghibur yang didatangi saat dibutuhkan saja. "Kenapa kamu diam saja? Apakah ada bagian tubuhmu yang sakit selain di kaki?" tanya Devan, karena sudah dari tadi Amanda hanya diam saja. Dengan cepat wanita itu menggelengkan kepala, lalu beberapa detik kemudian meringis kesakitan sembari memegang lutut."Tidak apa-apa, mungkin ini hanya benturan
Lusi tampak mondar-mandir di kantornya. Beberapa kali melihat jam di tangan. Ini sudah pukul 8 lebih, tapi Devan belum juga datang. Padahal, janjinya pria itu akan mampir dulu ke kantor Lusi pagi-pagi sekali sebelum ke restoran. Tetapi kenapa sampai mengaret 1 jam dari perjanjian? Ini benar-benar membuat Lusi khawatir. Belum lagi telepon Lusi tidak diangkat sama sekali oleh pria itu, membuat sang wanita was-was bukan main. Dibandingkan memikirkan Devan terjadi masalah besar di jalan atau apa pun yang menimpa pria itu, Lusi malah berpikiran buruk perihal Devan yang berkaitan dengan seorang wanita. Ini dikarenakan pengalaman buruknya karena diselingkuhi oleh Raka. Sebuah trauma yang harus dia hadapi dan juga obati secara perlahan. Karena kalau tidak, mungkin selanjutnya Lusi akan terus-terusan berpikiran buruk kepada Devan. Wanita itu kembali duduk dan melihat jam di tangan. Dia ingin menelepon Devan lagi, tapi takut kalau pria itu risi. Entah kenapa ini pertama kalinya dia merasakan
Maura berusaha tenang sembari memegang dadanya yang masih bergetar. Ini benar-benar perasaan yang aneh. Kelakuan Maura seperti itu dilihat oleh Rani dan Anaya. Mereka tampak kesal, terutama Anaya. Rani melirik sekilas kepada temannya, sepertinya akan ada permusuhan yang sengit jika melihat dari gelagat gadis yang ada di sampingnya itu. "Sialan! Itu cewek belum juga satu hari udah buat masalah. Kemarin dia buat kita masuk ke BK, sekarang dia malah menggaet calon pacar gue, kurang ajar!" seru Anaya benar-benar kesal.Rani mulai khawatir kalau temannya ini akan emosi. Jika sampai terjadi, bisa-bisa Anaya melabrak Maura dan mungkin berakhir di BK lagi."Nay, gue tahu pasti lo kesel, tapi masalahnya jangan buat masalah dulu, deh," ucap Rani dengan hati-hati, karena dia tahu kalau tabiat Anaya itu mudah sekali tersinggung. Meskipun tampak tenang dari luar, tapi jika sudah tahu Anaya itu bisa menghalalkan segala cara agar semua keinginannya tercapai. Gadis itu menoleh kepada Rani dengan t
"Kenapa? Apa aku tidak bisa seperti Raka dan tidak menguasai bidang itu?" tanya Devan, tiba-tiba saja membuat Lusi benar-benar kaget mendengarnya. Biasanya pria ini begitu tenang menghadapi sesuatu, tetapi baru kali ini dia melihat Devan benar-benar marah seperti sekarang. "Bukan, Mas. Bukan maksudku seperti itu. Cuma, kamu kan di bidang restoran. Sementara aku di penerbitan, jadi menurutku itu beda sekali.""Beda? Apanya yang beda? Lalu, coba kamu cek laporan keuangan buatanku. Benar, kan?" "Iya, aku paham. Laporan keuangannya memang benar, tapi masalahnya untuk hal-hal lain semacam klien dan perihal apa pun yang berkaitan dengan penerbitan juga percetakan itu beda sekali dengan restoran, Mas."Devan diam. Dia menatap Lusi dengan tatapan menyelidik. Ini membuat jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Takut, jika pria itu berpikir macam-macam kepadanya. Padahal, niatnya bukan seperti itu. Dia memang sebelumnya berpikir untuk memperkerjakan Raka. Hanya saja karena Devan
Maura hendak membela diri, tapi tiba-tiba saja Anaya memegang pipinya dengan keras, membungkam gadis itu agar tidak berkata apa-apa. "Gue bilang diam! Kalau lo nggak mau hidup lo berantakan di sini, lo harus ikutin kemauan gue."Maura ingin menjawab, tapi tidak bisa. Karena mulutnya sulit sekali untuk digerakkan. "Kecuali kalau lo ingin menderita, ya terus berontak dan seolah-olah lo itu orang yang hebat. Ingat, ya! Ini tawaran dari gue," ucap Anaya. Setelah itu melepaskan cengkraman pada sang gadis dengan keras. Untung saja Maura tidak terjerembab lagi ke lantai. Rani dan Anaya memilih pergi sembari menertawakan wajah Maura yang begitu kesakitan. Maura menatap dua temannya dengan kekesalan penuh. Andaikan saja dia punya kekuatan untuk melawan mereka, mungkin sudah dilakukan dari tadi. Tetapi apalah daya, posisinya hanya sebagai siswa baru. Bahkan tidak ada satu pun teman yang mau mendekat kepadanya. Gadis itu pun memilih untuk pergi ke kantin, takut jika waktunya habis. Kalau ti
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B