"Coba, lihatlah istrimu itu! Dia berani mengancam mertuanya sendiri.""Iya, itu karena Ibu sudah memakinya." "Ibu juga memaki dia itu dengan alasan, Raka. Coba bandingkan dengan Lusi yang sama sekali belum pernah memaki Ibu selama menjadi istrimu. Coba kamu pikir ulang, apa kamu mau hidup dengan wanita yang seperti itu?" ujar Bu Sinta, membuat Raka terdiam.Namun sudah hatinya, pria itu merasa kalau ibunya ini memang sudah keterlaluan. Hanya saja dia juga tidak mau kembali kepada Mila, mengingat apa yang sudah mereka lakukan dan nama baik mereka berdua juga sudah tercoreng. Jadi, kalau sama-sama melanjutkan hidup bersama, maka itu akan menjadi aib seumur hidup."Iya, Bu. Ibu benar, dia tidak pantas untuk kujadikan seorang istri. Lagi pula Mila itu tidak menyayangi Alia. Jadi, untuk apa aku bertahan dengannya?"Raka benar-benar sudah bulat dengan semua yang dia pertimbangkan, karena baginya Mila tidak ada apa-apanya dibandingkan Lusi. "Mas, kamu beneran tidak takut kalau ibumu dipenj
Mila pun mengikuti arah telunjuk dari karyawan itu. Awalnya dia sangat antusias sampai tiba-tiba mimik mukanya langsung berubah kala melihat kalau orang yang ditunjuk itu adalah laki-laki yang bersama dengan seorang wanita, dia adalah Lusi. Dengan cepat Mila terkesiap, lalu berdiri dan menurunkan tangan karyawan yang menunjuk itu. "Sudah-sudah, tidak perlu ditunjuk seperti itu. Saya tidak jadi berinvestasi. Saya mau makan saja," ucapnya tiba-tiba membuat karyawan itu kebingungan. Sang pria ingin bertanya kenapa tiba-tiba saja berubah, padahal sebelumnya sang wanita begitu antusias. Namun demikian, dia tidak mau membuat masalah atau wanita yang ada di depannya ini akan memperpanjang masalah. Karyawan itu pun permisi, undur diri. Sementara Mila langsung menyantap makanannya. Awalnya dia begitu mood karena memang masakan di sini enak, tapi sialnya malah bertemu dengan seseorang yang paling dia benci. Segala pertanyaan pun bersarang di benak. Ada kemungkinan-kemungkinan yang terus b
"Biarkan Mas Raka bekerja di tempat kamu, Mas," ucap Lusi tiba-tiba saja membuat Devan terkesiap.Bahkan punggungnya sampai menegak karena mendengar perkataan dari wanitanya. "Maksudmu? Dia jadi pelayan di sini?" tanya Devan untuk memastikan kalau pemikirannya seperti itu. Lusi mengedikkan bahu. "Terserah kamu saja maunya dijadikan apa, yang pasti dia harus melunasi utang-utangnya padaku. Jadi biarkan Mas Raka berada di sini. Aku ingin tahu, sejauh mana dia menderita melihat kebersamaan kita, Mas. Itu juga akan menguntungkanmu, bukan? Kamu hanya perlu melihat bagaimana pekerjaannya. Jadi kamu juga tidak perlu khawatir tentang diriku. Bagaimana?" Devan terdiam sejenak. Sebenarnya dia tidak mau berurusan dengan Raka secara langsung, tetapi mengingat dirinya juga terus-terusan khawatir sebab hubungan Raka dan Lusi, membuat Devan akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali setuju dengan apa yang diusulkan oleh Lusi. "Baiklah kalau begitu, tapi masalahnya, bagaimana kalau misalkan Raka t
Maura pun diam sejenak. Dia punya satu cara agar Alia benar-benar tidak membenci Raka, yaitu menjelekkan kakaknya sendiri. Walaupun sebenarnya hatinya tidak menginginkan itu, untuk sekarang dia tidak punya pilihan selain menjadikan Mila sebagai kambing hitam atas permasalahan ini. "Begini, Alia. Alia tahu tidak? Kalau sebenarnya yang bersalah di sini itu Tante Mila."Gadis kecil itu kembali menoleh, kali ini kedua alisnya saling bertautan. Menandakan kalau dia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Maura. "Iya, memang salah. Tapi Ayah juga salah. Kenapa Ayah mau sama Tante Mila? Kan dia temannya Ibu," ucap Alia berusaha untuk mempertahankan pendapatnya sendiri.Maura tersenyum kaku, sepertinya Alia ini sama seperti Lusi yang punya pendirian kuat. Jadi, kalau misalkan untuk meruntuhkan apa yang diyakini oleh Alia, Maura harus bekerja keras ekstra untuk mencuci otak anak ini. "Iya benar, ayahnya Alia itu salah. Tante Mila salah, tapi tahu tidak? Yang mengawali masalah ini, itu Tant
Lusi memilih untuk pergi dari restoran Devan, karena dia benar-benar kesal pada pria itu. Devan malah membahas tentang larangannya untuk membalaskan semua rasa sakit kepada Raka. Devan tidak tahu saja apa yang sudah dia lalui dan apa yang telah dikorbankan wanita itu untuk membuat Raka sampai puncak. Namun setelah sukses atas bantuannya, pria itu malah berkhianat dengan temannya pula. Sang wanita mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat. Bahkan pria itu sama sekali tidak menyusulnya atau meminta maaf. Dia benar-benar kesal. Lusi pikir, Devan akan bisa dikendalikan dan mau mengikuti semua keinginannya tanpa bertanya atau berceramah seperti tadi. Lusi tidak suka dan itu membuatnya tersinggung. Sang wanita pun mencoba untuk menenangkan diri.Dia tidak boleh emosi, apalagi sedang menyetir mobil sendirian di jalanan seperti ini. Bisa-bisa akan ada kejadian yang tidak diinginkan. Masih ada Alia yang harus dia perjuangkan dan juga Maura yang perlu dana darinya agar bisa sukses. Tentunya
Lusi keluar dari kamar Alia dengan lesu. Dia pun memilih untuk duduk dulu di meja makan dan mengambil minum. Hari ini dia benar-benar lelah, banyak sekali kejadian yang tidak pernah diduga. Dari mereka kedatangan Raka, lalu tiba-tiba saja Devan menyuruhnya untuk berhenti melanjutkan rencananya dan sekarang Alia yang tiba-tiba ingin bertemu dengan Raka. Padahal sebelumnya anak itu anti sekali membicarakan perihal Ayah kandungnya. Semua benar-benar di luar dugaan yang tidak bisa ditebak sama sekali. Bahkan dia tidak mungkin menghindar semua masalah ini sendirian. Wanita itu memijat pelipis yang berdenyut. Benar-benar membuatnya sangat pusing tujuh keliling sebab bisa seperti itu. Maura yang keluar dari kamar pun dan ingin mengambil camilan terdiam di ambang pintu dapur. Dia melihat dengan jelas kalau Lusi sedang duduk lesu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu, tapi yang pasti Maura merasa senang. Karena itu artinya sang wanita sedang menghadapi masalah. Mungkin ini terl
"Kenapa, Maura? Ayo katakan sesuatu! Jangan membuatku curiga dengan gelagatmu yang seperti itu." Maura tersentak. Dia benar-benar tidak bisa berdiam diri lagi atau Lusi akan benar-benar mencurigai semuanya atau lebih parahnya lagi Lusi akan mamviralkan Maura seperti yang dilakukan wanita itu kepada kakaknya sendiri. Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak, bukan seperti itu, Mbak. Aku berpikir kalau misalkan ada pembantu baru, apa mungkin Alia bisa beradaptasi? Sementara Alia itu kan tidak mudah dekat dengan orang lain," ucap Maura.Dia harus berusaha membujuk Lusi, untuk tidak merekrut pembantu agar menginap di sana. Harus pulang pergi saja, dengan begitu dia tidak akan merasa terusik ataupun terancam dengan semua rencananya. "Bagaimana? Menurutmu kalau misalkan Alia tidak menerima pembantu itu? Aku harus meminta bantuan siapa?" tanya Lusi tidak habis pikir dengan pemikiran Maura. Gadis itu pun langsung menjawabnya, karena dia benar-benar harus juga meracuni pikiran Lusi agar
"Ya Tuhan! Masa kamu lupa sama teman sendiri, sih? Mentang-mentang sekarang sudah sukses," ucap orang di seberang sana, membuat Lusi mendesah. Kenapa dia malah mengungkit masalah kesuksesan?"Iya, bukan masalah itunya. Cuma kan kalau kita sering ketemu, aku akan hafal. Tapi masalahnya aku tidak tahu nomor ini dan mungkin kita sudah lama tidak bertemu. Aku minta maaf kalau misalkan menyinggungmu karena tidak ingat siapa kamu sebenarnya. Tapi, tolong katakan saja siapa kamu. Aku benar-benar lupa. Mohon maaf sekali," ujar Lusi, berusaha untuk mencari tahu orang yang di seberang sana. Karena dia benar-benar tidak mau menerka-nerka. Takutnya salah. Orang di seberang sana pun akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu. Aku Adiba," ucap seseorang yang ternyata adalah gadis. "Adiba?" gumam Lusi pelan, mengingat-ingat tentang siapa teman yang bernama Adiba. Lalu, tak lama kemudian Lusi pun melotot. Dia sampai berdiri dan berjalan menjauh dari kamar anaknya. Lusi akan kembali b
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B
Dengan perasaan tak karuan akhirnya Mila pun pergi ke rumah Bu Sinta. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali mengalah. Karena ada anak yang harus diperjuangkan di sini. Kalau saja tidak ada anak, mungkin Mila sudah melakukan hal yang macam-macam kepada Raka dan juga Bu Sinta, untuk memberikan ancaman yang lebih sakit lagi kepada pria itu, agar mau tetap ada di sisinya. Namun, sekeras apa pun Mila berusaha untuk menahan suaminya, Raka pasti akan berontak dan sekarang buktinya dia terlalu mengekang dan juga menggenggam Raka begitu erat, sampai lupa kalau pria itu juga butuh kebebasan dan sedikit udara untuk dirinya sendiri. Namun, karena pengalaman sebelumnya yang sudah pernah selingkuh, Mila berpikir ratusan kali untuk percaya kepada pria itu. Tetapi tampaknya Raka merasa kalau dirinya dikekang dan malah memilih untuk pergi dari rumah. Wanita itu memijat pelipisnya sembari menyetir, ini benar-benar membuatnya stres. Belum lagi Maura yang memi
"Halo, Ibu?" tanya Raka saat dia sudah menelepon ibunya dan untunglah Bu Sinta langsung menerima panggilan dari anaknya itu. Tentu saja sang wanita paruh baya benar-benar kaget dan melihat kembali ada nama Raka di layar ponsel. Karena sebelumnya anak itu sampai memblokir nomornya agar tidak bisa dihubungi.Tampaknya apa yang dikatakan oleh Maura itu benar. Dia harus pura-pura menderita dan membuat Raka merasa iba, agar anaknya kembali ke tangan sang wanita paruh baya. "Ada apa, Raka? Ibu kaget, kamu tiba-tiba saja menelepon." "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengan Ibu. Ada hal penting, yang harus aku katakan kepada Ibu." "Benarkah? Kalau begitu datang saja ke sini. Sebaiknya kita berbicara baik-baik di rumah. Ibu akan masakan makanan kesukaan kamu. Bagaimana?" Tiba-tiba saja di seberang sana Raka tersenyum kecut. Entah kenapa dia merasa kenangan itu kembali ke masa-masa sebelum dia menikah. Sebelumnya Bu Sinta selalu perhatian, apalagi kalau sudah gajian. Tetapi tetap saja