Maura pun diam sejenak. Dia punya satu cara agar Alia benar-benar tidak membenci Raka, yaitu menjelekkan kakaknya sendiri. Walaupun sebenarnya hatinya tidak menginginkan itu, untuk sekarang dia tidak punya pilihan selain menjadikan Mila sebagai kambing hitam atas permasalahan ini. "Begini, Alia. Alia tahu tidak? Kalau sebenarnya yang bersalah di sini itu Tante Mila."Gadis kecil itu kembali menoleh, kali ini kedua alisnya saling bertautan. Menandakan kalau dia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Maura. "Iya, memang salah. Tapi Ayah juga salah. Kenapa Ayah mau sama Tante Mila? Kan dia temannya Ibu," ucap Alia berusaha untuk mempertahankan pendapatnya sendiri.Maura tersenyum kaku, sepertinya Alia ini sama seperti Lusi yang punya pendirian kuat. Jadi, kalau misalkan untuk meruntuhkan apa yang diyakini oleh Alia, Maura harus bekerja keras ekstra untuk mencuci otak anak ini. "Iya benar, ayahnya Alia itu salah. Tante Mila salah, tapi tahu tidak? Yang mengawali masalah ini, itu Tant
Lusi memilih untuk pergi dari restoran Devan, karena dia benar-benar kesal pada pria itu. Devan malah membahas tentang larangannya untuk membalaskan semua rasa sakit kepada Raka. Devan tidak tahu saja apa yang sudah dia lalui dan apa yang telah dikorbankan wanita itu untuk membuat Raka sampai puncak. Namun setelah sukses atas bantuannya, pria itu malah berkhianat dengan temannya pula. Sang wanita mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat. Bahkan pria itu sama sekali tidak menyusulnya atau meminta maaf. Dia benar-benar kesal. Lusi pikir, Devan akan bisa dikendalikan dan mau mengikuti semua keinginannya tanpa bertanya atau berceramah seperti tadi. Lusi tidak suka dan itu membuatnya tersinggung. Sang wanita pun mencoba untuk menenangkan diri.Dia tidak boleh emosi, apalagi sedang menyetir mobil sendirian di jalanan seperti ini. Bisa-bisa akan ada kejadian yang tidak diinginkan. Masih ada Alia yang harus dia perjuangkan dan juga Maura yang perlu dana darinya agar bisa sukses. Tentunya
Lusi keluar dari kamar Alia dengan lesu. Dia pun memilih untuk duduk dulu di meja makan dan mengambil minum. Hari ini dia benar-benar lelah, banyak sekali kejadian yang tidak pernah diduga. Dari mereka kedatangan Raka, lalu tiba-tiba saja Devan menyuruhnya untuk berhenti melanjutkan rencananya dan sekarang Alia yang tiba-tiba ingin bertemu dengan Raka. Padahal sebelumnya anak itu anti sekali membicarakan perihal Ayah kandungnya. Semua benar-benar di luar dugaan yang tidak bisa ditebak sama sekali. Bahkan dia tidak mungkin menghindar semua masalah ini sendirian. Wanita itu memijat pelipis yang berdenyut. Benar-benar membuatnya sangat pusing tujuh keliling sebab bisa seperti itu. Maura yang keluar dari kamar pun dan ingin mengambil camilan terdiam di ambang pintu dapur. Dia melihat dengan jelas kalau Lusi sedang duduk lesu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu, tapi yang pasti Maura merasa senang. Karena itu artinya sang wanita sedang menghadapi masalah. Mungkin ini terl
"Kenapa, Maura? Ayo katakan sesuatu! Jangan membuatku curiga dengan gelagatmu yang seperti itu." Maura tersentak. Dia benar-benar tidak bisa berdiam diri lagi atau Lusi akan benar-benar mencurigai semuanya atau lebih parahnya lagi Lusi akan mamviralkan Maura seperti yang dilakukan wanita itu kepada kakaknya sendiri. Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak, bukan seperti itu, Mbak. Aku berpikir kalau misalkan ada pembantu baru, apa mungkin Alia bisa beradaptasi? Sementara Alia itu kan tidak mudah dekat dengan orang lain," ucap Maura.Dia harus berusaha membujuk Lusi, untuk tidak merekrut pembantu agar menginap di sana. Harus pulang pergi saja, dengan begitu dia tidak akan merasa terusik ataupun terancam dengan semua rencananya. "Bagaimana? Menurutmu kalau misalkan Alia tidak menerima pembantu itu? Aku harus meminta bantuan siapa?" tanya Lusi tidak habis pikir dengan pemikiran Maura. Gadis itu pun langsung menjawabnya, karena dia benar-benar harus juga meracuni pikiran Lusi agar
"Ya Tuhan! Masa kamu lupa sama teman sendiri, sih? Mentang-mentang sekarang sudah sukses," ucap orang di seberang sana, membuat Lusi mendesah. Kenapa dia malah mengungkit masalah kesuksesan?"Iya, bukan masalah itunya. Cuma kan kalau kita sering ketemu, aku akan hafal. Tapi masalahnya aku tidak tahu nomor ini dan mungkin kita sudah lama tidak bertemu. Aku minta maaf kalau misalkan menyinggungmu karena tidak ingat siapa kamu sebenarnya. Tapi, tolong katakan saja siapa kamu. Aku benar-benar lupa. Mohon maaf sekali," ujar Lusi, berusaha untuk mencari tahu orang yang di seberang sana. Karena dia benar-benar tidak mau menerka-nerka. Takutnya salah. Orang di seberang sana pun akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu. Aku Adiba," ucap seseorang yang ternyata adalah gadis. "Adiba?" gumam Lusi pelan, mengingat-ingat tentang siapa teman yang bernama Adiba. Lalu, tak lama kemudian Lusi pun melotot. Dia sampai berdiri dan berjalan menjauh dari kamar anaknya. Lusi akan kembali b
"Halo, siapa ini?" tanya Raka dengan sangat hati-hati, takut jika orang tersebut pernah dikenal atau itu seseorang yang jahil atau mungkin juga membahayakan bagi Raka. "Ini aku, Maura," ucap suara di seberang sana. Ternyata yang menelepon adalah Maura. Saat ini Maura sedang berada di taman belakang rumah Lusi. Dia harus hati-hati berbicara dengan pria itu, takut jika ketahuan oleh Lusi. Gadis itu ingin memberitahu kalau rencananya mulai berhasil, karena Alia sudah terhasut dengan ucapannya sendiri. "Maura? Kamu gadis yang di taman itu, kan?" tanya Raka lagi, memastikan. "Iya, Mas. Siapa lagi?" "Ada apa kamu malam-malam nelepon?" tanya Raka kaheranan. Karena dia pikir kalau Maura akan menghubunginya nanti pagi atau mungkin saat mereka bertemu di rumah Lusi. "Begini, Mas. Aku sudah menjalankan misi pertama." "Misi pertama apa?" Raka kembali bertanya, kebingungan karena memang sebelumnya mereka belum membicarakan apa pun rencana selanjutnya.Maura hanya mengatakan kalau dirinya s
"Mbak Lusi, sejak kapan ada di sini?" tanya Maura dengan suara terbata-bata. Dia tidak mungkin berdiam diri saja, sementara Lusi juga malah bungkam. Lusi meneliti wajah Maura. Dia tahu ada yang disembunyikan oleh anak ini, tapi entah apa. Bahkan wanita itu dengan serius meneliti apa yang sebenarnya lakukan Maura di malam hari, di belakang rumah pula. Wanita itu melipat tangan di depan dada, masih tetap mengawasi ekspresi Maura. "Mbak, kenapa melihatku seperti itu?" tanya Maura semakin ketakutan dan juga risi sebab dari tadi Lusi malah mau memandangnya sedemikian rupa.Ini benar-benar tidak nyaman untuknya. Tatapan itu dia dapatkan saat dirinya kepergok kala Maura itu adalah adiknya Mila. Tatapan yang mengintimidasi dan sangat menguliti, sampai gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, ketakutannya semakin mencuat bahkan tangannya juga semakin dingin. Dia merasa gemetar, apalagi dari tadi Lusi tidak pernah berpaling dari wajahnya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Maura?" tanya
"Wah, rumah kamu besar banget, ya, Lus? Kamu benar-benar luar biasa," ucap Adiba membuat Lusi tersenyum kaku. "Nggak, kok. Ini semua peninggalan ayahku. Kalau aku, tidak punya ini semua. Mana mungkin aku bisa membeli ini semua. Ayahku memberikan jaminan agar aku tidak hidup sengsara di masa depan."Semuanya benar, karena semua ini adalah pemberian dari Ayah Lusi, kecuali perusahaan percetakan dan penerbitan. Dia sendiri yang merintisnya sebelum menikah dengan Raka. Adiba tersenyum, dia ingin sekali membicarakan masalah mantan suami Lusi, tetapi gadis itu berpikir dua kali. Takut menyinggung perasaan temannya yang memang sudah lama tidak bertemu. Akhirnya dia pun hanya mengobrol-ngobrol tentang pekerjaan Adiba dan kehidupan mereka berdua selama bertahun-tahun. Sementara itu Maura masih melihat dari kejauhan. Dia benar-benar tidak suka dengan kedekatan Adiba dan Lusi. Ini sangat mengganggu Maura. Dia takut kalau Adiba itu akan menjadi batu sandungan untuknya atau bisa-bisa penghancur