"Oh, ya. Tunggu dulu! Bisakah aku bertanya sesuatu kepadamu?" tanya Devan. Dia benar-benar tidak bisa menunda lagi rasa penasarannya. Kalau misalkan menunggu sampai bertemu berdua, takutnya Lusi akan tahu dan berakibat fatal lagi. Lusi bisa saja berpikiran buruk kepada Devan. Jadi, dia akan bertanya langsung tentang siapa Maura sebenarnya."Iya, Mas. Apa yang ingin kamu tanyakan?" Maura begitu antusias karena mendapat pertanyaan dari Devan. Jarang sekali Devan bertanya perihal masalah pribadi, tetapi gadis itu tidak tahu bahwa dia sudah membuka kesempatan orang lain untuk mencari tahu tentang masa lalunya yang pahit. Detik-detik di mana gadis itu mau tidak mau akhirnya menceritakan siapa sebenarnya dirinya. Ketakutan yang sebelumnya tidak pernah ada pun tiba-tiba saja menyeruak, sebab Devan ingin tahu asal usul dari Maura. "Kalau boleh tahu, kamu siapanya Lusi, ya?" Gadis itu langsung tertegun. Senyuman yang sebelumnya terpancar pun memudar begitu saja. Dia benar-benar kaget kare
"Syukurlah kalau misalkan memang kamu diperlakukan baik oleh Lusi. Karena aku tahu Lusi orang yang sangat baik, tulus dan juga penyayang. Tetapi karena pengkhianatan suaminya, Lusi jadi bersikap keras dan juga tidak mudah percaya kepada orang lain. Aku juga harap kamu bisa menjaga kepercayaannya karena kalau tidak, kamu akan bernasib sama seperti Mila dan Raka." Tubuh Maura menegang di tempat setelah mendengar perkataan dari Devan. Pria itu seolah-olah memberikan sang gadis peringatan agar Maura tidak melakukan kesalahan. Dia jadi merasa tersindir sebab gadis itu punya rencana khusus untuk mendekati Devan lewat Lusi.Maura sampai meneguk saliva dengan susah payah, mengingat kalau dia juga sudah punya niat yang buruk kepada Lusi. Namun demikian, dia tidak bisa mengendalikan perasaan ini. Mungkin terdengar mustahil karena Maura langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi karena kurangnya kasih sayang seorang Ayah membuat Maura tidak punya filter, tidak menemukan cinta pertamany
Keesokannya pagi-pagi sekali Maura dan Lusi berangkat ke sebuah SMA ternama yang berada di kota itu. Lusi tidak akan pernah tanggung-tanggung menyekolahkan adiknya. Karena bagaimanapun Muara punya hak yang sama dengan dirinya atas harta Darma.Namun demikian, wanita itu masih berusaha untuk menutupi identitasnya sampai waktunya tiba. Jika Maura benar-benar menjadi seorang gadis yang baik sesuai dengan aturan yang dia buat, maka Lusi akan mengatakan tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Tetapi jika Maura berakhir seperti Mila, maka Lusi memilih untuk menutupi segalanya agar Maura tidak sedikit pun mengganggu kehidupan Lusi kelak. Setelah mendaftarkan Maura dan mendapat kelas, gadis itu memilih untuk segera pergi lagi bersama Lusi. Mereka harus mempersiapkan segalanya untuk besok dan hari ini jadwalnya hanya untuk pendaftaran saja. Maura begitu senang dan takjub melihat bangunan yang megah di sini. Memang berbeda jika sekolahnya berada di pusat kota, jauh sekali dengan sekolahnya yan
"Kenapa kamu mau membukakan pintu untuk Pak Bara sementara tidak untukku?" tanya Raka saat dia sudah sampai rumah Lusi. Untunglah Pak Bara cepat datang, kalau tidak mungkin dia akan berlama-lama di luar gerbang dan menjadi tontonan para tetangga. Lusi seolah tidak menghiraukan pertanyaan Raka dan memilih untuk mempersilakan keduanya masuk. Raka merasa kesal. Tetapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau misalkan dia berdebat dengan Lusi, pada akhirnya pria itu tidak akan mendapatkan uang sepeserpun dari mantan istrinya. Mereka pun duduk bertiga. Sebelumnya Lusi menyuruh Maura untuk tidak masuk ke ruang tamu, ini dikarenakan Raka tidak boleh tahu kalau Maura ada di sini. Raka juga tidak tahu jika Maura adalah adiknya Mila. Ini akan memperkecil kemungkinan Maura dan Raka bekerja sama untuk menghancurkannya suatu hari nanti. Bisa saja Raka menghasut Maura dan menyuruh adik Mila itu untuk membantu menyatukannya dengan Raka. Mengingat mantan suami Lusi ingin kembali kepadanya. Suas
"Akhirnya Ibu bebas juga," ucap Bu Sinta sesaat keluar dari penjara.Dia sampai memejamkan mata dan menghirup udara begitu banyak. Ini adalah kebebasan yang sempurna. Untung saja dia tidak berlama-lama di kantor polisi, kalau tidak mungkin Bu Sinta akan menjadi sasaran empuk untuk dijadikan samsak oleh narapidana lain. Karena memang seperti itulah dunia narapidana. Mereka akan saling menyakiti, apalagi jika ada kedatangan narapidana baru. Pasti menjadi sasaran empuk untuk dibully dan dipermainkan. Tetapi untunglah Bu Sinta hanya beberapa hari di sana. Jadi, dia merasa bebas dan tidak mau terulang lagi masuk ke bui. Namun demikian, tampaknya kebebasan Bu Sinta sama sekali tidak membuat Raka senang. Sedari dia menyerahkan uang 200 juta kepada rentenir dan pembebasan ibunya, pria itu malah terdiam dengan ekspresi yang begitu sedih dan frustrasi. Melihat itu Bu Sinta tentu saja keheranan. Harusnya Raka senang karena ibunya bisa bebas, tetapi pria itu malah memperlihatkan kesedihan dan
"Lusi, Lusi, keluar kamu!" seru Bu Sinta. Ternyata wanita paruh baya itu masih penasaran dengan semua yang dikatakan oleh anaknya. Dia benar-benar tidak percaya kalau Lusi bisa berubah drastis seperti ini, apalagi sampai memberi Raka syarat untuk 200 juta itu. Tentu biasanya Lusi akan sangat baik hati kepada siapa saja, apalagi kepada dia yang sebelumnya pernah menjadi mertua. Ini benar-benar mengherankan.Maura yang mendengar itu pun langsung kaget. Dia tidak tahu siapa wanita paruh baya di depannya itu, tetapi yang pasti sang gadis harus cepat memberitahu Lusi kalau ada seseorang yang meneriakkan nama sang wanita. Maura langsung mengetuk pintu kamar Lusi dengan cepat. Lusi langsung keluar. "Ada apa? Kenapa wajah kamu tegang begitu?" Saat Maura hendak menjawab, wanita itu langsung mendengar suara teriakan dari luar. Dia hafal betul milik siapa suara itu. Lusi hanya menghela napas panjang sembari menggelengkan kepala, ternyata ada saja kejadian yang membuatnya kesal. Entah apalagi
"Coba saja kalau bisa. Aku yakin pria mana pun akan berpikir dua kali menikahi janda anak satu sepertimu. Aku tidak mau tahu. Pokoknya buktikan saja kalau memang kamu bisa mendapatkan pria sebaik Raka dan menyayangi Alia juga kamu secara tulus, aku akan turuti semua keinginanmu," ucap Bu Sinta, emosi. Dia benar-benar tidak memikirkan apa akibatnya jika sudah berkata seperti itu. Lusi langsung tersenyum. "Baiklah. Ingat ya, Bu. Jangan sampai Ibu mengingkari janji atas apa yang tadi diucapkan. Akan aku buktikan dalam sebulan ini pasti akan mendapatkan seorang pria dan dia pasti menyayangiku juga Alia dengan tulus," ujar Lusi dengan percaya diri.Setelah itu Bu Sinta pun pergi. Sang wanita paruh baya memakai taksi. Dia agensi kalau harus keluar dari rumah Lusi menggunakan ojek online. Setelah itu Lusi langsung masuk ke rumahnya, mengunci diri di kamar. Entah apa yang sudah dia ucapkan, mencari seorang pria yang kira-kira mau menjadi suaminya? Apalagi waktunya hanya satu bulan. Wanita
Devan langsung mematung mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lusi. Pria itu sama sekali tidak bergerak, hanya kalimat tadi yang terngiang di telinganya. Dia tidak bisa mengembalikan diri dan hanya bisa terdiam dengan semua kekagetannya. Melihat ekspresi Devan yang begitu kaget, Lusi juga ikut terdiam beberapa saat. Mungkin apa yang dikatakannya itu sangat mengagetkan. Tetapi dia tidak punya waktu lagi. Lusi harus mengambil hati Devan dan memanfaatkan pria itu. Ini memang terdengar jahat, tetapi ini juga akan lebih baik dibandingkan Lusi menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, takutnya Devan malah menolak dan dia sulit untuk mendapatkan pria lagi, yang tentunya sebaik Devan. Wanita itu yakin Devan akan lebih baik dibandingkan Raka dari segi apa pun. Ditambah lagi Devan punya usaha sendiri, jadi pasti tidak akan mengusik harta yang dimiliki oleh Lusi, yang mana itu adalah hak untuk Alia. Jadi dengan sengaja Lusi menyembunyikan tujuan terselubung, yaitu dia akan berpura-pura sa
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb
Maura tampak muram dan ketakutan. Dia tidak tahu harus tenang apa, karena saat ini posisinya sedang sendirian. Tidak ada tempat bergantung. Bahkan kakaknya sendiri pun malah mengintimidasi. Tapi, kalau sampai Mila mengetahui masalah ini, yang ada dia akan semakin dipersulit atau mungkin bisa saja malah dilaporkan ke polisi dan berakhir di penjara. Membayangkannya saja membuat Maura merasa ketakutan, apalagi kalau jadi kenyataan. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini, berharap kalau ada solusi lain. Namun semakin diamkan, perasaannya semakin gundah. Maura tidak bisa diam saja. Dia harus meminta bantuan kepada seseorang dan satu orang yang terlintas di benak wanita itu adalah nama Raka.Dengan cepat dia menelepon Raka, tapi sayangnya tidak aktif. “Apa Mas Raka sengaja melakukan ini agar tidak ada yang mengganggu?” gumam sang wanita dan tebakan Maura memang benar.Raka sengaja mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh Mila atau siapapun yang akan memperkeruh suasana. Hari ini jug
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Apakah harus?" tanya Raka terlihat sekali kalau wajahnya menentang semua permintaan Winda. Melihat itu Winda lagi-lagi merasa kecewa. Tetapi dia tidak mau malah bertengkar, apalagi di hari pertamanya sebagai seorang istri. Mungkin memang Raka belum mau pergi keluar bulan madu sebab memikirkan Alia. Dia berusaha untuk mengerti semuanya, walaupun tampak sekali di wajahnya rasa kekecewaan itu. "Oh ya sudah, Mas. Kalau memang tidak mau tak masalah, aku juga tidak mau kalau Mas Raka tidak bisa. Sebaiknya kita istirahat saja."Winda memilih untuk berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba saja menariknya dan kembali membuat Winda terduduk. Raka menghela napas kasar, tampaknya dia sudah berbuat salah kepada Winda. Masih untung ada yang mau membantunya. Apalagi kata Winda, mereka akan mencari Alia. "Baiklah kita akan berangkat. Tapi nanti besok pulang, ya? Aku tidak bisa lama. Kamu tahu kan? Lusa harus kembalikan kepada Mila," ucap Raka, tiba-tiba saja membuat Winda mengerjapkan mata semba
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu