"Akhirnya Ibu bebas juga," ucap Bu Sinta sesaat keluar dari penjara.Dia sampai memejamkan mata dan menghirup udara begitu banyak. Ini adalah kebebasan yang sempurna. Untung saja dia tidak berlama-lama di kantor polisi, kalau tidak mungkin Bu Sinta akan menjadi sasaran empuk untuk dijadikan samsak oleh narapidana lain. Karena memang seperti itulah dunia narapidana. Mereka akan saling menyakiti, apalagi jika ada kedatangan narapidana baru. Pasti menjadi sasaran empuk untuk dibully dan dipermainkan. Tetapi untunglah Bu Sinta hanya beberapa hari di sana. Jadi, dia merasa bebas dan tidak mau terulang lagi masuk ke bui. Namun demikian, tampaknya kebebasan Bu Sinta sama sekali tidak membuat Raka senang. Sedari dia menyerahkan uang 200 juta kepada rentenir dan pembebasan ibunya, pria itu malah terdiam dengan ekspresi yang begitu sedih dan frustrasi. Melihat itu Bu Sinta tentu saja keheranan. Harusnya Raka senang karena ibunya bisa bebas, tetapi pria itu malah memperlihatkan kesedihan dan
"Lusi, Lusi, keluar kamu!" seru Bu Sinta. Ternyata wanita paruh baya itu masih penasaran dengan semua yang dikatakan oleh anaknya. Dia benar-benar tidak percaya kalau Lusi bisa berubah drastis seperti ini, apalagi sampai memberi Raka syarat untuk 200 juta itu. Tentu biasanya Lusi akan sangat baik hati kepada siapa saja, apalagi kepada dia yang sebelumnya pernah menjadi mertua. Ini benar-benar mengherankan.Maura yang mendengar itu pun langsung kaget. Dia tidak tahu siapa wanita paruh baya di depannya itu, tetapi yang pasti sang gadis harus cepat memberitahu Lusi kalau ada seseorang yang meneriakkan nama sang wanita. Maura langsung mengetuk pintu kamar Lusi dengan cepat. Lusi langsung keluar. "Ada apa? Kenapa wajah kamu tegang begitu?" Saat Maura hendak menjawab, wanita itu langsung mendengar suara teriakan dari luar. Dia hafal betul milik siapa suara itu. Lusi hanya menghela napas panjang sembari menggelengkan kepala, ternyata ada saja kejadian yang membuatnya kesal. Entah apalagi
"Coba saja kalau bisa. Aku yakin pria mana pun akan berpikir dua kali menikahi janda anak satu sepertimu. Aku tidak mau tahu. Pokoknya buktikan saja kalau memang kamu bisa mendapatkan pria sebaik Raka dan menyayangi Alia juga kamu secara tulus, aku akan turuti semua keinginanmu," ucap Bu Sinta, emosi. Dia benar-benar tidak memikirkan apa akibatnya jika sudah berkata seperti itu. Lusi langsung tersenyum. "Baiklah. Ingat ya, Bu. Jangan sampai Ibu mengingkari janji atas apa yang tadi diucapkan. Akan aku buktikan dalam sebulan ini pasti akan mendapatkan seorang pria dan dia pasti menyayangiku juga Alia dengan tulus," ujar Lusi dengan percaya diri.Setelah itu Bu Sinta pun pergi. Sang wanita paruh baya memakai taksi. Dia agensi kalau harus keluar dari rumah Lusi menggunakan ojek online. Setelah itu Lusi langsung masuk ke rumahnya, mengunci diri di kamar. Entah apa yang sudah dia ucapkan, mencari seorang pria yang kira-kira mau menjadi suaminya? Apalagi waktunya hanya satu bulan. Wanita
Devan langsung mematung mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lusi. Pria itu sama sekali tidak bergerak, hanya kalimat tadi yang terngiang di telinganya. Dia tidak bisa mengembalikan diri dan hanya bisa terdiam dengan semua kekagetannya. Melihat ekspresi Devan yang begitu kaget, Lusi juga ikut terdiam beberapa saat. Mungkin apa yang dikatakannya itu sangat mengagetkan. Tetapi dia tidak punya waktu lagi. Lusi harus mengambil hati Devan dan memanfaatkan pria itu. Ini memang terdengar jahat, tetapi ini juga akan lebih baik dibandingkan Lusi menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, takutnya Devan malah menolak dan dia sulit untuk mendapatkan pria lagi, yang tentunya sebaik Devan. Wanita itu yakin Devan akan lebih baik dibandingkan Raka dari segi apa pun. Ditambah lagi Devan punya usaha sendiri, jadi pasti tidak akan mengusik harta yang dimiliki oleh Lusi, yang mana itu adalah hak untuk Alia. Jadi dengan sengaja Lusi menyembunyikan tujuan terselubung, yaitu dia akan berpura-pura sa
Sedari Maura bermain dengan Alia, gadis itu banyak sekali melamun. Sebenarnya dia memikirkan apa yang sedang Lusi lakukan di luar, karena penampilan Lusi tadi itu berbeda dari biasanya. Terlihat sangat cantik seperti akan menghadiri pertemuan penting. Beberapa kali Alia menegur Maura, tetapi gadis itu malah melamun, membuat Alia jadi kesal sendiri. Gadis kecil itu pun memilih untuk bermain di rumahnya Bu Murni. Maura merasa bersalah, dia takut kalau Alia itu marah dan malah mengadukannya kepada Lusi, jadi sang gadis pun langsung menyusul Alia ke rumah Bu Murni. Namun, baru juga membuka pintu rumah, dia dikagetkan dengan kedatangan Lusi bersama seseorang yang sangat dia kagumi. Siapa lagi kalau bukan Devan. Tubuh gadis itu mematung di tempat, jantungnya terasa merenyut saat melihat mereka bergandengan tangan. Bahkan wanita itu sama sekali tidak risih atau mau melontarkan kata-kata yang pedas seperti biasanya. Ini sangat mengherankan bagi Maura, tetapi gadis itu juga tidak berani ber
"Assalamualaikum, Bu. Bu Marni?!" seru Lusi saat sudah sampai rumahnya Bu Murni. Dia tampak gusar, karena terlihat tempat wanita paruh baya itu begitu sepi.Ini membuat Lusi merasa takut jika ternyata Alia tidak bersama Bu Murni."Assalamualaikum, Bu," ucap Lusi, sekarang nadanya terdengar memburu.Dia benar-benar sangat khawatir. Di sana ada Devan dan juga Maura yang ikut untuk melihat apakah Alia benar-benar ada di rumah wanita paruh baya itu. "Tenang, Lusi. Aku yakin, Alia ada di dalam."Devan berusaha menenangkan wanita yang dicintainya itu. Sementara Maura saat ini hanya bisa terdiam dengan rasa bersalah, apalagi melihat Devan yang mengelus pundak Lusi, membuat rasa cemburu pun membara lagi. Situasi ini benar-benar membuat hatinya kacau balau. Belum lagi masalah Alia, sekarang malah ditambah melihat adegan yang begitu membuatnya muak. Saat kehendak mengucapkan salam ketiga kalinya, pintu rumah Bu Murni pun terbuka dan terlihatlah wanita paruh baya itu bersama Alia."Ibu, sudah
"Jangan aneh-aneh! Kamu siapa sih tiba-tiba saja ngomong kayak gitu? Jangan-jangan, kamu itu orang yang mau mencelakai Lusi dan memfitnahnya, ya?!" seru Raka, tidak percaya begitu saja, membuat Maura mengedipkan mata sembari terperangah mendengar apa yang dikatakan oleh sang pria. Padahal, dia sudah berbaik hati memberitahu apa yang sedang terjadi, mendukung pria itu agar bisa kembali kepada Lusi. Satu hal pun terlintas di benaknya. Ya, tentu saja. Ini adalah cara satu-satunya agar Devan bisa putus dengan Lusi dan Maura punya kesempatan luas untuk mendapatkan pria itu, yaitu dengan cara membiarkan Lusi kembali kepada mantan suaminya dan dialah yang harus menjadi seorang yang membantu Raka untuk menyukseskan rencana ini. Maura tersenyum miring, lalu melipat tangan di depan dada. Maura yang bersikap seperti ini terlihat sekali mirip dengan Mila. Ternyata semua perkiraan Lusi benar, kalau dibiarkan maka Maura sama persis seperti Mila sifatnya. Sayangnya, wanita itu tidak tahu saja apa
"Oh, jadi memang benar ada pria di sini? Ternyata pria ini benar-benar tidak tahu malu, ya!" seru Raka, tiba-tiba saja masuk ke gerbang rumah tanpa permisi, membuat Lusi dan Devan langsung berdiri. Keduanya saling pandang sejenak, kemudian kembali menatap Raka dengan keheranan. Lusi tidak menyangka jika mantan suaminya itu tiba-tiba datang dan marah-marah seperti ini. Perasaan dia tidak pernah menyuruh Raka untuk ke sini. Lagi pula Lusi pikir kalau Raka itu tidak berniat menemuinya sampai besok waktunya untuk bekerja. Namun demikian, Lusi tetap harus tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan kalau dirinya itu sedang kaget dan panik. Lagi pula, siapa Raka? Dia hanya mantan suaminya. "Kenapa kamu tiba-tiba saja datang dan marah-marah, Mas?" tanya Lusi dengan nada santai, membuat Raka tersentak. Pria itu membulatkan mata, tak percaya. "Kamu bilang kenapa? Tentu saja, aku ke sini untuk memergoki kalian yang sedang berduaan.""Loh, memangnya kenapa? Mas Devan sedang bertamu. Lagian, kami
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B
Dengan perasaan tak karuan akhirnya Mila pun pergi ke rumah Bu Sinta. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali mengalah. Karena ada anak yang harus diperjuangkan di sini. Kalau saja tidak ada anak, mungkin Mila sudah melakukan hal yang macam-macam kepada Raka dan juga Bu Sinta, untuk memberikan ancaman yang lebih sakit lagi kepada pria itu, agar mau tetap ada di sisinya. Namun, sekeras apa pun Mila berusaha untuk menahan suaminya, Raka pasti akan berontak dan sekarang buktinya dia terlalu mengekang dan juga menggenggam Raka begitu erat, sampai lupa kalau pria itu juga butuh kebebasan dan sedikit udara untuk dirinya sendiri. Namun, karena pengalaman sebelumnya yang sudah pernah selingkuh, Mila berpikir ratusan kali untuk percaya kepada pria itu. Tetapi tampaknya Raka merasa kalau dirinya dikekang dan malah memilih untuk pergi dari rumah. Wanita itu memijat pelipisnya sembari menyetir, ini benar-benar membuatnya stres. Belum lagi Maura yang memi
"Halo, Ibu?" tanya Raka saat dia sudah menelepon ibunya dan untunglah Bu Sinta langsung menerima panggilan dari anaknya itu. Tentu saja sang wanita paruh baya benar-benar kaget dan melihat kembali ada nama Raka di layar ponsel. Karena sebelumnya anak itu sampai memblokir nomornya agar tidak bisa dihubungi.Tampaknya apa yang dikatakan oleh Maura itu benar. Dia harus pura-pura menderita dan membuat Raka merasa iba, agar anaknya kembali ke tangan sang wanita paruh baya. "Ada apa, Raka? Ibu kaget, kamu tiba-tiba saja menelepon." "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengan Ibu. Ada hal penting, yang harus aku katakan kepada Ibu." "Benarkah? Kalau begitu datang saja ke sini. Sebaiknya kita berbicara baik-baik di rumah. Ibu akan masakan makanan kesukaan kamu. Bagaimana?" Tiba-tiba saja di seberang sana Raka tersenyum kecut. Entah kenapa dia merasa kenangan itu kembali ke masa-masa sebelum dia menikah. Sebelumnya Bu Sinta selalu perhatian, apalagi kalau sudah gajian. Tetapi tetap saja