Sedari Maura bermain dengan Alia, gadis itu banyak sekali melamun. Sebenarnya dia memikirkan apa yang sedang Lusi lakukan di luar, karena penampilan Lusi tadi itu berbeda dari biasanya. Terlihat sangat cantik seperti akan menghadiri pertemuan penting. Beberapa kali Alia menegur Maura, tetapi gadis itu malah melamun, membuat Alia jadi kesal sendiri. Gadis kecil itu pun memilih untuk bermain di rumahnya Bu Murni. Maura merasa bersalah, dia takut kalau Alia itu marah dan malah mengadukannya kepada Lusi, jadi sang gadis pun langsung menyusul Alia ke rumah Bu Murni. Namun, baru juga membuka pintu rumah, dia dikagetkan dengan kedatangan Lusi bersama seseorang yang sangat dia kagumi. Siapa lagi kalau bukan Devan. Tubuh gadis itu mematung di tempat, jantungnya terasa merenyut saat melihat mereka bergandengan tangan. Bahkan wanita itu sama sekali tidak risih atau mau melontarkan kata-kata yang pedas seperti biasanya. Ini sangat mengherankan bagi Maura, tetapi gadis itu juga tidak berani ber
"Assalamualaikum, Bu. Bu Marni?!" seru Lusi saat sudah sampai rumahnya Bu Murni. Dia tampak gusar, karena terlihat tempat wanita paruh baya itu begitu sepi.Ini membuat Lusi merasa takut jika ternyata Alia tidak bersama Bu Murni."Assalamualaikum, Bu," ucap Lusi, sekarang nadanya terdengar memburu.Dia benar-benar sangat khawatir. Di sana ada Devan dan juga Maura yang ikut untuk melihat apakah Alia benar-benar ada di rumah wanita paruh baya itu. "Tenang, Lusi. Aku yakin, Alia ada di dalam."Devan berusaha menenangkan wanita yang dicintainya itu. Sementara Maura saat ini hanya bisa terdiam dengan rasa bersalah, apalagi melihat Devan yang mengelus pundak Lusi, membuat rasa cemburu pun membara lagi. Situasi ini benar-benar membuat hatinya kacau balau. Belum lagi masalah Alia, sekarang malah ditambah melihat adegan yang begitu membuatnya muak. Saat kehendak mengucapkan salam ketiga kalinya, pintu rumah Bu Murni pun terbuka dan terlihatlah wanita paruh baya itu bersama Alia."Ibu, sudah
"Jangan aneh-aneh! Kamu siapa sih tiba-tiba saja ngomong kayak gitu? Jangan-jangan, kamu itu orang yang mau mencelakai Lusi dan memfitnahnya, ya?!" seru Raka, tidak percaya begitu saja, membuat Maura mengedipkan mata sembari terperangah mendengar apa yang dikatakan oleh sang pria. Padahal, dia sudah berbaik hati memberitahu apa yang sedang terjadi, mendukung pria itu agar bisa kembali kepada Lusi. Satu hal pun terlintas di benaknya. Ya, tentu saja. Ini adalah cara satu-satunya agar Devan bisa putus dengan Lusi dan Maura punya kesempatan luas untuk mendapatkan pria itu, yaitu dengan cara membiarkan Lusi kembali kepada mantan suaminya dan dialah yang harus menjadi seorang yang membantu Raka untuk menyukseskan rencana ini. Maura tersenyum miring, lalu melipat tangan di depan dada. Maura yang bersikap seperti ini terlihat sekali mirip dengan Mila. Ternyata semua perkiraan Lusi benar, kalau dibiarkan maka Maura sama persis seperti Mila sifatnya. Sayangnya, wanita itu tidak tahu saja apa
"Oh, jadi memang benar ada pria di sini? Ternyata pria ini benar-benar tidak tahu malu, ya!" seru Raka, tiba-tiba saja masuk ke gerbang rumah tanpa permisi, membuat Lusi dan Devan langsung berdiri. Keduanya saling pandang sejenak, kemudian kembali menatap Raka dengan keheranan. Lusi tidak menyangka jika mantan suaminya itu tiba-tiba datang dan marah-marah seperti ini. Perasaan dia tidak pernah menyuruh Raka untuk ke sini. Lagi pula Lusi pikir kalau Raka itu tidak berniat menemuinya sampai besok waktunya untuk bekerja. Namun demikian, Lusi tetap harus tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan kalau dirinya itu sedang kaget dan panik. Lagi pula, siapa Raka? Dia hanya mantan suaminya. "Kenapa kamu tiba-tiba saja datang dan marah-marah, Mas?" tanya Lusi dengan nada santai, membuat Raka tersentak. Pria itu membulatkan mata, tak percaya. "Kamu bilang kenapa? Tentu saja, aku ke sini untuk memergoki kalian yang sedang berduaan.""Loh, memangnya kenapa? Mas Devan sedang bertamu. Lagian, kami
"Kamu jangan bohong! Mana mungkin Alia seperti itu!" seru Raka, ternyata dia masih berusaha untuk mengelak semuanya.Pria itu tidak mau terlihat kalah di depan Devan, apalagi dia adalah seorang Ayah kandung Alia. Rasanya mustahil Alia tidak mau bertemu, walaupun dia sudah berbuat kesalahan. Lusi berdecak entah bagaimana caranya meyakinkan Raka kalau memang Alia itu masih enggan bertemu dengan Raka. "Ya, kalau kamu tidak percaya, nanti buktikan saja sendiri jika bertemu dengan Alia." Raka langsung menggelengkan kepala. "Tidak, tidak! Aku ingin bertemu dengan Alia sekarang. Aku ingin membuktikan langsung, apakah dia benar-benar tidak mau bertemu denganku atau cuma alasanmu saja," ujar Raka masih bersikukuh. Raka tiba-tiba saja berjalan dan hendak menerobos pintu rumah Lusi, tapi dengan cepat Devan menghalanginya, membuat Raka terkesiap. Otot rahang pria itu mengeras, menandakan kalau dia marah. "Kenapa kamu menghalangi jalanku? Awas!" seru Raka, berusaha untuk mendorong Devan menjau
"Kalau kamu memang ingin memulai hidup baru dengan Devan. Maka akan aku pastikan Alia tinggal bersamaku," ucap Raka tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap.Sebuah kalimat yang sebenarnya tidak pernah Lusi duga. Arkan tidak menyerah dan membiarkan dirinya memulai hidup baru dengan Devan, setidaknya pria itu harusnya tidak berani mengucapkan kata-kata yang membuat Lusi khawatir seperti sekarang. "Kenapa kamu berpikir seperti itu, Mas? Aku kan sudah bilang, Alia itu tidak mau denganmu. Kenapa kamu mau ngotot untuk mengambil Alia dan menyangkut pautkannya dengan hubunganku bersama Mas Devan?" Lusi juga tidak terima dengan semua perkataan dari pria itu. "Karena aku tidak ikhlas jika ada Alia dekat dengan pria lain, kecuali kalau aku sudah mati, terserah, Lusi! Tadi kamu bilang apa? Alia membenciku? Iya, mungkin sekarang seperti itu. Tapi akan aku pastikan anak itu kembali dekat denganku. Aku memang bersalah karena selama ini menyibukkan diri dan juga malah mengkhianatimu, jadi aku akan me
"Nggak, nggak. Aku nggak setuju! Pokoknya kamu sebaiknya hentikan semua perjanjian itu." "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lusi, karena tiba-tiba saja Devan berbicara seperti itu. Ya, Lusi paham kalau Devan itu cemburu. Tetapi kalau misalkan perjanjian ini batal, maka rencananya untuk balas dendam tidak akan pernah berjalan lancar. Jadi, dia pun percuma jika harus menjalin hubungan dengan Devan, karena rencananya akan gagal kalau benar-benar dia membatalkan perjanjian bersama Raka."Lusi, kamu lihat kan tadi? Raka seperti apa sikapnya kepadamu? Aku bisa melihat kalau dia itu pasti akan berbuat macam-macam kepadamu. Dia berani mengancam di depanku. Bagaimana kalau belakangku? Tidak! Pokoknya aku tidak setuju!" seru Devan, wajahnya begitu serius. Tetapi Lusi tidak mau menyerah. Lagi pula ini adalah rencananya. Devan hanya dimanfaatkan dan dijadikan alat, jadi pria itu harusnya tidak semena-mena dan mengatur kehidupannya. Apalagi mereka belum resmi menikah. Baru juga beberapa jam menjalin ika
Raka tidak serta-merta menyetujui semua permintaan dari Maura. Dia takut kalau gadis ini punya niat tertentu, karena Raka benar-benar tidak mengenali Maura. Pria itu pun meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki sang gadis sembari menautkan kedua alisnya. Entah kenapa Raka terasa tidak asing dengan wajah Maura. Dia tidak ingat kalau gadis di depannya ini hampir mirip dengan Mila. Mungkin karena pemikirannya masih dipenuhi dengan emosi sebab Lusi dan Devan sudah menjalin hubungan, pria itu pun sama sekali tidak memikirkan ke arah sana. "Tunggu-tunggu! Kamu menawariku bukan karena ingin mencelakaiku, kan?" tanya Raka membuat Maura membulatkan mata. Gadis itu berdecak dengan keras, susah sekali mendapat persetujuan dari Raka. Padahal sudah jelas kalau Lusi itu terancam akan diambil oleh Devan, tetapi Raka masih saja berpikir dua kali untuk setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Maura sebelumnya. "Untuk apa aku berbohong, Mas? Bukankah tadi ucapanku sudah terbukti? Kalau di ruma
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,