"Kamu jangan bohong! Mana mungkin Alia seperti itu!" seru Raka, ternyata dia masih berusaha untuk mengelak semuanya.Pria itu tidak mau terlihat kalah di depan Devan, apalagi dia adalah seorang Ayah kandung Alia. Rasanya mustahil Alia tidak mau bertemu, walaupun dia sudah berbuat kesalahan. Lusi berdecak entah bagaimana caranya meyakinkan Raka kalau memang Alia itu masih enggan bertemu dengan Raka. "Ya, kalau kamu tidak percaya, nanti buktikan saja sendiri jika bertemu dengan Alia." Raka langsung menggelengkan kepala. "Tidak, tidak! Aku ingin bertemu dengan Alia sekarang. Aku ingin membuktikan langsung, apakah dia benar-benar tidak mau bertemu denganku atau cuma alasanmu saja," ujar Raka masih bersikukuh. Raka tiba-tiba saja berjalan dan hendak menerobos pintu rumah Lusi, tapi dengan cepat Devan menghalanginya, membuat Raka terkesiap. Otot rahang pria itu mengeras, menandakan kalau dia marah. "Kenapa kamu menghalangi jalanku? Awas!" seru Raka, berusaha untuk mendorong Devan menjau
"Kalau kamu memang ingin memulai hidup baru dengan Devan. Maka akan aku pastikan Alia tinggal bersamaku," ucap Raka tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap.Sebuah kalimat yang sebenarnya tidak pernah Lusi duga. Arkan tidak menyerah dan membiarkan dirinya memulai hidup baru dengan Devan, setidaknya pria itu harusnya tidak berani mengucapkan kata-kata yang membuat Lusi khawatir seperti sekarang. "Kenapa kamu berpikir seperti itu, Mas? Aku kan sudah bilang, Alia itu tidak mau denganmu. Kenapa kamu mau ngotot untuk mengambil Alia dan menyangkut pautkannya dengan hubunganku bersama Mas Devan?" Lusi juga tidak terima dengan semua perkataan dari pria itu. "Karena aku tidak ikhlas jika ada Alia dekat dengan pria lain, kecuali kalau aku sudah mati, terserah, Lusi! Tadi kamu bilang apa? Alia membenciku? Iya, mungkin sekarang seperti itu. Tapi akan aku pastikan anak itu kembali dekat denganku. Aku memang bersalah karena selama ini menyibukkan diri dan juga malah mengkhianatimu, jadi aku akan me
"Nggak, nggak. Aku nggak setuju! Pokoknya kamu sebaiknya hentikan semua perjanjian itu." "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lusi, karena tiba-tiba saja Devan berbicara seperti itu. Ya, Lusi paham kalau Devan itu cemburu. Tetapi kalau misalkan perjanjian ini batal, maka rencananya untuk balas dendam tidak akan pernah berjalan lancar. Jadi, dia pun percuma jika harus menjalin hubungan dengan Devan, karena rencananya akan gagal kalau benar-benar dia membatalkan perjanjian bersama Raka."Lusi, kamu lihat kan tadi? Raka seperti apa sikapnya kepadamu? Aku bisa melihat kalau dia itu pasti akan berbuat macam-macam kepadamu. Dia berani mengancam di depanku. Bagaimana kalau belakangku? Tidak! Pokoknya aku tidak setuju!" seru Devan, wajahnya begitu serius. Tetapi Lusi tidak mau menyerah. Lagi pula ini adalah rencananya. Devan hanya dimanfaatkan dan dijadikan alat, jadi pria itu harusnya tidak semena-mena dan mengatur kehidupannya. Apalagi mereka belum resmi menikah. Baru juga beberapa jam menjalin ika
Raka tidak serta-merta menyetujui semua permintaan dari Maura. Dia takut kalau gadis ini punya niat tertentu, karena Raka benar-benar tidak mengenali Maura. Pria itu pun meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki sang gadis sembari menautkan kedua alisnya. Entah kenapa Raka terasa tidak asing dengan wajah Maura. Dia tidak ingat kalau gadis di depannya ini hampir mirip dengan Mila. Mungkin karena pemikirannya masih dipenuhi dengan emosi sebab Lusi dan Devan sudah menjalin hubungan, pria itu pun sama sekali tidak memikirkan ke arah sana. "Tunggu-tunggu! Kamu menawariku bukan karena ingin mencelakaiku, kan?" tanya Raka membuat Maura membulatkan mata. Gadis itu berdecak dengan keras, susah sekali mendapat persetujuan dari Raka. Padahal sudah jelas kalau Lusi itu terancam akan diambil oleh Devan, tetapi Raka masih saja berpikir dua kali untuk setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Maura sebelumnya. "Untuk apa aku berbohong, Mas? Bukankah tadi ucapanku sudah terbukti? Kalau di ruma
Dengan tergagap akhirnya Mila pun mengatakan semuanya. Dia begitu gugup, ketakutan. Mila juga merasa terintimidasi. Tetapi saat ini posisinya benar-benar tidak bisa dikompromi lagi. Kalau dia berbohong, maka riwayatnya akan tamat hari ini juga.Sementara banyak sekali PR yang harus dikerjakan. Membalaskan dendam dan membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungannya itu adalah anak Raka. Mila pun meneguk saliva dengan susah payah, bingung apa harus Mila mengatakan semuanya dan mencari cara bagaimana pria ini mau mengasihinya atau melepaskan sang wanita.Dia tidak peduli dengan bayaran yang akan diterimanya nanti. Sebab lebih penting nyawanya sekarang harus selamat, dibandingkan mempertahankan uang yang digunakan bukan untuk dirinya sendiri. "Kenapa kamu diam saja? Cepat katakan!" seru Darius dengan suara yang menggelegar. Mila semakin ketakutan dan terpojok. Dia hanya ditutupi dengan selembar selimut, benar-benar sebuah keadaan yang sangat merugikan sang wanita. Wanita itu pun semak
"Apa mungkin ada seorang suami yang meninggalkan istrinya seperti ini, hanya gara-gara omongan mertua?" tanya Darius, tidak percaya begitu saja omongan Mila. Memang benar, dia merasa kasihan kepada wanita hamil itu. Tetapi masih saja ada alasan lain sampai Darius curiga oleh Mila.Mila kaget sendiri. Dia pikir pria di depannya ini langsung percaya dengan semua yang dikatakannya barusan, tetapi masih saja dipertanyakan seperti ini. Wanita hamil itu langsung mencari cara dan memutar otak bagaimana agar Darius percaya dengan apa yang dikatakannya. "Untuk apa saya bohong? Lagi pula, kalau misalkan wanita hamil seperti saya pasti ingin dimanja dan istirahat, bukan malah bekerja keras seperti ini. Kalau memang Anda tidak mau mengasihani saya, setidaknya jangan menuduh sembarangan," ucap Mila dengan wajah marah. Dia berpura-pura akting, merasa menjadi korban. Padahal itu dilakukan agar mendapat perhatian dari Darius. Bagaimanapun, wanita itu harus mendapat simpati dari Darius. Karena dia
"Ini. Ambillah," ucap Mila sembari melemparkan beberapa gepok uang berisi 100 ribuan, di depan kedua orang tuanya. Bu Sinta dan suaminya pun saling memandang. Mereka keheranan, lalu kembali melihat kepada Mila. "Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?" tanya Bu Sinta, penasaran. Padahal, semalam anaknya itu pulang lebih awal dibandingkan malam-malam sebelumnya. Lalu, keesokannya tiba-tiba saja Mila pergi dan datang membawa uang dengan begitu banyak. Bahkan, ada beberapa kantong yang berisi uang dengan nominal 100.000-an.Tentu saja ini membuat wanita paruh baya itu kebingungan sendiri dan juga ada rasa takut. Ya, takut jika Mila nekat. Mila bisa saja melakukan hal di luar batas sampai menerima uang sebanyak ini. Mila berdecak sembari melipat tangan di depan dada. Dia muak dengan segala pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya. Padahal jawaban apa pun yang akan diberikan oleh wanita hamil itu, tentu saja tidak akan mempengaruhi apa pun. Karena bagi kedua orang tuanya, sa
Bu Sinta dan suaminya saling pandang. Mereka bukan tidak mau memberitahu, tapi ini adalah perjanjian dengan Lusi agar kedua orang itu tidak memberitahu keberadaan Maura kepada siapa pun, termasuk Mila. Lagi pula, menurut Bu Sinta kalau misalkan Mila sampai tahu di mana Maura, pasti wanita itu akan berbuat yang aneh-aneh lagi dan takutnya malah membuat masalah atau bahkan lebih parahnya menyakiti kandungan Mila sendiri. Sementara itu, suaminya pun sama sekali tidak ingin memberitahu keberadaan Maura, karena menurutnya Maura itu sudah mati. Dia tidak mau lagi menerima atau membahas tentang anak tirinya, yang paling utama adalah dia mendapatkan uang yang banyak. Utang-utang lunas, dia kembali hidup dengan layak. Jadi sang suami akan melakukan apa pun demi menghindari pembicaraan tentang Maura atau dia akan berurusan kembali dengan Lusi juga mungkin saja akan terjerat hukum. "Sudahlah, kamu jangan pernah memikirkan lagi adikmu itu. Pasti dia juga akan menyusahkanmu, kan? Kami sudah men