"Nggak, nggak. Aku nggak setuju! Pokoknya kamu sebaiknya hentikan semua perjanjian itu." "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lusi, karena tiba-tiba saja Devan berbicara seperti itu. Ya, Lusi paham kalau Devan itu cemburu. Tetapi kalau misalkan perjanjian ini batal, maka rencananya untuk balas dendam tidak akan pernah berjalan lancar. Jadi, dia pun percuma jika harus menjalin hubungan dengan Devan, karena rencananya akan gagal kalau benar-benar dia membatalkan perjanjian bersama Raka."Lusi, kamu lihat kan tadi? Raka seperti apa sikapnya kepadamu? Aku bisa melihat kalau dia itu pasti akan berbuat macam-macam kepadamu. Dia berani mengancam di depanku. Bagaimana kalau belakangku? Tidak! Pokoknya aku tidak setuju!" seru Devan, wajahnya begitu serius. Tetapi Lusi tidak mau menyerah. Lagi pula ini adalah rencananya. Devan hanya dimanfaatkan dan dijadikan alat, jadi pria itu harusnya tidak semena-mena dan mengatur kehidupannya. Apalagi mereka belum resmi menikah. Baru juga beberapa jam menjalin ika
Raka tidak serta-merta menyetujui semua permintaan dari Maura. Dia takut kalau gadis ini punya niat tertentu, karena Raka benar-benar tidak mengenali Maura. Pria itu pun meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki sang gadis sembari menautkan kedua alisnya. Entah kenapa Raka terasa tidak asing dengan wajah Maura. Dia tidak ingat kalau gadis di depannya ini hampir mirip dengan Mila. Mungkin karena pemikirannya masih dipenuhi dengan emosi sebab Lusi dan Devan sudah menjalin hubungan, pria itu pun sama sekali tidak memikirkan ke arah sana. "Tunggu-tunggu! Kamu menawariku bukan karena ingin mencelakaiku, kan?" tanya Raka membuat Maura membulatkan mata. Gadis itu berdecak dengan keras, susah sekali mendapat persetujuan dari Raka. Padahal sudah jelas kalau Lusi itu terancam akan diambil oleh Devan, tetapi Raka masih saja berpikir dua kali untuk setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Maura sebelumnya. "Untuk apa aku berbohong, Mas? Bukankah tadi ucapanku sudah terbukti? Kalau di ruma
Dengan tergagap akhirnya Mila pun mengatakan semuanya. Dia begitu gugup, ketakutan. Mila juga merasa terintimidasi. Tetapi saat ini posisinya benar-benar tidak bisa dikompromi lagi. Kalau dia berbohong, maka riwayatnya akan tamat hari ini juga.Sementara banyak sekali PR yang harus dikerjakan. Membalaskan dendam dan membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungannya itu adalah anak Raka. Mila pun meneguk saliva dengan susah payah, bingung apa harus Mila mengatakan semuanya dan mencari cara bagaimana pria ini mau mengasihinya atau melepaskan sang wanita.Dia tidak peduli dengan bayaran yang akan diterimanya nanti. Sebab lebih penting nyawanya sekarang harus selamat, dibandingkan mempertahankan uang yang digunakan bukan untuk dirinya sendiri. "Kenapa kamu diam saja? Cepat katakan!" seru Darius dengan suara yang menggelegar. Mila semakin ketakutan dan terpojok. Dia hanya ditutupi dengan selembar selimut, benar-benar sebuah keadaan yang sangat merugikan sang wanita. Wanita itu pun semak
"Apa mungkin ada seorang suami yang meninggalkan istrinya seperti ini, hanya gara-gara omongan mertua?" tanya Darius, tidak percaya begitu saja omongan Mila. Memang benar, dia merasa kasihan kepada wanita hamil itu. Tetapi masih saja ada alasan lain sampai Darius curiga oleh Mila.Mila kaget sendiri. Dia pikir pria di depannya ini langsung percaya dengan semua yang dikatakannya barusan, tetapi masih saja dipertanyakan seperti ini. Wanita hamil itu langsung mencari cara dan memutar otak bagaimana agar Darius percaya dengan apa yang dikatakannya. "Untuk apa saya bohong? Lagi pula, kalau misalkan wanita hamil seperti saya pasti ingin dimanja dan istirahat, bukan malah bekerja keras seperti ini. Kalau memang Anda tidak mau mengasihani saya, setidaknya jangan menuduh sembarangan," ucap Mila dengan wajah marah. Dia berpura-pura akting, merasa menjadi korban. Padahal itu dilakukan agar mendapat perhatian dari Darius. Bagaimanapun, wanita itu harus mendapat simpati dari Darius. Karena dia
"Ini. Ambillah," ucap Mila sembari melemparkan beberapa gepok uang berisi 100 ribuan, di depan kedua orang tuanya. Bu Sinta dan suaminya pun saling memandang. Mereka keheranan, lalu kembali melihat kepada Mila. "Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?" tanya Bu Sinta, penasaran. Padahal, semalam anaknya itu pulang lebih awal dibandingkan malam-malam sebelumnya. Lalu, keesokannya tiba-tiba saja Mila pergi dan datang membawa uang dengan begitu banyak. Bahkan, ada beberapa kantong yang berisi uang dengan nominal 100.000-an.Tentu saja ini membuat wanita paruh baya itu kebingungan sendiri dan juga ada rasa takut. Ya, takut jika Mila nekat. Mila bisa saja melakukan hal di luar batas sampai menerima uang sebanyak ini. Mila berdecak sembari melipat tangan di depan dada. Dia muak dengan segala pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya. Padahal jawaban apa pun yang akan diberikan oleh wanita hamil itu, tentu saja tidak akan mempengaruhi apa pun. Karena bagi kedua orang tuanya, sa
Bu Sinta dan suaminya saling pandang. Mereka bukan tidak mau memberitahu, tapi ini adalah perjanjian dengan Lusi agar kedua orang itu tidak memberitahu keberadaan Maura kepada siapa pun, termasuk Mila. Lagi pula, menurut Bu Sinta kalau misalkan Mila sampai tahu di mana Maura, pasti wanita itu akan berbuat yang aneh-aneh lagi dan takutnya malah membuat masalah atau bahkan lebih parahnya menyakiti kandungan Mila sendiri. Sementara itu, suaminya pun sama sekali tidak ingin memberitahu keberadaan Maura, karena menurutnya Maura itu sudah mati. Dia tidak mau lagi menerima atau membahas tentang anak tirinya, yang paling utama adalah dia mendapatkan uang yang banyak. Utang-utang lunas, dia kembali hidup dengan layak. Jadi sang suami akan melakukan apa pun demi menghindari pembicaraan tentang Maura atau dia akan berurusan kembali dengan Lusi juga mungkin saja akan terjerat hukum. "Sudahlah, kamu jangan pernah memikirkan lagi adikmu itu. Pasti dia juga akan menyusahkanmu, kan? Kami sudah men
Keesokan paginya, Mila pun benar-benar pergi dari rumah itu. Dia membawa barang seperlunya, tidak mau sama sekali membawa apa pun yang mungkin akan mengingatkannya pada kenangan buruk di rumah ini. Melihat itu Bu Sinta benar-benar merasa sedih. Dia ingin menghentikan anaknya, tetapi pasti Mila akan menolak dengan dalih kalau mereka itu akan menjadi benalu lagi. Katakanlah selama ini Bu Sinta sudah salah karena melakukan hal yang buruk kepada kedua anaknya. Tetapi lagi-lagi keadaannya harus memaksanya melakukan semua itu. Kalau bisa waktu diputar, mungkin Bu Sinta tidak akan kembali kepada mantan suaminya dan sekarang Maura masih bersama dirinya. Tetapi sesal pun tidak akan berguna lagi. Dia sudah mendatangani perjanjian, tidak mungkin jika tiba-tiba saja mengambil Maura lagi atau mereka akan dipenjara. Begitupun dengan Mila. Anak pertamanya itu sudah mendapatkan luka yang begitu dalam dari kecil, jadi untuk mengobati batinnya pun sudah terlambat. Apalagi sekarang anak itu mendapat
Bu Sinta terdiam melihat kepergian anaknya. Bahkan dia tidak diijinkan sekedar mengantarkan Mila sampai depan pintu. Wanita hamil itu benar-benar membenci ibunya, sama sekali tidak mau berkaitan lagi dengan kedua paruh baya yang sudah membuat Mila menderita. Suami Bu Sinta tampak biasa saja. Dia lebih senang jika Mila tidak ada di rumah. Dengan begitu tidak akan ada lagi pertengkaran atau omongan-omongan Mila yang akan menyakiti hatinya. Sementara Bu Sinta hanya bisa tetap mematung dengan air mata yang mulai bercucuran. Rasa sakit ini lebih kecil dibandingkan sesal yang begitu besar. Dia benar-benar ingin sekali mengubah keadaan atau setidaknya mengulang waktu. Namun sayangnya semua itu tidak bisa dilakukan. Semua itu hanyalah angan yang entah kapan akan tercapai dan sama sekali tidak akan pernah terlaksana. Melihat istrinya yang menangis sang suami pun langsung menepuk pundak Bu Sinta. Dia tahu apa yang dirasakan oleh Bu Sinta, tetapi menurutnya daripada harus meratapi nasib dan