Bu Sinta terdiam melihat kepergian anaknya. Bahkan dia tidak diijinkan sekedar mengantarkan Mila sampai depan pintu. Wanita hamil itu benar-benar membenci ibunya, sama sekali tidak mau berkaitan lagi dengan kedua paruh baya yang sudah membuat Mila menderita. Suami Bu Sinta tampak biasa saja. Dia lebih senang jika Mila tidak ada di rumah. Dengan begitu tidak akan ada lagi pertengkaran atau omongan-omongan Mila yang akan menyakiti hatinya. Sementara Bu Sinta hanya bisa tetap mematung dengan air mata yang mulai bercucuran. Rasa sakit ini lebih kecil dibandingkan sesal yang begitu besar. Dia benar-benar ingin sekali mengubah keadaan atau setidaknya mengulang waktu. Namun sayangnya semua itu tidak bisa dilakukan. Semua itu hanyalah angan yang entah kapan akan tercapai dan sama sekali tidak akan pernah terlaksana. Melihat istrinya yang menangis sang suami pun langsung menepuk pundak Bu Sinta. Dia tahu apa yang dirasakan oleh Bu Sinta, tetapi menurutnya daripada harus meratapi nasib dan
Mila langsung memasukkan barang bawaannya ke tempat tinggal yang baru. Dia tidak langsung membereskan semua itu, melainkan beristirahat sejenak. Ternyata cukup lelah juga jika membawa barang walaupun sedikit. Mungkin karena efek kehamilannya. Dia merebahkan diri di kamar yang sudah tersedia. Kontrakan ini cukup mahal karena sudah tersedia barang-barang, jadi Mila hanya perlu membawa diri dan baju saja. Wanita itu menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Sesaat dia merasa benar-benar sendiri, tidak ada orang yang mendukungnya saat ini. Mungkin jika pun ada itu adalah Darius.Hanya saja dia tidak mungkin meminta lebih kepada seorang pria yang baru dikenal. Mendapatkan uang sebanyak ini saja sebuah keberkahan untuk Mila. Jika dia meminta lebih, mungkin Darius akan berpikir ulang untuk menolongnya. Bayangan saat kata-kata Raka ketika di dalam penjara membuat Mila merasa sakit hati. Pria itu dengan lantang mempertanyakan siapa Ayah dari anak yang dikandungnya. Padahal sudah jela
Saat ini Mila sedang dalam perjalanan menuju rumah Bu Sinta. Dia tidak mau menunda-nunda lagi semua yang sudah direncanakan, takut tidak ada waktu atau lebih parahnya Bu Sinta sudah mempengaruhi suaminya itu untuk benar-benar menceraikan Mila. Padahal dia belum membuktikan apa-apa tentang anak yang ada dalam kandungan. Mila memakai taksi ke sana dengan pakaian yang bagus juga tas branded. Ini dia lakukan untuk menarik perhatian Bu Sinta, menyatakan kalau dirinya ini adalah wanita yang pantas untuk dijadikan istri Raka. Dia akan mencoba untuk cara halus dengan taktik, tidak mau masuk penjara lagi kalau sampai ketahuan mencelakai Ibu mertuanya itu. Sepanjang perjalanan, dia memikirkan cara apa yang benar-benar pantas untuk diberikan kepada Bu Sinta. Sebenarnya Mila tadi kepikiran tentang balas dendam, wanita itu ingin langsung memberikan racun atau merencanakan sebuah kejahatan. Tetapi, setelah dipikir ulang rasanya itu terlalu mudah untuk ditebak, apalagi Bu Sinta licik. Yang ditakut
Keterkejutan itu masih menguasai dan dia masih tidak menyangka kalau ternyata menuntunnya itu bisa benar-benar keluar dari penjara. "Bagaimana bisa kamu ada di sini? Bukankah kamu dipenjara dan dari mana semua uang-uang itu? Baju yang kamu pakai ini tidak mungkin kalau tidak dengan uang, kan?" tanya Bu Sinta menyelidik. Ternyata wanita ini benar-benar tidak terima jika orang yang dibenci dan sangat dihindarinya itu bisa bebas seperti ini. Yang dia takutkan Mila akan datang dan kembali kepada Raka. Mungkin saja anaknya bisa terhasut oleh wanita yang ada di depannya ini. Memikirkannya saja Bu Sinta tidak mau dan tak sanggup, apalagi kalau sampai kenyataan. Mendengar perkataan dari mertuanya, tentu saja Mila tersinggung. Ingin sekali dia memaki-maki wanita paruh baya itu sampai Bu Sinta merasa malu sendiri. Tetapi Mila punya cara tersendiri untuk balas dendam. Dia akan menahan semuanya dan akan berusaha untuk menjatuhkan Bu Sinta sampai tidak bisa berkutik sama sekali. Mila pun berus
Bu Sinta sudah yakin kalau Mila saat ini sedang terpancing emosi. Tetapi siapa sangka? Tiba-tiba saja Mila tersenyum miring, lalu tertawa cukup kencang. Wanita hamil itu bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan sangat pelan, memberikan reaksi bahwa Ibu mertuanya itu benar-benar sangat lucu dan juga memuakkan. Bagaimana tidak? Dia berani memaki orang lain, tetapi tidak sadar diri bahwa dirinya juga begitu menjijikkan. Menjilat menantunya sendiri untuk mendapatkan uang yang begitu banyak. Padahal harusnya dia itu punya batasan, tidak semena-mena kepada Lusi. Seorang Lusi itu adalah ATM berjalan, tetapi untungnya wanita itu sudah terlepas dari Bu Sinta. Sekarang mau tidak mau Mila yang harus mendapatkan getah dari perbuatan Ibu mertuanya sendiri. Namun itu semua Mila akan cegah dengan cara mengendalikan Bu Sinta. "Kenapa kamu malah tertawa? Dasar gila! Harusnya kamu itu sudah malu setelah aku bicara seperti ini, bukan malah tertawa tidak jelas," seloroh Bu Sinta, kesal karena wanita
"Sombong sekali kamu sampai berbicara seperti itu kepadaku! Memang berapa kekayaanmu? Apa sebanding dengan kekayaan Lusi? Pasti tidak, kan? Jangan karena kamu sudah mendapatkan uang banyak, lalu kamu berpikir bisa membeliku dan juga anakku, tidak Mila! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau mempunyai menantu sepertimu! Kamu itu bukan wanita baik-baik," timbal Bu Sinta. Dia tidak mau kalah dan tidak mau direndahkan begitu saja oleh wanita yang ada di depannya ini. Mila itu datang pasti untuk kembali kepada Raka. Walaupun Mila kaya, tapi dia yakin kekayaan itu didapatkan dengan cara yang tidak baik. Apalagi kalau sampai melihat anak yang ada dalam kandungan Mila lahir ke dunia, maka kebencian Bu Sinta kepada Mila itu akan semakin bertambah. Walaupun dia jahat wanita paruh baya itu tahu mana saja orang yang baik dan mana saja orang yang tidak baik, menurut pandangannya sebagai orang tua dan seorang wanita dan menurutnya Mila itu bukan wanita yang baik. Meskipun nanti Mila akan ber
"Mas Raka? Sejak kapan ...." "Apa kamu mau bilang? Apa apa yang kamu lakukan kepada ibuku?!" tanya Raka dengan suara menggelegar. Bu Sinta pun langsung berlari dan berdiri di belakang anaknya itu. Sementara Mila tampak gugup. Dia benar-benar takut jika Raka salah paham dan malah berujung dengan pertengkaran. "Lihatlah, Raka! Bagaimana kelakuan istrimu itu. Dia datang-datang memaki Ibu dan menampar Ibu. Kamu lihat sendiri kan kejadiannya tadi?" ujar Bu Sinta mengadukan dengan wajah sedih.Dia bahkan berpura-pura nangis dan mengusap pipinya yang memang terasa perih. Ini kesialan untuk Mila. Kebaikan tidak memihak kepadanya kali ini, karena Raka datang di saat yang tidak tepat. Pria itu menoleh kepada ibunya dan memang ada warna merah di pipi wanita paruh baya itu, menandakan kalau memang Mila sudah melakukan kekerasan kepada ibunya. Setelah itu sang pria pun menoleh kepada Mila dengan wajah marah. Bahkan dia sampai melotot. Mila dengan cepat menggelengkan kepala. "Tidak seperti itu
Raka terdiam mendengar perkataan dari Mila. Walaupun mungkin terdengar klise. Tetapi entah kenapa sorot mata Mila itu begitu lembut, menandakan kalau dia benar-benar ingin dipercaya oleh Raka. Melihat anaknya yang mulai goyah, Bu Sinta pun kelabakan. Dia harus mencari cara agar anaknya mau mendengarkan apa yang dikatakan Bu Sinta. Jangan sampai terhasut oleh Mila yang memang bersifat licik seperti ini. "Tunggu dulu, Raka! Kamu jangan percaya begitu saja. Dia itu sempat menipu Lusi, tidak menutup kemungkinan kalau dia juga menipumu," ujar Bu Sinta, berhasil membuat Raka terkesiap.Pria itu pun menoleh kepada ibunya. Bu Sinta begitu meyakinkan karena ekspresinya tanpa keraguan. "Kenapa Ibu berkata seperti itu? Ibu dapat info itu dari mana, sih? Tolonglah jangan terus-terusan memojokkanku atau memfitnahku, karena semua itu tidak benar!" seru Mila, tidak terima dengan semua yang dikatakan oleh mertuanya itu. Bu Sinta tersenyum miring kepada Mila, tidak mempedulikan apa yang sedang di
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka