"Sombong sekali kamu sampai berbicara seperti itu kepadaku! Memang berapa kekayaanmu? Apa sebanding dengan kekayaan Lusi? Pasti tidak, kan? Jangan karena kamu sudah mendapatkan uang banyak, lalu kamu berpikir bisa membeliku dan juga anakku, tidak Mila! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau mempunyai menantu sepertimu! Kamu itu bukan wanita baik-baik," timbal Bu Sinta. Dia tidak mau kalah dan tidak mau direndahkan begitu saja oleh wanita yang ada di depannya ini. Mila itu datang pasti untuk kembali kepada Raka. Walaupun Mila kaya, tapi dia yakin kekayaan itu didapatkan dengan cara yang tidak baik. Apalagi kalau sampai melihat anak yang ada dalam kandungan Mila lahir ke dunia, maka kebencian Bu Sinta kepada Mila itu akan semakin bertambah. Walaupun dia jahat wanita paruh baya itu tahu mana saja orang yang baik dan mana saja orang yang tidak baik, menurut pandangannya sebagai orang tua dan seorang wanita dan menurutnya Mila itu bukan wanita yang baik. Meskipun nanti Mila akan ber
"Mas Raka? Sejak kapan ...." "Apa kamu mau bilang? Apa apa yang kamu lakukan kepada ibuku?!" tanya Raka dengan suara menggelegar. Bu Sinta pun langsung berlari dan berdiri di belakang anaknya itu. Sementara Mila tampak gugup. Dia benar-benar takut jika Raka salah paham dan malah berujung dengan pertengkaran. "Lihatlah, Raka! Bagaimana kelakuan istrimu itu. Dia datang-datang memaki Ibu dan menampar Ibu. Kamu lihat sendiri kan kejadiannya tadi?" ujar Bu Sinta mengadukan dengan wajah sedih.Dia bahkan berpura-pura nangis dan mengusap pipinya yang memang terasa perih. Ini kesialan untuk Mila. Kebaikan tidak memihak kepadanya kali ini, karena Raka datang di saat yang tidak tepat. Pria itu menoleh kepada ibunya dan memang ada warna merah di pipi wanita paruh baya itu, menandakan kalau memang Mila sudah melakukan kekerasan kepada ibunya. Setelah itu sang pria pun menoleh kepada Mila dengan wajah marah. Bahkan dia sampai melotot. Mila dengan cepat menggelengkan kepala. "Tidak seperti itu
Raka terdiam mendengar perkataan dari Mila. Walaupun mungkin terdengar klise. Tetapi entah kenapa sorot mata Mila itu begitu lembut, menandakan kalau dia benar-benar ingin dipercaya oleh Raka. Melihat anaknya yang mulai goyah, Bu Sinta pun kelabakan. Dia harus mencari cara agar anaknya mau mendengarkan apa yang dikatakan Bu Sinta. Jangan sampai terhasut oleh Mila yang memang bersifat licik seperti ini. "Tunggu dulu, Raka! Kamu jangan percaya begitu saja. Dia itu sempat menipu Lusi, tidak menutup kemungkinan kalau dia juga menipumu," ujar Bu Sinta, berhasil membuat Raka terkesiap.Pria itu pun menoleh kepada ibunya. Bu Sinta begitu meyakinkan karena ekspresinya tanpa keraguan. "Kenapa Ibu berkata seperti itu? Ibu dapat info itu dari mana, sih? Tolonglah jangan terus-terusan memojokkanku atau memfitnahku, karena semua itu tidak benar!" seru Mila, tidak terima dengan semua yang dikatakan oleh mertuanya itu. Bu Sinta tersenyum miring kepada Mila, tidak mempedulikan apa yang sedang di
"Coba, lihatlah istrimu itu! Dia berani mengancam mertuanya sendiri.""Iya, itu karena Ibu sudah memakinya." "Ibu juga memaki dia itu dengan alasan, Raka. Coba bandingkan dengan Lusi yang sama sekali belum pernah memaki Ibu selama menjadi istrimu. Coba kamu pikir ulang, apa kamu mau hidup dengan wanita yang seperti itu?" ujar Bu Sinta, membuat Raka terdiam.Namun sudah hatinya, pria itu merasa kalau ibunya ini memang sudah keterlaluan. Hanya saja dia juga tidak mau kembali kepada Mila, mengingat apa yang sudah mereka lakukan dan nama baik mereka berdua juga sudah tercoreng. Jadi, kalau sama-sama melanjutkan hidup bersama, maka itu akan menjadi aib seumur hidup."Iya, Bu. Ibu benar, dia tidak pantas untuk kujadikan seorang istri. Lagi pula Mila itu tidak menyayangi Alia. Jadi, untuk apa aku bertahan dengannya?"Raka benar-benar sudah bulat dengan semua yang dia pertimbangkan, karena baginya Mila tidak ada apa-apanya dibandingkan Lusi. "Mas, kamu beneran tidak takut kalau ibumu dipenj
Mila pun mengikuti arah telunjuk dari karyawan itu. Awalnya dia sangat antusias sampai tiba-tiba mimik mukanya langsung berubah kala melihat kalau orang yang ditunjuk itu adalah laki-laki yang bersama dengan seorang wanita, dia adalah Lusi. Dengan cepat Mila terkesiap, lalu berdiri dan menurunkan tangan karyawan yang menunjuk itu. "Sudah-sudah, tidak perlu ditunjuk seperti itu. Saya tidak jadi berinvestasi. Saya mau makan saja," ucapnya tiba-tiba membuat karyawan itu kebingungan. Sang pria ingin bertanya kenapa tiba-tiba saja berubah, padahal sebelumnya sang wanita begitu antusias. Namun demikian, dia tidak mau membuat masalah atau wanita yang ada di depannya ini akan memperpanjang masalah. Karyawan itu pun permisi, undur diri. Sementara Mila langsung menyantap makanannya. Awalnya dia begitu mood karena memang masakan di sini enak, tapi sialnya malah bertemu dengan seseorang yang paling dia benci. Segala pertanyaan pun bersarang di benak. Ada kemungkinan-kemungkinan yang terus b
"Biarkan Mas Raka bekerja di tempat kamu, Mas," ucap Lusi tiba-tiba saja membuat Devan terkesiap.Bahkan punggungnya sampai menegak karena mendengar perkataan dari wanitanya. "Maksudmu? Dia jadi pelayan di sini?" tanya Devan untuk memastikan kalau pemikirannya seperti itu. Lusi mengedikkan bahu. "Terserah kamu saja maunya dijadikan apa, yang pasti dia harus melunasi utang-utangnya padaku. Jadi biarkan Mas Raka berada di sini. Aku ingin tahu, sejauh mana dia menderita melihat kebersamaan kita, Mas. Itu juga akan menguntungkanmu, bukan? Kamu hanya perlu melihat bagaimana pekerjaannya. Jadi kamu juga tidak perlu khawatir tentang diriku. Bagaimana?" Devan terdiam sejenak. Sebenarnya dia tidak mau berurusan dengan Raka secara langsung, tetapi mengingat dirinya juga terus-terusan khawatir sebab hubungan Raka dan Lusi, membuat Devan akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali setuju dengan apa yang diusulkan oleh Lusi. "Baiklah kalau begitu, tapi masalahnya, bagaimana kalau misalkan Raka t
Maura pun diam sejenak. Dia punya satu cara agar Alia benar-benar tidak membenci Raka, yaitu menjelekkan kakaknya sendiri. Walaupun sebenarnya hatinya tidak menginginkan itu, untuk sekarang dia tidak punya pilihan selain menjadikan Mila sebagai kambing hitam atas permasalahan ini. "Begini, Alia. Alia tahu tidak? Kalau sebenarnya yang bersalah di sini itu Tante Mila."Gadis kecil itu kembali menoleh, kali ini kedua alisnya saling bertautan. Menandakan kalau dia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Maura. "Iya, memang salah. Tapi Ayah juga salah. Kenapa Ayah mau sama Tante Mila? Kan dia temannya Ibu," ucap Alia berusaha untuk mempertahankan pendapatnya sendiri.Maura tersenyum kaku, sepertinya Alia ini sama seperti Lusi yang punya pendirian kuat. Jadi, kalau misalkan untuk meruntuhkan apa yang diyakini oleh Alia, Maura harus bekerja keras ekstra untuk mencuci otak anak ini. "Iya benar, ayahnya Alia itu salah. Tante Mila salah, tapi tahu tidak? Yang mengawali masalah ini, itu Tant
Lusi memilih untuk pergi dari restoran Devan, karena dia benar-benar kesal pada pria itu. Devan malah membahas tentang larangannya untuk membalaskan semua rasa sakit kepada Raka. Devan tidak tahu saja apa yang sudah dia lalui dan apa yang telah dikorbankan wanita itu untuk membuat Raka sampai puncak. Namun setelah sukses atas bantuannya, pria itu malah berkhianat dengan temannya pula. Sang wanita mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat. Bahkan pria itu sama sekali tidak menyusulnya atau meminta maaf. Dia benar-benar kesal. Lusi pikir, Devan akan bisa dikendalikan dan mau mengikuti semua keinginannya tanpa bertanya atau berceramah seperti tadi. Lusi tidak suka dan itu membuatnya tersinggung. Sang wanita pun mencoba untuk menenangkan diri.Dia tidak boleh emosi, apalagi sedang menyetir mobil sendirian di jalanan seperti ini. Bisa-bisa akan ada kejadian yang tidak diinginkan. Masih ada Alia yang harus dia perjuangkan dan juga Maura yang perlu dana darinya agar bisa sukses. Tentunya