"Assalamualaikum, Bu. Bu Marni?!" seru Lusi saat sudah sampai rumahnya Bu Murni. Dia tampak gusar, karena terlihat tempat wanita paruh baya itu begitu sepi.Ini membuat Lusi merasa takut jika ternyata Alia tidak bersama Bu Murni."Assalamualaikum, Bu," ucap Lusi, sekarang nadanya terdengar memburu.Dia benar-benar sangat khawatir. Di sana ada Devan dan juga Maura yang ikut untuk melihat apakah Alia benar-benar ada di rumah wanita paruh baya itu. "Tenang, Lusi. Aku yakin, Alia ada di dalam."Devan berusaha menenangkan wanita yang dicintainya itu. Sementara Maura saat ini hanya bisa terdiam dengan rasa bersalah, apalagi melihat Devan yang mengelus pundak Lusi, membuat rasa cemburu pun membara lagi. Situasi ini benar-benar membuat hatinya kacau balau. Belum lagi masalah Alia, sekarang malah ditambah melihat adegan yang begitu membuatnya muak. Saat kehendak mengucapkan salam ketiga kalinya, pintu rumah Bu Murni pun terbuka dan terlihatlah wanita paruh baya itu bersama Alia."Ibu, sudah
"Jangan aneh-aneh! Kamu siapa sih tiba-tiba saja ngomong kayak gitu? Jangan-jangan, kamu itu orang yang mau mencelakai Lusi dan memfitnahnya, ya?!" seru Raka, tidak percaya begitu saja, membuat Maura mengedipkan mata sembari terperangah mendengar apa yang dikatakan oleh sang pria. Padahal, dia sudah berbaik hati memberitahu apa yang sedang terjadi, mendukung pria itu agar bisa kembali kepada Lusi. Satu hal pun terlintas di benaknya. Ya, tentu saja. Ini adalah cara satu-satunya agar Devan bisa putus dengan Lusi dan Maura punya kesempatan luas untuk mendapatkan pria itu, yaitu dengan cara membiarkan Lusi kembali kepada mantan suaminya dan dialah yang harus menjadi seorang yang membantu Raka untuk menyukseskan rencana ini. Maura tersenyum miring, lalu melipat tangan di depan dada. Maura yang bersikap seperti ini terlihat sekali mirip dengan Mila. Ternyata semua perkiraan Lusi benar, kalau dibiarkan maka Maura sama persis seperti Mila sifatnya. Sayangnya, wanita itu tidak tahu saja apa
"Oh, jadi memang benar ada pria di sini? Ternyata pria ini benar-benar tidak tahu malu, ya!" seru Raka, tiba-tiba saja masuk ke gerbang rumah tanpa permisi, membuat Lusi dan Devan langsung berdiri. Keduanya saling pandang sejenak, kemudian kembali menatap Raka dengan keheranan. Lusi tidak menyangka jika mantan suaminya itu tiba-tiba datang dan marah-marah seperti ini. Perasaan dia tidak pernah menyuruh Raka untuk ke sini. Lagi pula Lusi pikir kalau Raka itu tidak berniat menemuinya sampai besok waktunya untuk bekerja. Namun demikian, Lusi tetap harus tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan kalau dirinya itu sedang kaget dan panik. Lagi pula, siapa Raka? Dia hanya mantan suaminya. "Kenapa kamu tiba-tiba saja datang dan marah-marah, Mas?" tanya Lusi dengan nada santai, membuat Raka tersentak. Pria itu membulatkan mata, tak percaya. "Kamu bilang kenapa? Tentu saja, aku ke sini untuk memergoki kalian yang sedang berduaan.""Loh, memangnya kenapa? Mas Devan sedang bertamu. Lagian, kami
"Kamu jangan bohong! Mana mungkin Alia seperti itu!" seru Raka, ternyata dia masih berusaha untuk mengelak semuanya.Pria itu tidak mau terlihat kalah di depan Devan, apalagi dia adalah seorang Ayah kandung Alia. Rasanya mustahil Alia tidak mau bertemu, walaupun dia sudah berbuat kesalahan. Lusi berdecak entah bagaimana caranya meyakinkan Raka kalau memang Alia itu masih enggan bertemu dengan Raka. "Ya, kalau kamu tidak percaya, nanti buktikan saja sendiri jika bertemu dengan Alia." Raka langsung menggelengkan kepala. "Tidak, tidak! Aku ingin bertemu dengan Alia sekarang. Aku ingin membuktikan langsung, apakah dia benar-benar tidak mau bertemu denganku atau cuma alasanmu saja," ujar Raka masih bersikukuh. Raka tiba-tiba saja berjalan dan hendak menerobos pintu rumah Lusi, tapi dengan cepat Devan menghalanginya, membuat Raka terkesiap. Otot rahang pria itu mengeras, menandakan kalau dia marah. "Kenapa kamu menghalangi jalanku? Awas!" seru Raka, berusaha untuk mendorong Devan menjau
"Kalau kamu memang ingin memulai hidup baru dengan Devan. Maka akan aku pastikan Alia tinggal bersamaku," ucap Raka tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap.Sebuah kalimat yang sebenarnya tidak pernah Lusi duga. Arkan tidak menyerah dan membiarkan dirinya memulai hidup baru dengan Devan, setidaknya pria itu harusnya tidak berani mengucapkan kata-kata yang membuat Lusi khawatir seperti sekarang. "Kenapa kamu berpikir seperti itu, Mas? Aku kan sudah bilang, Alia itu tidak mau denganmu. Kenapa kamu mau ngotot untuk mengambil Alia dan menyangkut pautkannya dengan hubunganku bersama Mas Devan?" Lusi juga tidak terima dengan semua perkataan dari pria itu. "Karena aku tidak ikhlas jika ada Alia dekat dengan pria lain, kecuali kalau aku sudah mati, terserah, Lusi! Tadi kamu bilang apa? Alia membenciku? Iya, mungkin sekarang seperti itu. Tapi akan aku pastikan anak itu kembali dekat denganku. Aku memang bersalah karena selama ini menyibukkan diri dan juga malah mengkhianatimu, jadi aku akan me
"Nggak, nggak. Aku nggak setuju! Pokoknya kamu sebaiknya hentikan semua perjanjian itu." "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lusi, karena tiba-tiba saja Devan berbicara seperti itu. Ya, Lusi paham kalau Devan itu cemburu. Tetapi kalau misalkan perjanjian ini batal, maka rencananya untuk balas dendam tidak akan pernah berjalan lancar. Jadi, dia pun percuma jika harus menjalin hubungan dengan Devan, karena rencananya akan gagal kalau benar-benar dia membatalkan perjanjian bersama Raka."Lusi, kamu lihat kan tadi? Raka seperti apa sikapnya kepadamu? Aku bisa melihat kalau dia itu pasti akan berbuat macam-macam kepadamu. Dia berani mengancam di depanku. Bagaimana kalau belakangku? Tidak! Pokoknya aku tidak setuju!" seru Devan, wajahnya begitu serius. Tetapi Lusi tidak mau menyerah. Lagi pula ini adalah rencananya. Devan hanya dimanfaatkan dan dijadikan alat, jadi pria itu harusnya tidak semena-mena dan mengatur kehidupannya. Apalagi mereka belum resmi menikah. Baru juga beberapa jam menjalin ika
Raka tidak serta-merta menyetujui semua permintaan dari Maura. Dia takut kalau gadis ini punya niat tertentu, karena Raka benar-benar tidak mengenali Maura. Pria itu pun meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki sang gadis sembari menautkan kedua alisnya. Entah kenapa Raka terasa tidak asing dengan wajah Maura. Dia tidak ingat kalau gadis di depannya ini hampir mirip dengan Mila. Mungkin karena pemikirannya masih dipenuhi dengan emosi sebab Lusi dan Devan sudah menjalin hubungan, pria itu pun sama sekali tidak memikirkan ke arah sana. "Tunggu-tunggu! Kamu menawariku bukan karena ingin mencelakaiku, kan?" tanya Raka membuat Maura membulatkan mata. Gadis itu berdecak dengan keras, susah sekali mendapat persetujuan dari Raka. Padahal sudah jelas kalau Lusi itu terancam akan diambil oleh Devan, tetapi Raka masih saja berpikir dua kali untuk setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Maura sebelumnya. "Untuk apa aku berbohong, Mas? Bukankah tadi ucapanku sudah terbukti? Kalau di ruma
Dengan tergagap akhirnya Mila pun mengatakan semuanya. Dia begitu gugup, ketakutan. Mila juga merasa terintimidasi. Tetapi saat ini posisinya benar-benar tidak bisa dikompromi lagi. Kalau dia berbohong, maka riwayatnya akan tamat hari ini juga.Sementara banyak sekali PR yang harus dikerjakan. Membalaskan dendam dan membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungannya itu adalah anak Raka. Mila pun meneguk saliva dengan susah payah, bingung apa harus Mila mengatakan semuanya dan mencari cara bagaimana pria ini mau mengasihinya atau melepaskan sang wanita.Dia tidak peduli dengan bayaran yang akan diterimanya nanti. Sebab lebih penting nyawanya sekarang harus selamat, dibandingkan mempertahankan uang yang digunakan bukan untuk dirinya sendiri. "Kenapa kamu diam saja? Cepat katakan!" seru Darius dengan suara yang menggelegar. Mila semakin ketakutan dan terpojok. Dia hanya ditutupi dengan selembar selimut, benar-benar sebuah keadaan yang sangat merugikan sang wanita. Wanita itu pun semak
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb
Maura tampak muram dan ketakutan. Dia tidak tahu harus tenang apa, karena saat ini posisinya sedang sendirian. Tidak ada tempat bergantung. Bahkan kakaknya sendiri pun malah mengintimidasi. Tapi, kalau sampai Mila mengetahui masalah ini, yang ada dia akan semakin dipersulit atau mungkin bisa saja malah dilaporkan ke polisi dan berakhir di penjara. Membayangkannya saja membuat Maura merasa ketakutan, apalagi kalau jadi kenyataan. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini, berharap kalau ada solusi lain. Namun semakin diamkan, perasaannya semakin gundah. Maura tidak bisa diam saja. Dia harus meminta bantuan kepada seseorang dan satu orang yang terlintas di benak wanita itu adalah nama Raka.Dengan cepat dia menelepon Raka, tapi sayangnya tidak aktif. “Apa Mas Raka sengaja melakukan ini agar tidak ada yang mengganggu?” gumam sang wanita dan tebakan Maura memang benar.Raka sengaja mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh Mila atau siapapun yang akan memperkeruh suasana. Hari ini jug
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-