Mila terdiam cukup lama. Dia memikirkan apa yang harus dijawab dari pertanyaan sang ibu. Memang benar dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kedua orang tuanya. Tetapi kalau bersama mereka, sama saja Mila menjerumuskan diri ke jurang kesakitan juga penderitaan yang tidak akan pernah ada ujungnya. Wanita itu menatap orang tuanya satu persatu, lalu mengambil napas panjang. Dia harus benar-benar menenangkan diri saat berbicara dengan mereka. Walaupun dia muak dengan segala perlakuan Bu Sinta dan suaminya, tetapi bagaimanapun lagi-lagi mereka adalah orang tua yang sudah membesarkan Mila, setidaknya itu yang membuat Mila bisa mengendalikan diri sampai hari ini. "Dengar, ya, Bu. Aku memang tidak punya siapa-siapa selain kalian. Tetapi kalau aku tetap bertahan dengan kalian, sama saja menjerumuskan diri dalam kesengsaraan. Kalian pasti akan terus memanfaatkanku, tidak memberiku kebebasan. Aku ingin bebas dengan caraku sendiri. Ingat, ya. Jangan pernah menghubungiku setelah utang-utang kal
Tepat setelah salat Asar, Maura bersiap untuk bertemu Devan di sebuah kafe yang sudah dijanjikan. Dia bingung harus memakai apa, karena pakaiannya hanya sedikit. Tetapi daripada tidak datang, lebih baik Maura berpakaian seadanya. Lagi pula, untuk sekarang dia belum bisa membeli apa pun yang diinginkan, karena Lusi belum memberikan uang saku. Gadis itu berdandan seadanya. Tetapi dia berusaha untuk terlihat rapi. Rambutnya pun didandani sedemikian rupa, make up yang natural membuat Maura terlihat pangling. Walaupun tidak menor, tetapi itu sudah terlihat sekali berbeda dengan Maura yang natural. Gadis itu memang cantik dibandingkan Mila. Jadi, didandani seperti apa pun Maura tetap akan terlihat cantik. Setelah siap, dia memastikan terlebih dahulu tidak ada Lusi yang melihat kepergiannya. Kalau sampai itu terjadi, maka sang wanita pasti akan bertanya macam-macam kepada Maura dan entah apa yang harus garis itu jawab. Mana mungkin dia jujur akan bertemu dengan Devan, bisa-bisa Lusi kemba
"A-apa?" tanya Maura dengan suara pelan dan terbata-bata.Dia merasa mimpi buruk mendengar semua permintaan dari Devan. Bahkan tidak percaya atas apa yang dilontarkan oleh pria itu. "Iya, aku ingin meminta bantuanmu untuk mempertemukan Lusi, karena ada hal penting yang harus kami bicarakan. Sudah berulang kali aku meneleponnya. Tetapi, dia sama sekali tidak mau mengangkat atau membalas pesanku," ungkap Devan, wajahnya terlihat sedih. Ada perasaan yang sakit langsung menyelusup hati Maura. Semua asa yang sudah tersusun rapi dan impian-impian yang terbayang dalam benaknya pun harus terhempaskan begitu saja. Sekarang dia seperti didorong ke dalam jurang yang begitu gelap dan pengap, sampai rasanya sesak dada itu. Benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh sang gadis. Ternyata semua harapannya itu hanyalah hampa, bahkan malah berujung kesakitan. Namun dia bisa apa? Lagian, Devan itu memang bukan siapa-siapa baginya. Mereka baru pertama bertemu. Maura hanya mengandalkan perasaan yang bar
"Baiklah, kalau begitu. Kali ini aku maafkan. Tapi lain kali kamu harus bilang semuanya kepadaku. Kemana pun kamu pergi, harus izin. Ingat itu!" Maura langsung menganggukkan kepala. Dia tidak mau membuat Lusi marah lagi. Wanita itu pun hendak membalikkan badan, tetapi tiba-tiba saja sang gadis memanggil Lusi. Maura jadi teringat akan membicarakan sesuatu yang kira-kira bisa melancarkan aksinya untuk mempertemukan Devan dan Lusi. "Kenapa?" tanya Lusi kembali membalikkan badan. Gadis itu menautkan dari jemarinya. Sebenarnya takut jika Lusi marah. Tetapi kalau tidak sekarang, kapan lagi? Mumpung Lusi juga bisa mengobrol dengannya. "Begini, Mbak. Maaf sebelumnya. Boleh tidak Mbak mengajakku jalan-jalan ke sekitar sini atau ke mana saja yang kira-kira bisa memperkenalkanku di daerah sini? Kan sebentar lagi aku akan masuk sekolah, lalu tentang masalah lainnya aku juga ingin berbicara panjang lebar dengan Mbak. Bisa?" tanya Maura, berusaha untuk bersikap biasa saja agar wanita itu tidak
"Kenapa kamu ingin tahu?" tanya Bu Sinta, tidak terima dengan pertanyaan yang dilontarkan anaknya. Raka mendesah kasar dengan pertanyaan dari ibunya. Bukannya menjawab, sang Ibu malah kembali mengajukan pertanyaan. Itu membuatnya semakin pusing sendiri, sampai mengguyar kepala, frustrasi. "Ibu, tentu saja aku harus tahu. Bukankah Ibu hanya punya aku? Kalau terjadi apa-apa dengan Ibu, pasti bakal menyeretku juga, kan? Sekarang aku tanya, berapa utang-utang Ibu, agar aku tahu?" tanya Raka lagi. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada ibunya, pasti dia juga akan terseret. Jadi, sebelum itu terjadi, Raka harus memastikan terlebih dahulu. Bu Sinta sebenarnya tidak mau memberitahu Raka, tetapi ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Raka. Yang bisa dimintai tolong hanyalah anaknya sendiri. Akhirnya dengan terpaksa Bu Sinta pun akan mengutarakan semua kebenarannya. Baru juga Bu Sinta hendak bersuara, tiba-tiba saja pintu rumahnya diketuk dengan sangat kencang. Keduanya kaget mendengar
Sementara itu, keesokan harinya Lusi pun mengajak Maura jalan-jalan keluar. Dia benar-benar kasihan dan juga merasa bersalah kepada sang gadis. Karena membiarkan Maura seharian di rumah selama satu minggu lebih. Lusi juga harus memantau bagaimana Maura saat di luar, agar dia tahu jika nanti sekolah Lusi punya cara untuk melihat bagaimana tingkah anak itu di luar rumah. Alia begitu senang diajak jalan-jalan oleh Maura. Sebelumnya sang gadis juga sudah memberitahu Devan lewat SMS, kalau mereka akan pergi ke taman kota. Hitung-hitung hiburan diri untuk Maura juga karena bosan seharian ada di rumah. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan. Lusi duduk di bangku, sementara Alia dan Maura berjalan-jalan di sekitar taman. Sesekali jajan makanan yang ada di sana. Selang 10 menit kemudian, Devan pun datang. Maura sebenarnya tidak ikhlas kalau misalkan meninggalkan mereka berdua, tetapi karena sudah direncanakan jika Maura dan Alia menjauh terlebih dahulu dari tempat Lusi, mau
"Baiklah, sekarang katakan apa yang kamu mau? Waktuku tidak banyak. Aku tidak mau sampai Alia melihatmu." "Kenapa?" tanya Devan menautkan kedua alis.Lusi bahkan tidak mau melihat ke arahnya. Wanita itu terus saja menatap lurus ke depan, walaupun sambil berbicara. Ini benar-benar membuat hati Devan merenyut sakit. Begitu antipati kah Lusi kepadanya? Bukankah Devan itu tidak pernah berbuat jahat kepada Lusi? Tetapi, kenapa sikap Lusi malah seperti ini?Lagi-lagi Devan berpikir semua karena perbuatan Raka kepada sang wanita. Akhirnya pria itu pun sudah benar-benar mematangkan niat untuk membahagiakan Lusi dan membuat luka-luka yang ada di hati wanita itu sembuh, karena semua curahan kasih sayang dari sang pria. "Aku tidak mau kalau Alia itu dekat denganmu." "Apa?!" Devan sampai berdiri, terperangah sembari menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban dari Lusi. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Lusi? Memang apa masalahnya kalau aku dekat dengan Alia? Dia kan anakmu dan aku juga tida
"Jadi, maksudmu Mas Raka akan kembali mendekati Alia demi mendapatkan aku, begitu?" Devan langsung menganggukkan kepala dengan cepat, karena memang nyatanya Raka mengatakan hal seperti itu. Lalu, tiba-tiba saja Lusi tertawa, membuat Devan menautkan kedua alis sebab dia benar-benar mengatakan itu. "Ya, aku tahu dan aku juga sudah bisa menebak semua itu, Devan. Hanya saja yang membuatku lucu, kamu mengatakan ini karena kamu tidak sadar diri kalau kamu juga memanfaatkan Alia untuk mendekatiku, kan? Atau kamu memanfaatkan Maura untuk mendekatiku?"Tubuh Devan menegang mendengar itu semua. Bagaimana Lusi bisa tahu? Pertanyaan itu langsung menggantung di benak sang pria. Tetapi tentu saja Devan tidak serta-merta mengaku begitu saja. Dia harus mencari cara bagaimana agar Lusi tidak terus mencurigai tentangnya."Kenapa kamu selalu saja curiga kepadaku, Lusi? Aku mengatakan semua ini karena niat baik. Aku memang salah karena tiba-tiba saja dekat dengan Maura. Aku hanya bertegur sapa, tidak