Mila terdiam melihat rumah kedua orang tuanya yang begitu kosong. Hanya ada kursi, tikar dan beberapa alat masak saja. Mila tadi sudah membayar 30 juta kepada rentenir tua itu. Wanita hamil itu pun akhirnya memilih untuk masuk ke rumah, karena ternyata ada beberapa tetangga yang melihat reaksi mereka. Untunglah rentenir itu mau mengalah dan menerima uang 30 juta. Walaupun wajahnya terlihat kesal, tetapi sepertinya masih waras untuk tidak membuat masalah bersama Mila, karena Mila bisa melakukan apa saja saat itu, mengingat kalau dirinya tengah hamil. Dia bisa membuat drama yang lebih meyakinkan lagi agar sang rentenur masuk ke dalam bui.Mila menghela napas panjang sembari memejamkan mata sesaat, lalu ia pun menoleh kepada kedua orang tuanya dengan tatapan datar. "Ternyata benar, kan dugaanku? Tidak ada yang tersisa di rumah ini, kecuali alat-alat yang penting. Kalau kalian tidak membebaskanku, apa yang akan kalian lakukan? Mau menjual rumah ini? Lalu, kalian akan tinggal di mana?" t
Mila terdiam cukup lama. Dia memikirkan apa yang harus dijawab dari pertanyaan sang ibu. Memang benar dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kedua orang tuanya. Tetapi kalau bersama mereka, sama saja Mila menjerumuskan diri ke jurang kesakitan juga penderitaan yang tidak akan pernah ada ujungnya. Wanita itu menatap orang tuanya satu persatu, lalu mengambil napas panjang. Dia harus benar-benar menenangkan diri saat berbicara dengan mereka. Walaupun dia muak dengan segala perlakuan Bu Sinta dan suaminya, tetapi bagaimanapun lagi-lagi mereka adalah orang tua yang sudah membesarkan Mila, setidaknya itu yang membuat Mila bisa mengendalikan diri sampai hari ini. "Dengar, ya, Bu. Aku memang tidak punya siapa-siapa selain kalian. Tetapi kalau aku tetap bertahan dengan kalian, sama saja menjerumuskan diri dalam kesengsaraan. Kalian pasti akan terus memanfaatkanku, tidak memberiku kebebasan. Aku ingin bebas dengan caraku sendiri. Ingat, ya. Jangan pernah menghubungiku setelah utang-utang kal
Tepat setelah salat Asar, Maura bersiap untuk bertemu Devan di sebuah kafe yang sudah dijanjikan. Dia bingung harus memakai apa, karena pakaiannya hanya sedikit. Tetapi daripada tidak datang, lebih baik Maura berpakaian seadanya. Lagi pula, untuk sekarang dia belum bisa membeli apa pun yang diinginkan, karena Lusi belum memberikan uang saku. Gadis itu berdandan seadanya. Tetapi dia berusaha untuk terlihat rapi. Rambutnya pun didandani sedemikian rupa, make up yang natural membuat Maura terlihat pangling. Walaupun tidak menor, tetapi itu sudah terlihat sekali berbeda dengan Maura yang natural. Gadis itu memang cantik dibandingkan Mila. Jadi, didandani seperti apa pun Maura tetap akan terlihat cantik. Setelah siap, dia memastikan terlebih dahulu tidak ada Lusi yang melihat kepergiannya. Kalau sampai itu terjadi, maka sang wanita pasti akan bertanya macam-macam kepada Maura dan entah apa yang harus garis itu jawab. Mana mungkin dia jujur akan bertemu dengan Devan, bisa-bisa Lusi kemba
"A-apa?" tanya Maura dengan suara pelan dan terbata-bata.Dia merasa mimpi buruk mendengar semua permintaan dari Devan. Bahkan tidak percaya atas apa yang dilontarkan oleh pria itu. "Iya, aku ingin meminta bantuanmu untuk mempertemukan Lusi, karena ada hal penting yang harus kami bicarakan. Sudah berulang kali aku meneleponnya. Tetapi, dia sama sekali tidak mau mengangkat atau membalas pesanku," ungkap Devan, wajahnya terlihat sedih. Ada perasaan yang sakit langsung menyelusup hati Maura. Semua asa yang sudah tersusun rapi dan impian-impian yang terbayang dalam benaknya pun harus terhempaskan begitu saja. Sekarang dia seperti didorong ke dalam jurang yang begitu gelap dan pengap, sampai rasanya sesak dada itu. Benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh sang gadis. Ternyata semua harapannya itu hanyalah hampa, bahkan malah berujung kesakitan. Namun dia bisa apa? Lagian, Devan itu memang bukan siapa-siapa baginya. Mereka baru pertama bertemu. Maura hanya mengandalkan perasaan yang bar
"Baiklah, kalau begitu. Kali ini aku maafkan. Tapi lain kali kamu harus bilang semuanya kepadaku. Kemana pun kamu pergi, harus izin. Ingat itu!" Maura langsung menganggukkan kepala. Dia tidak mau membuat Lusi marah lagi. Wanita itu pun hendak membalikkan badan, tetapi tiba-tiba saja sang gadis memanggil Lusi. Maura jadi teringat akan membicarakan sesuatu yang kira-kira bisa melancarkan aksinya untuk mempertemukan Devan dan Lusi. "Kenapa?" tanya Lusi kembali membalikkan badan. Gadis itu menautkan dari jemarinya. Sebenarnya takut jika Lusi marah. Tetapi kalau tidak sekarang, kapan lagi? Mumpung Lusi juga bisa mengobrol dengannya. "Begini, Mbak. Maaf sebelumnya. Boleh tidak Mbak mengajakku jalan-jalan ke sekitar sini atau ke mana saja yang kira-kira bisa memperkenalkanku di daerah sini? Kan sebentar lagi aku akan masuk sekolah, lalu tentang masalah lainnya aku juga ingin berbicara panjang lebar dengan Mbak. Bisa?" tanya Maura, berusaha untuk bersikap biasa saja agar wanita itu tidak
"Kenapa kamu ingin tahu?" tanya Bu Sinta, tidak terima dengan pertanyaan yang dilontarkan anaknya. Raka mendesah kasar dengan pertanyaan dari ibunya. Bukannya menjawab, sang Ibu malah kembali mengajukan pertanyaan. Itu membuatnya semakin pusing sendiri, sampai mengguyar kepala, frustrasi. "Ibu, tentu saja aku harus tahu. Bukankah Ibu hanya punya aku? Kalau terjadi apa-apa dengan Ibu, pasti bakal menyeretku juga, kan? Sekarang aku tanya, berapa utang-utang Ibu, agar aku tahu?" tanya Raka lagi. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada ibunya, pasti dia juga akan terseret. Jadi, sebelum itu terjadi, Raka harus memastikan terlebih dahulu. Bu Sinta sebenarnya tidak mau memberitahu Raka, tetapi ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Raka. Yang bisa dimintai tolong hanyalah anaknya sendiri. Akhirnya dengan terpaksa Bu Sinta pun akan mengutarakan semua kebenarannya. Baru juga Bu Sinta hendak bersuara, tiba-tiba saja pintu rumahnya diketuk dengan sangat kencang. Keduanya kaget mendengar
Sementara itu, keesokan harinya Lusi pun mengajak Maura jalan-jalan keluar. Dia benar-benar kasihan dan juga merasa bersalah kepada sang gadis. Karena membiarkan Maura seharian di rumah selama satu minggu lebih. Lusi juga harus memantau bagaimana Maura saat di luar, agar dia tahu jika nanti sekolah Lusi punya cara untuk melihat bagaimana tingkah anak itu di luar rumah. Alia begitu senang diajak jalan-jalan oleh Maura. Sebelumnya sang gadis juga sudah memberitahu Devan lewat SMS, kalau mereka akan pergi ke taman kota. Hitung-hitung hiburan diri untuk Maura juga karena bosan seharian ada di rumah. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan. Lusi duduk di bangku, sementara Alia dan Maura berjalan-jalan di sekitar taman. Sesekali jajan makanan yang ada di sana. Selang 10 menit kemudian, Devan pun datang. Maura sebenarnya tidak ikhlas kalau misalkan meninggalkan mereka berdua, tetapi karena sudah direncanakan jika Maura dan Alia menjauh terlebih dahulu dari tempat Lusi, mau
"Baiklah, sekarang katakan apa yang kamu mau? Waktuku tidak banyak. Aku tidak mau sampai Alia melihatmu." "Kenapa?" tanya Devan menautkan kedua alis.Lusi bahkan tidak mau melihat ke arahnya. Wanita itu terus saja menatap lurus ke depan, walaupun sambil berbicara. Ini benar-benar membuat hati Devan merenyut sakit. Begitu antipati kah Lusi kepadanya? Bukankah Devan itu tidak pernah berbuat jahat kepada Lusi? Tetapi, kenapa sikap Lusi malah seperti ini?Lagi-lagi Devan berpikir semua karena perbuatan Raka kepada sang wanita. Akhirnya pria itu pun sudah benar-benar mematangkan niat untuk membahagiakan Lusi dan membuat luka-luka yang ada di hati wanita itu sembuh, karena semua curahan kasih sayang dari sang pria. "Aku tidak mau kalau Alia itu dekat denganmu." "Apa?!" Devan sampai berdiri, terperangah sembari menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban dari Lusi. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Lusi? Memang apa masalahnya kalau aku dekat dengan Alia? Dia kan anakmu dan aku juga tida
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,