"Kenapa kamu ingin tahu?" tanya Bu Sinta, tidak terima dengan pertanyaan yang dilontarkan anaknya. Raka mendesah kasar dengan pertanyaan dari ibunya. Bukannya menjawab, sang Ibu malah kembali mengajukan pertanyaan. Itu membuatnya semakin pusing sendiri, sampai mengguyar kepala, frustrasi. "Ibu, tentu saja aku harus tahu. Bukankah Ibu hanya punya aku? Kalau terjadi apa-apa dengan Ibu, pasti bakal menyeretku juga, kan? Sekarang aku tanya, berapa utang-utang Ibu, agar aku tahu?" tanya Raka lagi. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada ibunya, pasti dia juga akan terseret. Jadi, sebelum itu terjadi, Raka harus memastikan terlebih dahulu. Bu Sinta sebenarnya tidak mau memberitahu Raka, tetapi ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Raka. Yang bisa dimintai tolong hanyalah anaknya sendiri. Akhirnya dengan terpaksa Bu Sinta pun akan mengutarakan semua kebenarannya. Baru juga Bu Sinta hendak bersuara, tiba-tiba saja pintu rumahnya diketuk dengan sangat kencang. Keduanya kaget mendengar
Sementara itu, keesokan harinya Lusi pun mengajak Maura jalan-jalan keluar. Dia benar-benar kasihan dan juga merasa bersalah kepada sang gadis. Karena membiarkan Maura seharian di rumah selama satu minggu lebih. Lusi juga harus memantau bagaimana Maura saat di luar, agar dia tahu jika nanti sekolah Lusi punya cara untuk melihat bagaimana tingkah anak itu di luar rumah. Alia begitu senang diajak jalan-jalan oleh Maura. Sebelumnya sang gadis juga sudah memberitahu Devan lewat SMS, kalau mereka akan pergi ke taman kota. Hitung-hitung hiburan diri untuk Maura juga karena bosan seharian ada di rumah. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan. Lusi duduk di bangku, sementara Alia dan Maura berjalan-jalan di sekitar taman. Sesekali jajan makanan yang ada di sana. Selang 10 menit kemudian, Devan pun datang. Maura sebenarnya tidak ikhlas kalau misalkan meninggalkan mereka berdua, tetapi karena sudah direncanakan jika Maura dan Alia menjauh terlebih dahulu dari tempat Lusi, mau
"Baiklah, sekarang katakan apa yang kamu mau? Waktuku tidak banyak. Aku tidak mau sampai Alia melihatmu." "Kenapa?" tanya Devan menautkan kedua alis.Lusi bahkan tidak mau melihat ke arahnya. Wanita itu terus saja menatap lurus ke depan, walaupun sambil berbicara. Ini benar-benar membuat hati Devan merenyut sakit. Begitu antipati kah Lusi kepadanya? Bukankah Devan itu tidak pernah berbuat jahat kepada Lusi? Tetapi, kenapa sikap Lusi malah seperti ini?Lagi-lagi Devan berpikir semua karena perbuatan Raka kepada sang wanita. Akhirnya pria itu pun sudah benar-benar mematangkan niat untuk membahagiakan Lusi dan membuat luka-luka yang ada di hati wanita itu sembuh, karena semua curahan kasih sayang dari sang pria. "Aku tidak mau kalau Alia itu dekat denganmu." "Apa?!" Devan sampai berdiri, terperangah sembari menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban dari Lusi. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Lusi? Memang apa masalahnya kalau aku dekat dengan Alia? Dia kan anakmu dan aku juga tida
"Jadi, maksudmu Mas Raka akan kembali mendekati Alia demi mendapatkan aku, begitu?" Devan langsung menganggukkan kepala dengan cepat, karena memang nyatanya Raka mengatakan hal seperti itu. Lalu, tiba-tiba saja Lusi tertawa, membuat Devan menautkan kedua alis sebab dia benar-benar mengatakan itu. "Ya, aku tahu dan aku juga sudah bisa menebak semua itu, Devan. Hanya saja yang membuatku lucu, kamu mengatakan ini karena kamu tidak sadar diri kalau kamu juga memanfaatkan Alia untuk mendekatiku, kan? Atau kamu memanfaatkan Maura untuk mendekatiku?"Tubuh Devan menegang mendengar itu semua. Bagaimana Lusi bisa tahu? Pertanyaan itu langsung menggantung di benak sang pria. Tetapi tentu saja Devan tidak serta-merta mengaku begitu saja. Dia harus mencari cara bagaimana agar Lusi tidak terus mencurigai tentangnya."Kenapa kamu selalu saja curiga kepadaku, Lusi? Aku mengatakan semua ini karena niat baik. Aku memang salah karena tiba-tiba saja dekat dengan Maura. Aku hanya bertegur sapa, tidak
"Aku ingin pinjam 200 juta darimu." "Apa?!" Lusi terkesiap mendengar ucapan Raka barusan. Dia yakin pendengarannya masih normal. Wanita itu terperangah, tanpa mengerjapkan mata sama sekali. Lalu beberapa detik kemudian, sang wanita berdehem, memberikan ekspresi datar kepada Raka sembari melipat tangan di depan dada. "Coba kamu bilang sekali lagi, Mas. Kamu mau pinjam 200 juta?" tanya Lusi memastikan kalau pendengarannya memang tidak salah. Dengan berat hati Raka pun menganggukkan kepala begitu lemah. "Kenapa? Untuk apa kamu meminjam 200 juta dariku? Apakah kamu ingin merebut Alia dengan jalur hukum?" tanya Lusi terkesan seperti menuduh.Pria itu langsung mendongak sembari menggelengkan kepala dengan cepat. "Bisakah kamu tidak berpikiran buruk kepadaku terus? Aku tidak pernah menyinggung masalah Alia dari tadi, kan?" tanya Raka karena dia benar-benar tidak terima dengan semua tuduhan itu. Walaupun ada rencana untuk merebut Alia dari Lusi demi kembali kepada sang wanita, tetapi un
Tiba-tiba saja Lusi menyeringai tajam. Dia menatap pria itu dengan tajam pula. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh sang wanita, tetapi Raka merasakan ada sesuatu yang akan terjadi kepadanya. Dia ingin bertanya kenapa Lusi bersikap seperti itu tetapi tentu saja tidak ada keberanian untuk melontarkannya. Sebab Raka tahu jika dia banyak bertanya dan juga banyak protes, maka pria itu tidak akan mendapatkan apa pun dari Lusi. "Bagaimana, Lus? Apakah kamu bisa memberikan aku pinjaman 200 juta? Aku janji akan mengembalikannya dengan cara apa pun. Kamu tenang saja, kali ini aku tidak akan mengingkarinya," ucap Raka berusaha untuk meyakinkan Lusi. "Mengingkari janji? Jadi, ternyata kamu sudah mengaku kalau selama ini kamu mengingkari janji kepadaku, Mas?" tanya Lusi lagi-lagi wanita itu pasti menyindir tentang kelakuan Raka yang sudah menduakan sang wanita.Raka ingin sekali memberikan protes kepada Lusi, agar wanita itu tidak terus-terusan memojokkannya dan menyalahkannya. Ya, Raka akui
Sesudah Ashar, Pak Bara pun datang membawa semua peralatan yang dibutuhkan oleh Lusi. Bahkan dia juga membawa laptop untuk mengetik semua yang akan dijadikan perjanjian oleh wanita itu. Sebenarnya, Pak Bara juga tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh Lusi. Tetapi lagi-lagi dia hanya bisa menuruti kemauan Lusi, sebab dirinya hanyalah sebagai seorang pengacara yang berusaha mengabulkan permintaan Lusi, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Lusi menyambut kedatangan Pak Bara dengan semangat, karena itu artinya sebentar lagi rencana yang sangat apik akan dibuat oleh wanita itu. Tanpa berlama-lama lagi, mereka berdua langsung berbicara serius. Di sini, Maura tidak diperbolehkan masuk karena tidak mau sampai gadis itu mengetahui apa yang sedang direncanakan terhadap Raka. Walaupun ada darah yang sama mengalir dari kedua wanita itu, tetap saja Maura juga lahir dari seorang Ibu yang serakah dan jahat. Jadi, ini mengantisipasi agar Maura tidak membuat rencana jahat untuk dirinya
"Bagaimana kalau misalkan Raka tidak setuju dan memberontak, Nak Lusi?" Pak Bara menanyakan itu karena dia yakin, Raka pasti mengajukan protes sebab sebelumnya Raka adalah Bos di semua usaha milik Lusi. Tetapi tiba-tiba menjadi turun derajat sebagai anak buah Lusi. Pasti banyak yang mengejek Raka dan menjadikan pria itu sebagai bahan olok-olok.Lusi tersenyum penuh kemenangan. "Tentu saja aku tahu, pasti Mas Raka akan protes. Tetapi kalau dia protes, maka aku akan menagih uang yang dia pinjam. Kalau Mas Raka tidak mau mengikuti semua perjanjian ini, tentu saja dia akan dipenjara lagi, Pak. Itulah yang kumaksud. Jika dia tidak mendapat hukuman dariku, maka dia harus mendapat hukuman legal dari pemerintah," ungkap Lusi kepada Pak Bara. "Apakah itu tidak akan mencelakakan dirimu di kemudian hari?" tanya Pak Bara. Dia takut jika apa yang dilakukan Lusi sekarang malah membuat wanita itu sengsara di kemudian hari. Karena bagaimanapun dendam tidak akan pernah berakhir bahagia. Pasti ada s
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,