"Aku akan menjamin hidup dan keluargamu, asalkan mau menikah dengan putraku.”
Kata-kata itu menghantam kesadaran Melati seperti badai yang tiba-tiba menerjang di siang hari yang tenang. Matanya melebar, keningnya berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menatap pria di hadapannya, Tuan Adam, bos besar di perusahaan ini, yang kini duduk dengan sikap penuh wibawa di balik meja kerjanya yang besar dan mewah.
"Maaf, Tuan." Suara Melati terdengar ragu.
Ia yakin, pasti ada sesuatu yang salah. Mungkin dia salah dengar. Namun tatapan tajam pria tua itu membuktikan bahwa ucapannya bukanlah gurauan. Tidak ada cengiran, tidak ada tanda-tanda bahwa ini hanya percakapan biasa antara seorang CEO dan pegawai rendahan seperti dirinya.
Tuan Adam, pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di beberapa bagian, memiliki reputasi yang tak terbantahkan di kalangan pebisnis. Semua orang tahu, dia adalah pria pekerja keras yang tidak mudah dipengaruhi emosi. Namun, saat ini, tawaran absurd yang keluar dari mulutnya benar-benar membuat Melati terpaku.
"Kamu tidak salah dengar, Melati," lanjutnya dengan nada datar, "Menikahi putraku adalah satu-satunya syarat. Jika kamu setuju, aku akan memastikan keluargamu terbebas dari segala beban finansial, selamanya."
Sekujur tubuh Melati terasa kaku, seolah udara di dalam ruangan ini mengental dan menekannya. Ia mengerjap, mencoba mengatur napas yang tiba-tiba menjadi berat. Pertanyaan-pertanyaan berputar dalam benaknya. Kenapa harus dia? Kenapa Tuan Adam menawari sesuatu yang begitu gila? Dan yang paling penting, kenapa pria seperti Dewa, putra satu-satunya Tuan Adam yang juga bosnya membutuhkan pernikahan semacam ini?
Pikiran Melati terlempar kembali pada beberapa bulan terakhir sejak bekerja di perusahaan ini. Ia tak pernah terlalu dekat dengan Dewa, hanya tahu pria itu sebagai bos yang tampan. Namun, terkenal playboy. Setiap karyawan di kantor selalu berbisik-bisik tentang hubungan asmara Dewa yang tak pernah bertahan lama. Jadi, kenapa pria seperti Dewa, yang bisa mendapatkan wanita mana pun yang diinginkannya, membutuhkan istri—apalagi seorang istri yang dipilihkan oleh ayahnya? Jelek lagi.
Melati menelan ludah, mencoba merangkai kata yang tepat. "Tian Adam, saya ... saya tidak mengerti. Kenapa saya? Dan kenapa bos Dewa? Saya hanya pegawai biasa di sini.”
Tuan Adam tidak langsung menjawab. Pria tua itu menatapnya sejenak, seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian, dengan napas yang terdengar berat, ia bersandar di kursinya.
“Melati, kamu mungkin tidak tahu, tapi Dewa —” Tuan Adam menghela napas, “Dia membutuhkan seseorang yang bisa membawanya kembali ke jalan yang benar. Dan aku melihat itu ada pada dirimu.”
Mata Melati semakin melebar. Apa maksudnya? Jalan yang benar? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dewa?
“Tapi ... Tuan, mana mau bos Dewa menikah dengan saya yang jelek ini,” ujar Melati, kebingungan bercampur kegelisahan menguasai dirinya.
“Aku tahu. Dan justru itu yang membuatmu spesial,” jawab Tuan Adam dengan nada tegas. “Aku telah mengamatimu, Melati. Kamu pekerja keras, jujur, dan ... kamu memiliki hati yang tulus. Sifat-sifat itulah yang hilang dalam kehidupan Dewa sekarang. Dia butuh seseorang seperti kamu.”
"Tapi saya jauh dari kriteria wanita yang diinginkan bos Dewa," imbuh Melati.
"Cantik itu nomor dua, Melati. Mencari wanita dengan hati yang cantik itu sulit," jawab tuan Adam dengan bijaksana.
Melati hanya bisa menatap kosong. Ini benar-benar di luar nalar. Seumur hidupnya, ia tak pernah membayangkan akan terjebak dalam situasi seperti ini, diminta menikahi seseorang demi menyelamatkan hidup keluarganya. Bukankah ini terdengar seperti skenario dalam drama televisi yang sering ia tonton di malam hari? Tapi ini nyata. Dan bukan hanya keluarganya yang dipertaruhkan, melainkan masa depannya sendiri.
Melati menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Maaf, Tuan Adam, sepertinya saya tidak bisa menerima tawaran ini. Saya tidak bisa menikah hanya karena alasan seperti itu.”
Kata-kata itu terasa berat, tetapi ia tahu dirinya harus menolaknya. Pernikahan, baginya, adalah hal sakral dan sesuatu yang tidak bisa dibangun atas dasar transaksi atau perjanjian bisnis. Dan apalagi dengan pria seperti Dewa, yang jelas-jelas jauh dari tipe pria yang jelas akan menolak mentah-mentah dirinya yang jelek.
Tuan Adam tampak tenang, namun ekspresinya berubah sedikit lebih serius. “Aku bisa mengerti bahwa ini mengejutkan bagimu. Tapi aku harap kamu akan mempertimbangkan tawaranku lebih dalam. Ingat, ini bukan hanya tentang kamu. Ini juga tentang keluargamu.”
Melati terdiam. Ya, keluarganya. Tantenya yang merawatnya semenjak kedua orang tuanya meninggal,kini sedang menghadapi masalah ekonomi. bahkan ia harus bekerja ekstra demi bisa membantu keuangan tantenya itu.
“Aku tidak memintamu menjawab sekarang,” lanjut Tuan Adam. “Ambil waktu untuk berpikir. Aku yakin kamu adalah orang yang bijak, Melati. Dan ingat, hidup tidak selalu memberikan kita pilihan yang kita inginkan, tapi kita harus memilih pilihan yang paling kita butuhkan.”
Melati hanya bisa mengangguk pelan, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Tawaran itu terlalu besar, terlalu menggoda, tapi juga terlalu berisiko.
Tak lama Dewa pun masuk, ia duduk tanpa tahu apa yang baru saja dibicarakan antara ayah dan sekretaris jeleknya.
"Dewa, papa sudah membuat keputusan," ucap tuan Adam pada putra semata wayangnya.
"Keputusan apa?" Dewa mengerutkan kening karena mencium hal yang tak beres dari ucapan ayahnya.
"Papa ingin kamu menikah dengan Melati," jelas tuan Adam.
"Apa!" Dewa hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang, Dewa. Melati adalah wanita yang baik dan setia. Dia bisa menjadi pasangan yang tepat untukmu."
Dewa masih tak percaya dengan keputusan sang ayah yang dianggap di luar nalar. Soal perjodohan bisa ia maklumi, tapi yang menjadi masalah calonnya adalah Melati si sekretaris jeleknya.
"Papa tak salah memilih istri untukku? Dengan menjadikan dia sekretarisku saja itu sudah sangat menjengkelkan," protes Dewa dengan nada mengejek pada Melati.
"Tidak, dia sekretaris handal. Kinerjanya tak perlu di pertanyakan lagi. Aku yakin dia juga bisa menjadi istri idaman," puji Tuan Adam.
"Masih banyak wanita cantik di luar sana, kenapa harus dia?"
Tuan Adam hanya menghela napas, yah inilah putranya yang selalu membantahnya. Namun, ia tetap akan memaksa agar Dewa menerima Melati sebagai istri bagaimanapun caranya.
"Tetapi dalam bisnis, kita tak mengenal kecantikan," kilah tuan Adam.
"Kenapa, Papa tak nikahi saja dia, malah memberikannya padaku." protes Dewa lagi.
"Aku lihat kau berpotensi, dan dia adalah pasangan yang tepat untukmu. Daripada sekretaris lamamu yang hanya menghabiskan uang kantor itu," sindir tuan Adam.
"Aku tidak mau!" tolak Dewa.
"Kalau perusahaan maju di tanganmu, aku akan mewariskan semua hartaku atas namamu. Tetapi, jika sebaliknya, kau tak akan mendapat apapun." Tuan Adam memberikan pilihan yang sulit bagi Dewa.
Kini giliran Dewa menghela napas, ia ingin melawan tetapi demi harta dan ibunya yang sering sakit-sakitan ia terpaksa menerima pernikahan itu.
"Apa tak ada wanita lain?" tawar Dewa lagi. Berharap ini adalah prank dari ayahnya.
"Tak ada, dia yang akan menjadi istrimu titik!" tegas tuan Adam. "Jika kau menolak tanda tangani surat resign menjadi ahli warisku!"
Dewa melempar tatapan tajam ke arah Melati, membuat si pemilik kacamata tebal itu kebingungan.
"Puas!" bentak Dewa pada Melati yang sedari tadi hanya diam mendengar percakapan ayah dan anak itu.
Bersambung
"Kita harus berdiskusi tentang pernikahan dadakan sekaligus palsu ini," jelas Dewa. "Diskusi?" Melati mengerutkan keningnya karena kebingungan. "Jujur aku tak mau menikah dengan wanita jelek sepertimu. Kekasihku saja cantik-cantik. Tapi, ayah mengancam ku akan menghapus namaku dari warisannya dan ini juga demi mama," jelas Dewa. "Lalu?" Melati masih belum paham maksud Dewa. "Aku sudah membuat surat perjanjian pra nikah untuk kita." Dewa memberikan sebuah kertas yang sudah ia isi. "Apa ini?" Melati membelalakan matanya saat membaca isi dari perjanjian pra nikah itu. Perjanjian pra nikah. 1. Bersikap layaknya suami istri pada umumnya di depan orang tuaku. 2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. 3. Tak ada malam pertama dan seterusnya. Tapi jika aku khilaf, tolong dimaklumi. "Perjanjian macam apa ini, kenapa poin ketiga seperti ini?" Protes Melati. "Ya, aku lelaki normal jika suatu saat aku khilaf mau bagaimana lagi," dalih Dewa. "Ini tidak adil! Ini
"Tidak ada masalah, Ma," jawab Dewa.Dengan wajah masam Dewa melakukan itu dengan sangat terpaksa, ia juga menutup matanya karena tak mau melihat wajah istrinya yang jelek.Pengantin baru itu menyalami beberapa tamu yang hadir. Melati sedikit ketakutan saat Randi datang dan mendekat ke arahnya."Melati selamat ya, Sayang. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah." Randi pun memeluk keponakannya dan mengucapkan selamat."Terimakasih, Om," ucap Melati yang terlihat tak nyaman dalam posisi itu.Ratna dan Laura pun ikut mengucapkan selamat pada Melati. Meski dalam hati ia sangat iri."Melati, Kau pakai susuk apa? Bisa-bisanya mendapatkan target sehebat ini dengan wajah dan penampilanmu yang jauh dari kata sempurna," bisik Laura."Itu rahasia Allah, Laura. Aku hanya menjalankan skenario Allah," jawab Melati dengan bijak."Kau sangat menyebalkan, aku doakan semoga rumah tanggamu tak akan lama!" umpat Laura."Jika itu terjadi, itu bukan karena doamu. Tapi itu karena Allah ya
Melati kembali menggeleng, ia masih tak ingin mengatakan siapa lelaki brengsek yang sudah membuat dunianya hancur."Melati, katakan atau aku akan melakukannya!" ancam Dewa lagi."Om Randi!" teriak Melati sebelum Dewa melepaskan kaos yang ia pakai.Suasana pun seketika hening, Dewa tak menyangka jika lelaki brengsek itu justru orang terdekat Melati."Brengsek!" Dewa mengepalkan tangannya karena tak bisa membayangkan betapa sadisnya lelaki itu menghancurkan hidup Melati waktu itu.Sementara Melati menutup tubuhnya dengan selimut, ia takut jika Dewa akan melakukan hal yang pernah dilakukan Randi padanya."Minumlah." Dewa menyodorkan segelas air putih agar Melati sedikit tentang."Terima kasih," ucap Melati sambil menerima gelas itu."Kapan ini terjadi?" Dewa kembali bertanya."Beberapa tahun yang lalu, saat aku berusia tujuh belas tahun," jawab Melati."Kenapa Kau diam dan tidak melaporkan ini pada Tantemu?""Sudah, tapi Tante mengira akulah yang menggoda suaminya. Bahkan Tante dan Laura
"Gara-gara membantumu aku jadi sudah melanggar perjanjian itu! Lagipula sepertinya akan susah kita berpisah karena papa dan mama tak akan semudah itu melepaskan kita," jelas Dewa.Entah mengapa Melati sedikit bahagia mendengar jika perjanjian itu dibatalkan. Setidaknya ada tempat untuk ia berlindung. Selama ini dia merasa hidup seorang diri, satu-satunya keluarga yang ia punya justru menjadi musuh terbesarnya.Bertahun-tahun Melati harus hidup sendirian melawan setiap masalah yang ia hadapi. Bertahun-tahun juga ia harus menyembunyikan luka yang selama ini membelenggunya.Kedatangan Dewa seperti sinar matahari yang menerangi dunianya. Ia tak menyangka jika orang yang selalu mencemoohnya justru menjadi pelindungnya saat ini. Persetan dengan alasan apa mereka terikat dalam hubungan pernikahan ini, yang pasti bagi Melati saat ini dia menemukan tempat berlindung."Jadi, Kau mau membuat perjanjian baru?" tebak Melati.Dalam hati ia berdoa agar Dewa tak memikirkan lagi tentang surat perjanji
"Siapa, Mel” tanya Rara.“Tante,” jawab Melati sambil mengangkat panggilan itu.“Melati Kau tak lupa hari ini ‘kan?” Ratna mengingatkan Melati akan sesuatu.“Ya, aku akan segera mentransfer uang yang, Tante butuhkan,” jawab Melati.Melati mentransfer sejumlah uang yang ia miliki ke Ratna. Hal ini sudah terjadi semenjak Melati bekerja, padahal ia tahu selama ini Ratna mengasuh dan membesarkannya dengan uang kedua orang tuanya, bukan uang milik tantenya. Ia mengetahui semua itu saat pengacara ayahnya memberitahunya.“Kenapa tantemu tak pernah berubah?” tanya Rara yang geram karena sudah bisa menebak alasan Ratna menghubungi Melati.“Sulit untuk ia berubah,” jawab Melati.“Harusnya Kau minta bantuan bos, agar tantemu tak mengganggu lagi,” saran Rara.“Kau pikir aku siapa? Kami hanya menikah pura-pura,” jelas Melati.“Jadi, apa ada malam pertama?” tanya Rara yang sangat penasaran.Melati melirik tajam ke arah sahabatnya itu, bagaimana bisa memilih malam pertama menjadi pertanyaan? Dia saj
Dewa menoleh ke arah Melati, lewat matanya ia meminta sang istri untuk membantunya menjawab pertanyaan mama Ria. Namun, Melati enggan membantunya. Melati memilih diam dan menyimpan Wajah Dewa seketika memerah menahan amarah, rasanya dia ingin melempar Melati sejauh mungkin agar tak ia lihat. Dewa sangat geram pada Melati yang benar-benar tidak mau mengganggunya."Dewa, jawab mama!" bentak Mama Ria."Itu, Ma." Dewa menghentikan kalimatnya karena tak menemukan ide."Jangan bilang jika Kamu masih bermain dengan wanita di luar sana!" hardik mama Ria."Tidak, Ma. Dewa janji mulai detik ini tidak akan melakukan hal itu lagi." Dewa mengangkat kedua jarinya."Melati, apa yang dikatakan Dewa benar?" Kini mama Ria pun bertanya pada menantunya.Melati memikirkan apa yang akan dia ucapkan agar ibu mertuanya percaya sedangkan menemukan kalimat yang bisa meyakinkan mama Ria itu bukan hal yang mudah. Namun, tiba-tiba Melati punya ide.Ia "Itu, Ma disengat lebah betina," jawab Melati asal."Lebah,
"Aku mau," lirih Melati dengan nada tak meyakinkan."Padahal ini kewajibanmu, tapi Kau bahkan tak bisa meyakinkanku," cibir Dewa."Bos, aku—""Sudahlah, ingat jangan ganggu aku besok!" sela Dewa.Melati hanya bisa meremas ujung bajunya, ia merasa sakit hati mendengar sang suami yang memiliki mulut pedas melebihi pedasnya sambal. Bagaimana bisa seorang suami mengatakan akan berkencan dengan wanita lain dan menyuruh istrinya untuk tidak mengganggu?Namun, Melati memilih untuk tidur daripada meladeni si mulut pedas itu. Biar saja ia akan mengurusnya besok. Malam ini ia ingin mengistirahatkan tubuh dan otaknya dulu.Langit pagi tampak begitu cerah secerah hati Melati. Lho kok bisa cerah? Padahal hari ini suaminya akan berkencan dengan wanita lain. Tenang, Melati itu cerdas dan dia sudah menyiapkan berbagai rencana untuk menghadapi suaminya."Kenapa senyum-senyum, Kamu masih waras?" tanya Dewa sambil memasang dasi."Waras lah, Bos. Aku hanya sedang bahagia saja," jawab Melati sambil mengam
"Setiap lelaki tak hanya memandang fisik seseorang, kadang sebagian dari mereka hanya melihat apakah wanita itu liar atau tidak," jelas Dewa dengan nada penuh penekanan."Baik, Bos. Sebisa mungkin aku akan jaga diri," jawab Melati.Mereka pun masuk ke mobil dan segera menuju lokasi meeting yang sudah Melati siapkan. Selama perjalanan mereka berdiskusi tentang meeting yang akan dilaksanakan. Dewa akui kinerja Melati sangat luar biasa. Ia baru menemukan sekretaris seperti dia, yang sangat total dalam bekerja.Sesampainya di lokasi Dewa langsung menuju meja yang sudah disiapkan Melati. Tuan Robert pun sudah ada di sana. Dewa dan Melati pun langsung duduk."Senang bisa bertemu dengan pengusaha muda seperti, Anda," ucap tuan Robert sembari mengulurkan tangannya."Senang juga bisa bertemu dengan, Anda tuan Robert," ucap Dewa sambil menjabat tangan tuan Robert."Dia, sekretarismu?" Tuan Robert menunjuk Melati."Ya," jawab Dewa singkat."Wanita cantik, sayang dia menyembunyikan kecantikannya
15"Ada yang mencarimu, siapa dia?" tanya tuan Adam pada Dewa."Siapa?" Dewa tampak berpikir."Tata, tapi aku sudah mengusirnya," jawab tuan Adam."Tata ...." Dewa menggantung kalimatnya seolah sedang berpikir mencari ide untuk menjelaskan semua pada Melati. "Koleksi barumu?" tebak Melati, meski hatinya terluka."Bukan, dia hanya salah satu rekan kerja," kilah Dewa."Oh." Dalam hati Melati menangis, ia sangat berharap hubungan palsu itu dapat berubah. Namun, ia mulai tak yakin melihat sikap Dewa yang masih seperti itu."Kau lupa siapa aku bos? Aku adalah sekretarismu, yang sudah pasti tahu siapa rekan kerjamu," batin Melati.Tuan Adam tak jadi membicarakan sesuatu dengan putranya karena melihat Melati sedikit terganggu dengan kedatangan wanita yang mencari Dewa. Ia memilih pergi dari sana. Melati dan juga Dewa pun melupakan pagi ini, mereka berangkat ke kantor seperti biasa. Sore ini Melati meminta ijin pada Dewa untuk menjenguk Rara yang sedang sakit. Sebenarnya itu bukan alasan u
14"Jika kau bisa lakukan saja," tantang Melati."Kau yakin?" Laura mencoba memastikan apakah Melati benar-benar menantangnya."Kau lebih mengenal aku, Laura," ucap Melati."Kau benar, jangan menangis jika aku bisa merebut suamimu!" "Kau juga jangan menangis jika suamiku tak tertarik padamu," cibir Melati.Melati mempersilahkan Laura masuk, ia lalu mengantarkan dia ke kamar tamu. Sebenarnya ia sedikit takut akan kedatangan Laura, ya dia sadar siapa Dewa? Dia bisa saja tergoda dengan wanita lain apalagi wanita seperti Laura.Namun, entah apa yang membuat Melati merasa jika Dewa tak akan tergoda meski rasa takut lebih mendominasi di hatinya. Ia hanya berharap Dewa tidak tergoda dengan Laura. Ya, walau Melati tahu lelaki dengan julukan si mulut pedas itu masih sering berkencan dengan wanita lain di luar sana."Melati!" teriak Dewa."Ya, Mas!" sahut Melati yang langsung mengganti panggilannya. Ia pun segera berlari menghampiri suaminya."Mas?" Dewa mengerutkan keningnya."Ada Laura, aku
Ratna langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia sangat ketakutan saat mendengar suara Dewa. Itu jelas membuat si mulut pedas itu tambah murka. "Jangan angkat panggilannya jika tidak bersamaku!" tegas Dewa yang sangat marah. "Baik," jawab Melati. "Jika dia mengancam laporkan padaku, beraninya dia mengusik orang terdekatku!" Dewa yang geram pun tak jadi melunasi pinjaman Ratna ke Bank. Ia ingin melihat sejauh mana wanita itu menindas Melati. Perhatian Dewa membuat Melati sedikit terbang. Ia pikir ini adalah awal dari perubahan sikap Dewa padanya. Dari perhatian ini juga Melati mulai tertarik pada suaminya itu. "Sial!" umpat Ratna saat mendengar suara Dewa. "Ada apa, Ma?" tanya Laura. "Mama minta uang pada Melati, tapi tadi Dewa yang bicara," ucap Ratna ketakutan. "Apa! Kenapa bisa, Mama ceroboh?" Laura menyalahkan ibunya yang sangat ceroboh. "Mana mama tahu Dewa ada di samping Melati. Bagaimana ini? Padahal dia mau melunasi pinjaman ke Bank." Ratna tampak bingung. Ia tak
Bab 12 "Siap diusir," jawab Dewa dengan nada tak suka."Pa, ayo kita sarapan!" Ajak mama Ria agar suasana tak semakin menegangkan.Lagi-lagi tuan Adam hanya tersenyum melihat sikap putranya, ia sama sekali tidak marah karena Dewa terus berdebat dengannya. Ia justru bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk bercanda dengan putranya. Ya, tuan Adam menganggap ini adalah bercanda ala dia, bentuk kasih sayang antar ayah dan anak."Tempat untuk menampung kami, seperti istana atau gubuk reyot?" Dewa melontarkan pertanyaan pada ayahnya."Gubug yang nantinya akan Kau bangun menjadi istana," jawab tuan Adam disertai senyum."Papa semakin membuatku kehilangan kesabaran!" bentak Dewa."Mas, sabar. Dia papa, tak seharusnya Kamu membentaknya," ucap Melati mencoba mengingatkan Dewa."Diam dan tak usah ikut campur!" Dewa malah membentak Melati."Aku akan diam jika Kau diam!" Melati tak mau kalah dari si mulut pedas.Tuan Adam menatap kagum pada menantunya yang berani membentak putranya yang su
"Sayang, papa bukan benci atau sebagainya. Papa hanya ingin Kau menjadi lebih baik," imbuh mama Ria."Jika itu kata, Mama Dewa paham. Sebenarnya ini sulit untukku," lirih dewa.Mama Ria memeluk putranya, ia juga sebenarnya tak tega, akan tetapi demi kebaikan sang putra ia harus menyingkirkan egonya."Ada Melati yang bisa menjadi tempat untukmu bersandar, mama juga akan sering berkunjung ke rumah kalian," ucap mama Ria yang berharap bisa dimengerti Dewa.Dewa mengangguk, meski hati kecilnya menolak akan keputusan ayahnya itu. Melihat putranya setuju ia pun memanggil Melati untuk mulai mengemas pakaian mereka. Ya, meski besok mereka baru pindah tapi tak ada salahnya 'kan bersiap sekarang?Melati mulai mengemas semua pakaian mereka, ia hanya menyisakan beberapa pakaian agar saat mereka menginap di sini masih ada baju ganti. Sesekali Melati melirik ke arah Dewa yang masih tampak muram itu. Melati langsung memalingkan wajahnya saat Dewa menatapnya.Melati semakin panik saat si mulut pedas
Melati tersenyum lega mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut tuan Robert. Ketakutannya sirna sudah ketika tahu jika lelaki paruh baya itu hanya menguji suaminya. "Jadi kerja sama ini masih bisa dilanjutkan?" Tuan Robert kembali bertanya.Dewa terlihat berpikir, ia masih dikuasai api amarah jadi pantas saja ia masih belum percaya apakah lelaki di hadapannya itu benar-benar serius dalam ucapannya atau hanya mempermainkannya."Tuan, saya minta maaf dengan hal yang sudah saya lakukan tadi. Tapi percayalah, saya hanya menguji, Anda." Tuan Robert mencoba memastikan Dewa."Baiklah kali ini saya mempercayai, Anda. Tapi jika hal seperti tadi terjadi lagi, jangan salahkan saya jika lepas kendali," ucap Dewa penuh ancaman."Siap, Tuan. Tenang saja, saya juga seperti, Anda," ujar tuan Robert."Seperti saya?" Dewa mengulang kalimat tuan Robert."Ya, seperti, Anda. Meski kita dikenal sebagai playboy, tapi kita tetap setia dengan satu wanita," jelas tuan Robert.Dewa tersenyum masam,
"Setiap lelaki tak hanya memandang fisik seseorang, kadang sebagian dari mereka hanya melihat apakah wanita itu liar atau tidak," jelas Dewa dengan nada penuh penekanan."Baik, Bos. Sebisa mungkin aku akan jaga diri," jawab Melati.Mereka pun masuk ke mobil dan segera menuju lokasi meeting yang sudah Melati siapkan. Selama perjalanan mereka berdiskusi tentang meeting yang akan dilaksanakan. Dewa akui kinerja Melati sangat luar biasa. Ia baru menemukan sekretaris seperti dia, yang sangat total dalam bekerja.Sesampainya di lokasi Dewa langsung menuju meja yang sudah disiapkan Melati. Tuan Robert pun sudah ada di sana. Dewa dan Melati pun langsung duduk."Senang bisa bertemu dengan pengusaha muda seperti, Anda," ucap tuan Robert sembari mengulurkan tangannya."Senang juga bisa bertemu dengan, Anda tuan Robert," ucap Dewa sambil menjabat tangan tuan Robert."Dia, sekretarismu?" Tuan Robert menunjuk Melati."Ya," jawab Dewa singkat."Wanita cantik, sayang dia menyembunyikan kecantikannya
"Aku mau," lirih Melati dengan nada tak meyakinkan."Padahal ini kewajibanmu, tapi Kau bahkan tak bisa meyakinkanku," cibir Dewa."Bos, aku—""Sudahlah, ingat jangan ganggu aku besok!" sela Dewa.Melati hanya bisa meremas ujung bajunya, ia merasa sakit hati mendengar sang suami yang memiliki mulut pedas melebihi pedasnya sambal. Bagaimana bisa seorang suami mengatakan akan berkencan dengan wanita lain dan menyuruh istrinya untuk tidak mengganggu?Namun, Melati memilih untuk tidur daripada meladeni si mulut pedas itu. Biar saja ia akan mengurusnya besok. Malam ini ia ingin mengistirahatkan tubuh dan otaknya dulu.Langit pagi tampak begitu cerah secerah hati Melati. Lho kok bisa cerah? Padahal hari ini suaminya akan berkencan dengan wanita lain. Tenang, Melati itu cerdas dan dia sudah menyiapkan berbagai rencana untuk menghadapi suaminya."Kenapa senyum-senyum, Kamu masih waras?" tanya Dewa sambil memasang dasi."Waras lah, Bos. Aku hanya sedang bahagia saja," jawab Melati sambil mengam
Dewa menoleh ke arah Melati, lewat matanya ia meminta sang istri untuk membantunya menjawab pertanyaan mama Ria. Namun, Melati enggan membantunya. Melati memilih diam dan menyimpan Wajah Dewa seketika memerah menahan amarah, rasanya dia ingin melempar Melati sejauh mungkin agar tak ia lihat. Dewa sangat geram pada Melati yang benar-benar tidak mau mengganggunya."Dewa, jawab mama!" bentak Mama Ria."Itu, Ma." Dewa menghentikan kalimatnya karena tak menemukan ide."Jangan bilang jika Kamu masih bermain dengan wanita di luar sana!" hardik mama Ria."Tidak, Ma. Dewa janji mulai detik ini tidak akan melakukan hal itu lagi." Dewa mengangkat kedua jarinya."Melati, apa yang dikatakan Dewa benar?" Kini mama Ria pun bertanya pada menantunya.Melati memikirkan apa yang akan dia ucapkan agar ibu mertuanya percaya sedangkan menemukan kalimat yang bisa meyakinkan mama Ria itu bukan hal yang mudah. Namun, tiba-tiba Melati punya ide.Ia "Itu, Ma disengat lebah betina," jawab Melati asal."Lebah,