"Aku akan menjamin hidup dan keluargamu, asalkan mau menikah dengan putraku.”
Kata-kata itu menghantam kesadaran Melati seperti badai yang tiba-tiba menerjang di siang hari yang tenang. Matanya melebar, keningnya berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menatap pria di hadapannya, Tuan Adam, bos besar di perusahaan ini, yang kini duduk dengan sikap penuh wibawa di balik meja kerjanya yang besar dan mewah.
"Maaf, Tuan." Suara Melati terdengar ragu.
Ia yakin, pasti ada sesuatu yang salah. Mungkin dia salah dengar. Namun tatapan tajam pria tua itu membuktikan bahwa ucapannya bukanlah gurauan. Tidak ada cengiran, tidak ada tanda-tanda bahwa ini hanya percakapan biasa antara seorang CEO dan pegawai rendahan seperti dirinya.
Tuan Adam, pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di beberapa bagian, memiliki reputasi yang tak terbantahkan di kalangan pebisnis. Semua orang tahu, dia adalah pria pekerja keras yang tidak mudah dipengaruhi emosi. Namun, saat ini, tawaran absurd yang keluar dari mulutnya benar-benar membuat Melati terpaku.
"Kamu tidak salah dengar, Melati," lanjutnya dengan nada datar, "Menikahi putraku adalah satu-satunya syarat. Jika kamu setuju, aku akan memastikan keluargamu terbebas dari segala beban finansial, selamanya."
Sekujur tubuh Melati terasa kaku, seolah udara di dalam ruangan ini mengental dan menekannya. Ia mengerjap, mencoba mengatur napas yang tiba-tiba menjadi berat. Pertanyaan-pertanyaan berputar dalam benaknya. Kenapa harus dia? Kenapa Tuan Adam menawari sesuatu yang begitu gila? Dan yang paling penting, kenapa pria seperti Dewa, putra satu-satunya Tuan Adam yang juga bosnya membutuhkan pernikahan semacam ini?
Pikiran Melati terlempar kembali pada beberapa bulan terakhir sejak bekerja di perusahaan ini. Ia tak pernah terlalu dekat dengan Dewa, hanya tahu pria itu sebagai bos yang tampan. Namun, terkenal playboy. Setiap karyawan di kantor selalu berbisik-bisik tentang hubungan asmara Dewa yang tak pernah bertahan lama. Jadi, kenapa pria seperti Dewa, yang bisa mendapatkan wanita mana pun yang diinginkannya, membutuhkan istri—apalagi seorang istri yang dipilihkan oleh ayahnya? Jelek lagi.
Melati menelan ludah, mencoba merangkai kata yang tepat. "Tian Adam, saya ... saya tidak mengerti. Kenapa saya? Dan kenapa bos Dewa? Saya hanya pegawai biasa di sini.”
Tuan Adam tidak langsung menjawab. Pria tua itu menatapnya sejenak, seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian, dengan napas yang terdengar berat, ia bersandar di kursinya.
“Melati, kamu mungkin tidak tahu, tapi Dewa —” Tuan Adam menghela napas, “Dia membutuhkan seseorang yang bisa membawanya kembali ke jalan yang benar. Dan aku melihat itu ada pada dirimu.”
Mata Melati semakin melebar. Apa maksudnya? Jalan yang benar? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dewa?
“Tapi ... Tuan, mana mau bos Dewa menikah dengan saya yang jelek ini,” ujar Melati, kebingungan bercampur kegelisahan menguasai dirinya.
“Aku tahu. Dan justru itu yang membuatmu spesial,” jawab Tuan Adam dengan nada tegas. “Aku telah mengamatimu, Melati. Kamu pekerja keras, jujur, dan ... kamu memiliki hati yang tulus. Sifat-sifat itulah yang hilang dalam kehidupan Dewa sekarang. Dia butuh seseorang seperti kamu.”
"Tapi saya jauh dari kriteria wanita yang diinginkan bos Dewa," imbuh Melati.
"Cantik itu nomor dua, Melati. Mencari wanita dengan hati yang cantik itu sulit," jawab tuan Adam dengan bijaksana.
Melati hanya bisa menatap kosong. Ini benar-benar di luar nalar. Seumur hidupnya, ia tak pernah membayangkan akan terjebak dalam situasi seperti ini, diminta menikahi seseorang demi menyelamatkan hidup keluarganya. Bukankah ini terdengar seperti skenario dalam drama televisi yang sering ia tonton di malam hari? Tapi ini nyata. Dan bukan hanya keluarganya yang dipertaruhkan, melainkan masa depannya sendiri.
Melati menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Maaf, Tuan Adam, sepertinya saya tidak bisa menerima tawaran ini. Saya tidak bisa menikah hanya karena alasan seperti itu.”
Kata-kata itu terasa berat, tetapi ia tahu dirinya harus menolaknya. Pernikahan, baginya, adalah hal sakral dan sesuatu yang tidak bisa dibangun atas dasar transaksi atau perjanjian bisnis. Dan apalagi dengan pria seperti Dewa, yang jelas-jelas jauh dari tipe pria yang jelas akan menolak mentah-mentah dirinya yang jelek.
Tuan Adam tampak tenang, namun ekspresinya berubah sedikit lebih serius. “Aku bisa mengerti bahwa ini mengejutkan bagimu. Tapi aku harap kamu akan mempertimbangkan tawaranku lebih dalam. Ingat, ini bukan hanya tentang kamu. Ini juga tentang keluargamu.”
Melati terdiam. Ya, keluarganya. Tantenya yang merawatnya semenjak kedua orang tuanya meninggal,kini sedang menghadapi masalah ekonomi. bahkan ia harus bekerja ekstra demi bisa membantu keuangan tantenya itu.
“Aku tidak memintamu menjawab sekarang,” lanjut Tuan Adam. “Ambil waktu untuk berpikir. Aku yakin kamu adalah orang yang bijak, Melati. Dan ingat, hidup tidak selalu memberikan kita pilihan yang kita inginkan, tapi kita harus memilih pilihan yang paling kita butuhkan.”
Melati hanya bisa mengangguk pelan, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Tawaran itu terlalu besar, terlalu menggoda, tapi juga terlalu berisiko.
Tak lama Dewa pun masuk, ia duduk tanpa tahu apa yang baru saja dibicarakan antara ayah dan sekretaris jeleknya.
"Dewa, papa sudah membuat keputusan," ucap tuan Adam pada putra semata wayangnya.
"Keputusan apa?" Dewa mengerutkan kening karena mencium hal yang tak beres dari ucapan ayahnya.
"Papa ingin kamu menikah dengan Melati," jelas tuan Adam.
"Apa!" Dewa hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang, Dewa. Melati adalah wanita yang baik dan setia. Dia bisa menjadi pasangan yang tepat untukmu."
Dewa masih tak percaya dengan keputusan sang ayah yang dianggap di luar nalar. Soal perjodohan bisa ia maklumi, tapi yang menjadi masalah calonnya adalah Melati si sekretaris jeleknya.
"Papa tak salah memilih istri untukku? Dengan menjadikan dia sekretarisku saja itu sudah sangat menjengkelkan," protes Dewa dengan nada mengejek pada Melati.
"Tidak, dia sekretaris handal. Kinerjanya tak perlu di pertanyakan lagi. Aku yakin dia juga bisa menjadi istri idaman," puji Tuan Adam.
"Masih banyak wanita cantik di luar sana, kenapa harus dia?"
Tuan Adam hanya menghela napas, yah inilah putranya yang selalu membantahnya. Namun, ia tetap akan memaksa agar Dewa menerima Melati sebagai istri bagaimanapun caranya.
"Tetapi dalam bisnis, kita tak mengenal kecantikan," kilah tuan Adam.
"Kenapa, Papa tak nikahi saja dia, malah memberikannya padaku." protes Dewa lagi.
"Aku lihat kau berpotensi, dan dia adalah pasangan yang tepat untukmu. Daripada sekretaris lamamu yang hanya menghabiskan uang kantor itu," sindir tuan Adam.
"Aku tidak mau!" tolak Dewa.
"Kalau perusahaan maju di tanganmu, aku akan mewariskan semua hartaku atas namamu. Tetapi, jika sebaliknya, kau tak akan mendapat apapun." Tuan Adam memberikan pilihan yang sulit bagi Dewa.
Kini giliran Dewa menghela napas, ia ingin melawan tetapi demi harta dan ibunya yang sering sakit-sakitan ia terpaksa menerima pernikahan itu.
"Apa tak ada wanita lain?" tawar Dewa lagi. Berharap ini adalah prank dari ayahnya.
"Tak ada, dia yang akan menjadi istrimu titik!" tegas tuan Adam. "Jika kau menolak tanda tangani surat resign menjadi ahli warisku!"
Dewa melempar tatapan tajam ke arah Melati, membuat si pemilik kacamata tebal itu kebingungan.
"Puas!" bentak Dewa pada Melati yang sedari tadi hanya diam mendengar percakapan ayah dan anak itu.
Bersambung
"Kita harus berdiskusi tentang pernikahan dadakan sekaligus palsu ini," jelas Dewa."Diskusi?" Melati mengerutkan keningnya karena kebingungan."Jujur aku tak mau menikah dengan wanita jelek sepertimu. Kekasihku saja cantik-cantik. Tapi, ayah mengancam ku akan menghapus namaku dari warisannya dan ini juga demi mama," jelas Dewa."Lalu?" Melati masih belum paham maksud Dewa."Aku sudah membuat surat perjanjian pra nikah untuk kita." Dewa memberikan sebuah kertas yang sudah ia isi."Apa ini?"Melati membelalakan matanya saat membaca isi dari perjanjian pra nikah itu.Perjanjian pra nikah.1. Bersikap layaknya suami istri pada umumnya di depan orang tuaku.2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.3. Tak ada malam pertama dan seterusnya. Tapi jika aku khilaf, tolong dimaklumi."Perjanjian macam apa ini, kenapa poin ketiga seperti ini?" Protes Melati."Ya, aku lelaki normal jika suatu saat aku khilaf mau bagaimana lagi," dalih Dewa."Ini tidak adil! Ini namanya mau menang sendiri, t
"Tidak ada masalah, Ma," jawab Dewa.Dengan wajah masam Dewa melakukan itu dengan sangat terpaksa, ia juga menutup matanya karena tak mau melihat wajah istrinya yang jelek.Pengantin baru itu menyalami beberapa tamu yang hadir. Melati sedikit ketakutan saat Randi datang dan mendekat ke arahnya."Melati selamat ya, Sayang. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah." Randi pun memeluk keponakannya dan mengucapkan selamat."Terimakasih, Om," ucap Melati yang terlihat tak nyaman dalam posisi itu.Ratna dan Laura pun ikut mengucapkan selamat pada Melati. Meski dalam hati ia sangat iri."Melati, Kau pakai susuk apa? Bisa-bisanya mendapatkan target sehebat ini dengan wajah dan penampilanmu yang jauh dari kata sempurna," bisik Laura."Itu rahasia Allah, Laura. Aku hanya menjalankan skenario Allah," jawab Melati dengan bijak."Kau sangat menyebalkan, aku doakan semoga rumah tanggamu tak akan lama!" umpat Laura."Jika itu terjadi, itu bukan karena doamu. Tapi itu karena Allah ya
Melati kembali menggeleng, ia masih tak ingin mengatakan siapa lelaki brengsek yang sudah membuat dunianya hancur."Melati, katakan atau aku akan melakukannya!" ancam Dewa lagi."Om Randi!" teriak Melati sebelum Dewa melepaskan kaos yang ia pakai.Suasana pun seketika hening, Dewa tak menyangka jika lelaki brengsek itu justru orang terdekat Melati."Brengsek!" Dewa mengepalkan tangannya karena tak bisa membayangkan betapa sadisnya lelaki itu menghancurkan hidup Melati waktu itu.Sementara Melati menutup tubuhnya dengan selimut, ia takut jika Dewa akan melakukan hal yang pernah dilakukan Randi padanya."Minumlah." Dewa menyodorkan segelas air putih agar Melati sedikit tentang."Terima kasih," ucap Melati sambil menerima gelas itu."Kapan ini terjadi?" Dewa kembali bertanya."Beberapa tahun yang lalu, saat aku berusia tujuh belas tahun," jawab Melati."Kenapa Kau diam dan tidak melaporkan ini pada Tantemu?""Sudah, tapi Tante mengira akulah yang menggoda suaminya. Bahkan Tante dan Laura
"Gara-gara membantumu aku jadi sudah melanggar perjanjian itu! Lagipula sepertinya akan susah kita berpisah karena papa dan mama tak akan semudah itu melepaskan kita," jelas Dewa.Entah mengapa Melati sedikit bahagia mendengar jika perjanjian itu dibatalkan. Setidaknya ada tempat untuk ia berlindung. Selama ini dia merasa hidup seorang diri, satu-satunya keluarga yang ia punya justru menjadi musuh terbesarnya.Bertahun-tahun Melati harus hidup sendirian melawan setiap masalah yang ia hadapi. Bertahun-tahun juga ia harus menyembunyikan luka yang selama ini membelenggunya.Kedatangan Dewa seperti sinar matahari yang menerangi dunianya. Ia tak menyangka jika orang yang selalu mencemoohnya justru menjadi pelindungnya saat ini. Persetan dengan alasan apa mereka terikat dalam hubungan pernikahan ini, yang pasti bagi Melati saat ini dia menemukan tempat berlindung."Jadi, Kau mau membuat perjanjian baru?" tebak Melati.Dalam hati ia berdoa agar Dewa tak memikirkan lagi tentang surat perjanji
"Siapa, Mel” tanya Rara.“Tante,” jawab Melati sambil mengangkat panggilan itu.“Melati Kau tak lupa hari ini ‘kan?” Ratna mengingatkan Melati akan sesuatu.“Ya, aku akan segera mentransfer uang yang, Tante butuhkan,” jawab Melati.Melati mentransfer sejumlah uang yang ia miliki ke Ratna. Hal ini sudah terjadi semenjak Melati bekerja, padahal ia tahu selama ini Ratna mengasuh dan membesarkannya dengan uang kedua orang tuanya, bukan uang milik tantenya. Ia mengetahui semua itu saat pengacara ayahnya memberitahunya.“Kenapa tantemu tak pernah berubah?” tanya Rara yang geram karena sudah bisa menebak alasan Ratna menghubungi Melati.“Sulit untuk ia berubah,” jawab Melati.“Harusnya Kau minta bantuan bos, agar tantemu tak mengganggu lagi,” saran Rara.“Kau pikir aku siapa? Kami hanya menikah pura-pura,” jelas Melati.“Jadi, apa ada malam pertama?” tanya Rara yang sangat penasaran.Melati melirik tajam ke arah sahabatnya itu, bagaimana bisa memilih malam pertama menjadi pertanyaan? Dia saj