"Gara-gara membantumu aku jadi sudah melanggar perjanjian itu! Lagipula sepertinya akan susah kita berpisah karena papa dan mama tak akan semudah itu melepaskan kita," jelas Dewa.
Entah mengapa Melati sedikit bahagia mendengar jika perjanjian itu dibatalkan. Setidaknya ada tempat untuk ia berlindung. Selama ini dia merasa hidup seorang diri, satu-satunya keluarga yang ia punya justru menjadi musuh terbesarnya.
Bertahun-tahun Melati harus hidup sendirian melawan setiap masalah yang ia hadapi. Bertahun-tahun juga ia harus menyembunyikan luka yang selama ini membelenggunya.
Kedatangan Dewa seperti sinar matahari yang menerangi dunianya. Ia tak menyangka jika orang yang selalu mencemoohnya justru menjadi pelindungnya saat ini. Persetan dengan alasan apa mereka terikat dalam hubungan pernikahan ini, yang pasti bagi Melati saat ini dia menemukan tempat berlindung.
"Jadi, Kau mau membuat perjanjian baru?" tebak Melati.
Dalam hati ia berdoa agar Dewa tak memikirkan lagi tentang surat perjanjian karena ia ingin tempat ini akan selalu menjadi miliknya.
"Untuk sementara otakku belum menemukan ide, tidak tahu besok," jawab Dewa.
Melati melebarkan senyumnya, tapi ya dia tak boleh bahagia dulu karena lelaki yang terkenal dengan aungan serigalanya jika sedang marah itu gampang berubah pikiran.
Melati memilih menyiapkan pakaian untuk sang suami. Ya karena meski baru kemarin mereka menikah hari ini semua harus berjalan normal kembali. Tahu sendiri siapa si Dewa. Dia paling benci melihat karyawannya yang bermalas-malasan dalam bekerja. Jadi sebagai bos, tentu dia harus memberikan contoh yang baik.
Keduanya tetap datang ke kantor seperti biasa, tak ada hari spesial bagi pasangan pengantin baru itu. Mereka juga bersikap seperti biasa di kantor. Dewa langsung masuk ke ruangannya, sementara Melati menuju ke pantry untuk membuatkan kopi.
"Melati," panggil Heru, teman satu kantornya.
Melati menghentikan langkahnya dan menoleh saat namanya dipanggil.
"Mas, Heru. Ada apa, Mas?" tanya Melati sopan.
"Kemarin Kamu tidak berangkat. Ada apa?" tanya Heru.
"Ada urusan, Mas," jawab Melati.
"Sukurlah, aku kita Kamu sakit," ucap Heru.
"Alhamdulillah, aku sehat," jawab Melati dengan senyum manisnya.
"Ehem." Dewa berdeham saat melihat dua sejoli itu sedang berduaan di depan pantry.
"Selamat pagi, Bos," sapa Heru saat melihat Dewa sudah berdiri di depan pintu.
Melati pun menoleh, ia bingung kenapa Dewa menyusulnya. Padahal biasanya boro-boro menyusul, yang ada dia mengandalkan aungan serigalanya.
"Ada apa, Bos?" tanya Melati tanpa rasa bersalah karena memang dia tidak salah.
"Kau mau buat kopi atau pacaran di kantor!" bentak Dewa saat melihat Melati hanya berdua dengan Heru.
Mungkin itu sudah sering ia lihat, akan tetapi sekarang sangat berbeda kondisinya. Bagaimana saat ibunya melihat kelakuan menantunya itu? Hal ini yang membuat Dewa marah-marah.
"Akhirnya raungan serigalanya keluar juga." batin Melati.
"Maaf, Bos. Kami hanya mengobrol sebentar," kilah Melati.
"Jadi ini pekerjaanmu di belakangku!" hardik Dewa.
"Bukan itu maksudku, Bos. Akan aku jelaskan di ruangan, Anda." Melati menarik lengan Dewa agar menjauh dari sana.
Melati tidak ingin Heru menjadi sasaran kemarahan Dewa. Kalau dia, jangan ditanya lagi. Melati sudah terbiasa dengan semua itu.
"Ada apa dengan Melati, Mas?" tanya Rara saat melihat sahabatnya itu menarik lengan Dewa.
"Melati disuruh membuat kopi, tapi tadi kami mengobrol sebentar dan seperti biasa bos kita yang paling kalem itu mau bermanja-manja sama Melati," seloroh Heru.
"Bahasamu itu kok menggelikan sih, Mas. Yang ada Melati bakal kenyang karena umpatan dan teriakan bos kita."
"Ya, itu hanya umpama. Hehe ...."
Di dalam ruangan Dewa Melati mulai menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Ya, ritual ini penting sebelum menghadapi Dewa agar dia tak pingsan.
"Bos, maaf ya tadi saya mengobrol sebentar dengan mas Heru," jelas Melati.
"Buka telingamu lebar-lebar, dengarkan apa yang akan aku katakan!" bentak Dewa.
"Iya, Bos." Melati menundukkan kepalanya sebagai rasa hormatnya pada sang bos.
"Mau bagaimana dan apa alasannya pernikahan kita, tetap saja Kau sudah menjadi istriku. Aku harap Kau bisa menjaga attitude di manapun, termasuk kantor. Apa kau paham?"
"Paham," jawab Melati.
Melati memperhatikan wajah suaminya. Ia masih tak percaya sekarang statusnya adalah seorang istri, apalagi suaminya adalah pengusaha berwajah tampan dan menjadi idola para wanita. Ia merasa beruntung menjadi wanita yang bisa ada di samping Dewa.
Kegiatan di kantor pun berjalan normal seperti biasa, tanpa ada yang curiga dengan pernikahan tersembunyi Melati dan sang bos.
Jam kantor pun berakhir, Dewa memutuskan pulang terlebih dahulu. Sementara Melati seperti biasa menyelesaikan beberapa tugas yang diberikan Dewa padanya.
"Melati!" panggil Rara sambil berlari menghampiri sahabatnya itu.
"Rara!" Melati melambaikan tangannya agar Rara dapat melihatnya.
"Jalan apa naik jet sih, Mel?" Rara tampak ngos-ngosan karena berlari mengejar Melati.
"Yang kamu lihat apa?" Melati malah balik bertanya.
"Melati aku mau bertanya jawab yang jujur ya?"
"Apa?" Melati memutar bola matanya.
"Kemarin aku ke rumah mu dan tetanggamu bilang salah satu gadis di rumah itu sedang menikah. Apa itu yang membuatmu tak berangkat?" cecar Rara.
"Apaan sih, Ra?" Melati mencoba menyembunyikan kebenarannya.
"Mel, aku ini sahabatmu bukan mulai sekarang tapi dari dulu. Kamu beneran tidak mau jujur?" Rara semakin mendesak Melati.
"Lihatlah wajahmu, Kau paling tak pandai berbohong," imbuh Rara.
"Dasar menyebalkan!" umpat Melati.
"Mau jujur, atau aku yang akan menebak?"
Rara membeli pilihan yang sulit pada Melati.
Melati menghela nafas panjang, ya mau seperti apa dia menyembunyikan sesuatu dari Rara, pasti wanita itu akan tahu juga. Bahkan Rara juga salah satu orang yang tahu semua tentang Melati.
"Iya," ucap Melati.
"Jadi benar Kamu yang menikah?" Suara Rara membuat beberapa karyawan lain yang belum pulang menoleh pada mereka.
Melati pun menutup kikut Rara dengan tangannya karena ia takut semua akan tahu kebenarannya.
"Itu mulut apa toa?" gerutu Melati yang jengkel karena Rara berbicara dengan nada tinggi.
"Iya, maaf. Aku terlalu terkejut," bela Rara.
"Siapa dia?" rengek Rara.
"Bos kita," jawab Melati.
"Melati jangan bercanda!" seru Rara.
"Aku tidak bercanda," bisik Melati.
Rara hanya bisa melongo mendengar kabar mengejutkan ini. Ia masih tak percaya, tapi melihat sikap Dewa tadi membuat dia sedikit percaya.
"Apa yang membuat kalian menikah?" tanya Rara lagi.
"Tuan Adam yang memintanya, jadi kami tidak bisa menolak," jelas Melati.
"Apa Kau bisa bertahan dengan pernikahan ini? Kau tahu sendiri siapa bos kita." Rara terlihat takut jika sahabatnya itu hanya akan dimanfaatkan saja.
Ponsel Melati terus berbunyi, membuat acara curhat mereka terganggu. Melati melihat siapa yang menghubunginya?
"Tante?"
Bersambung.
"Siapa, Mel” tanya Rara.“Tante,” jawab Melati sambil mengangkat panggilan itu.“Melati Kau tak lupa hari ini ‘kan?” Ratna mengingatkan Melati akan sesuatu.“Ya, aku akan segera mentransfer uang yang, Tante butuhkan,” jawab Melati.Melati mentransfer sejumlah uang yang ia miliki ke Ratna. Hal ini sudah terjadi semenjak Melati bekerja, padahal ia tahu selama ini Ratna mengasuh dan membesarkannya dengan uang kedua orang tuanya, bukan uang milik tantenya. Ia mengetahui semua itu saat pengacara ayahnya memberitahunya.“Kenapa tantemu tak pernah berubah?” tanya Rara yang geram karena sudah bisa menebak alasan Ratna menghubungi Melati.“Sulit untuk ia berubah,” jawab Melati.“Harusnya Kau minta bantuan bos, agar tantemu tak mengganggu lagi,” saran Rara.“Kau pikir aku siapa? Kami hanya menikah pura-pura,” jelas Melati.“Jadi, apa ada malam pertama?” tanya Rara yang sangat penasaran.Melati melirik tajam ke arah sahabatnya itu, bagaimana bisa memilih malam pertama menjadi pertanyaan? Dia saj
"Aku akan menjamin hidup dan keluargamu, asalkan mau menikah dengan putraku.”Kata-kata itu menghantam kesadaran Melati seperti badai yang tiba-tiba menerjang di siang hari yang tenang. Matanya melebar, keningnya berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menatap pria di hadapannya, Tuan Adam, bos besar di perusahaan ini, yang kini duduk dengan sikap penuh wibawa di balik meja kerjanya yang besar dan mewah."Maaf, Tuan." Suara Melati terdengar ragu. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang salah. Mungkin dia salah dengar. Namun tatapan tajam pria tua itu membuktikan bahwa ucapannya bukanlah gurauan. Tidak ada cengiran, tidak ada tanda-tanda bahwa ini hanya percakapan biasa antara seorang CEO dan pegawai rendahan seperti dirinya.Tuan Adam, pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di beberapa bagian, memiliki reputasi yang tak terbantahkan di kalangan pebisnis. Semua orang tahu, dia adalah pria pekerja keras yang tidak mudah dipengaruhi emosi. Namun, saat ini, tawaran
"Kita harus berdiskusi tentang pernikahan dadakan sekaligus palsu ini," jelas Dewa."Diskusi?" Melati mengerutkan keningnya karena kebingungan."Jujur aku tak mau menikah dengan wanita jelek sepertimu. Kekasihku saja cantik-cantik. Tapi, ayah mengancam ku akan menghapus namaku dari warisannya dan ini juga demi mama," jelas Dewa."Lalu?" Melati masih belum paham maksud Dewa."Aku sudah membuat surat perjanjian pra nikah untuk kita." Dewa memberikan sebuah kertas yang sudah ia isi."Apa ini?"Melati membelalakan matanya saat membaca isi dari perjanjian pra nikah itu.Perjanjian pra nikah.1. Bersikap layaknya suami istri pada umumnya di depan orang tuaku.2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.3. Tak ada malam pertama dan seterusnya. Tapi jika aku khilaf, tolong dimaklumi."Perjanjian macam apa ini, kenapa poin ketiga seperti ini?" Protes Melati."Ya, aku lelaki normal jika suatu saat aku khilaf mau bagaimana lagi," dalih Dewa."Ini tidak adil! Ini namanya mau menang sendiri, t
"Tidak ada masalah, Ma," jawab Dewa.Dengan wajah masam Dewa melakukan itu dengan sangat terpaksa, ia juga menutup matanya karena tak mau melihat wajah istrinya yang jelek.Pengantin baru itu menyalami beberapa tamu yang hadir. Melati sedikit ketakutan saat Randi datang dan mendekat ke arahnya."Melati selamat ya, Sayang. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah." Randi pun memeluk keponakannya dan mengucapkan selamat."Terimakasih, Om," ucap Melati yang terlihat tak nyaman dalam posisi itu.Ratna dan Laura pun ikut mengucapkan selamat pada Melati. Meski dalam hati ia sangat iri."Melati, Kau pakai susuk apa? Bisa-bisanya mendapatkan target sehebat ini dengan wajah dan penampilanmu yang jauh dari kata sempurna," bisik Laura."Itu rahasia Allah, Laura. Aku hanya menjalankan skenario Allah," jawab Melati dengan bijak."Kau sangat menyebalkan, aku doakan semoga rumah tanggamu tak akan lama!" umpat Laura."Jika itu terjadi, itu bukan karena doamu. Tapi itu karena Allah ya
Melati kembali menggeleng, ia masih tak ingin mengatakan siapa lelaki brengsek yang sudah membuat dunianya hancur."Melati, katakan atau aku akan melakukannya!" ancam Dewa lagi."Om Randi!" teriak Melati sebelum Dewa melepaskan kaos yang ia pakai.Suasana pun seketika hening, Dewa tak menyangka jika lelaki brengsek itu justru orang terdekat Melati."Brengsek!" Dewa mengepalkan tangannya karena tak bisa membayangkan betapa sadisnya lelaki itu menghancurkan hidup Melati waktu itu.Sementara Melati menutup tubuhnya dengan selimut, ia takut jika Dewa akan melakukan hal yang pernah dilakukan Randi padanya."Minumlah." Dewa menyodorkan segelas air putih agar Melati sedikit tentang."Terima kasih," ucap Melati sambil menerima gelas itu."Kapan ini terjadi?" Dewa kembali bertanya."Beberapa tahun yang lalu, saat aku berusia tujuh belas tahun," jawab Melati."Kenapa Kau diam dan tidak melaporkan ini pada Tantemu?""Sudah, tapi Tante mengira akulah yang menggoda suaminya. Bahkan Tante dan Laura