"Kita harus berdiskusi tentang pernikahan dadakan sekaligus palsu ini," jelas Dewa.
"Diskusi?" Melati mengerutkan keningnya karena kebingungan.
"Jujur aku tak mau menikah dengan wanita jelek sepertimu. Kekasihku saja cantik-cantik. Tapi, ayah mengancam ku akan menghapus namaku dari warisannya dan ini juga demi mama," jelas Dewa.
"Lalu?" Melati masih belum paham maksud Dewa.
"Aku sudah membuat surat perjanjian pra nikah untuk kita." Dewa memberikan sebuah kertas yang sudah ia isi.
"Apa ini?"
Melati membelalakan matanya saat membaca isi dari perjanjian pra nikah itu.
Perjanjian pra nikah.
1. Bersikap layaknya suami istri pada umumnya di depan orang tuaku.
2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.
3. Tak ada malam pertama dan seterusnya. Tapi jika aku khilaf, tolong dimaklumi.
"Perjanjian macam apa ini, kenapa poin ketiga seperti ini?" Protes Melati.
"Ya, aku lelaki normal jika suatu saat aku khilaf mau bagaimana lagi," dalih Dewa.
"Ini tidak adil! Ini namanya mau menang sendiri, tak ada jaminan jika terjadi sesuatu padaku!" Melati kembali protes karena poin keempat hanya menguntungkan Adam.
"Tenanglah, jika aku melanggar aturan ini. Kita tambahkan poin saja, bagaimana?" tawar Dewa.
Melati terdiam cukup lama sambil memikirkan menyetujui atau tidak perjanjian gila itu.
"Poin ke empat adalah. Jika pihak lelaki melanggar perjanjian ini dan si wanita hamil maka perjanjian pra nikah ini batal. Pihak lelaki akan tanggung jawab," ucap Dewa.
"Bagus, jadi aku tidak takut lagi jika kau melanggar." Melati sangat lega karena poin ke empat menguntungkan dia.
"Jadi Kau setuju?" Dewa memastikan.
"Oke, aku setuju," jawab Melati.
Melati pun menyetujui perjanjian itu dan segera menandatangani perjanjian itu.
Karena dia tak mungkin mau menolak permintaan tuan Adam. Dia sudah terlanjur banyak berhutang budi padanya.
"Oke, deal!" Dewa mengulurkan tangannya.
"Deal!" Melati menjabat tangan dewa, menandakan jika perjanjian pra nikah itu sah.
"Siang ini ikut aku menemui mama," pinta Dewa.
"Oke," jawab Melati sambil berlalu pergi.
Jam makan siang pun tiba, Dewa membawa Melati untuk menemui ibunya di rumah.
"Bos, apa yang harus saya katakan pada ibumu?" tanya Melati takut salah bicara nanti.
"Jawab pakai logika. Jelas semua yang mama tanyakan mengenai hubungan kita. Bilang saja kita sudah berhubungan satu tahun yang lalu, selebihnya pakai logikamu," jelas Dewa.
Melati hanya mengangguk mendengar Dewa menjelaskan semuanya. Ia kembali merapikan penampilannya sebelum turun dari mobil.
"Dasar jelek akan tetap jelek," ejek Dewa.
"Jelek begini sebentar lagi akan menjadi istrimu!" seru Melati.
Dewa hanya melirik tajam, kalimat Melati berhasil membungkam mulut pedas si bos Playboy itu.
"Assalamualaikum." Melati mengucapkan salam saat memasuki rumah calon suaminya
"Walaikumsalam," jawab Ria, ibu Dewa.
"Kamu Melati?"
"Iya, Tante," jawab Melati dengan senyum manisnya
"Wah, calon menantuku cantik juga," puji ibu Dewa.
"Cantik dari mananya, Ma?" protes Dewa dalam hati.
"Ayo masuk, Sayang!" ajak mama Ria.
Melati pun mengikutinya wanita paruh baya tapi masih terlihat muda dan cantik itu.
"Tante, ini saya bawakan kue." Melati menyerahkan paper bag berisi brownis kesukaan mama Ria.
"Terima kasih, Melati." Mama Ria menerima paper bag itu.
Mereka pun langsung duduk di meja makan, untuk menikmati makan siang. Melati pikir pertemuan pertamanya dengan calon mertua itu menakutkan. Tapi nyatanya ini diluar dugaan.
Mama Ria menyiapkan piring yang sudah diisi nasi, hanya lauknya yang belum. Ia memberikan piring itu pada Melati.
"Melati, ayo makan! Ambil apa yang Kamu sukai, atau Kamu tidak suka dengan masakan ini?"
"Bukan, Tante. Melati suka," kilah Melati.
"Mana bisa aku tak suka Tante, ini pertama kalinya setelah mama meninggal aku melihat makanan sebanyak ini," batin Melati.
Mama Ria dan Melati pun terlihat sangat akrab, meski ini adalah kali pertama mereka bertemu. Bagi Melati, mama Ria seperti ibunya. Wanita itu ceria dan membuat Melati sangat nyaman.
"Ma, sudah sore Dewa antar Melati pulang dulu," pamit Dewa.
"Sebenarnya mama masih ingin ngobrol banyak, tapi ya sudahlah nanti juga kita bisa ngobrol lagi ya, Melati? Setelah kalian menikah mama ingin kalian tetap tinggal si sini," pinta mama Ria.
"Itu pasti, Ma. Siapapun yang menjadi istri Dewa harus mau tinggal di sini," ucap Dewa pada ibunya.
"Melati mau 'kan?" tanya mama Ria.
"Iya, Tante. Melati mau," jawab Melati.
"Terima kasih, Sayang." Mama Ria memeluk calon menantunya.
"Kami pergi dulu, Ma," pamit Dewa.
"Sampai bertemu lagi, Tante. Assalamualaikum," pamit Melati.
"Iya, Sayang. Walaikumsalam."
Sore itu, tuan Adam tiba di rumah Tante Melati,Tuan Adam datang dengan sopirnya dan Leo, asisten pribadi Dewa. Dengan membawa berbagai seserahan dan hadiah sebagai bagian dari lamaran formal. Melati, yang masih tampak bingung dan gelisah, berjalan di belakangnya, seolah-olah tubuhnya sedang dibawa oleh kekuatan lain yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
Di rumah kecil itu, tantenya, Bu Ratna dan sepupunya, Maya, sudah menunggu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Mereka telah mendengar bahwa ada tamu penting yang akan datang, tetapi belum tahu sepenuhnya maksud kedatangan mereka.
Saat mereka duduk di ruang tamu sederhana, suasana terasa canggung. Tuan Adam mulai membuka pembicaraan. "Bu Ratna terima kasih telah menerima kami hari ini. Saya datang dengan niat baik. Saya ingin melamar salah satu putri dari keluarga ini untuk anak saya, Dewa."
Bu Ratna terperangah mendengar kalimat itu, dan sekilas, Melati bisa melihat kebingungan di wajah tantenya. Ratna lalu melirik Maya, yang duduk dengan wajah bersemu merah, seakan yakin bahwa lamaran ini ditujukan untuknya.
"Lamaran untuk siapa, Tuan Adam?" tanya Bu Ratna dengan hati-hati.
Tuan Adam mengerutkan kening, bingung dengan respons itu. "Tentu untuk Melati,"
Bu Ratna tampak semakin kebingungan. Ia melirik lagi ke arah Maya, lalu ke Melati, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa, Anda tidak salah, dia bukan seseorang yang ... yang mungkin dilirik oleh anak seorang pebisnis besar seperti Dewa."
Wajah Melati memucat, sementara Maya tampak semakin bingung. Ia jelas berharap bahwa Dewa akan melamarnya, bukan sepupunya. Terlebih lagi, Maya memang seringkali merasa dirinya lebih menarik dan berhak dibandingkan Melati.
Namun, Tuan Adam tetap pada pendiriannya. "Bu Ratna, saya datang ke sini untuk Melati. Saya tahu, mungkin ini mengejutkan, tapi saya percaya bahwa Melati adalah pilihan yang tepat untuk putra saya."
Maya menelan ludah, matanya berkaca-kaca, merasa terluka dan tersinggung. Sementara itu, Bu Ratna mencoba mencerna situasi yang terasa sangat canggung ini. "Tuan Adam ... Apakah Anda yakin? Maksud saya, Maya lebih pantas. Dia lebih cantik, lebih ... sesuai dengan dunia kalian."
Tuan Adam tersenyum tipis, namun tatapannya tegas. "Kecantikan luar tidak selalu menjadi dasar untuk keputusan besar seperti ini. Yang saya butuhkan adalah seseorang yang bisa menjaga putra saya, yang bisa memberinya ketulusan. Saya percaya Melati bisa memberikan itu."
Melati terdiam, merasa seperti batu besar menghantam dadanya. Tak ada yang bisa ia lakukan, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya untuk membela dirinya atau bahkan menolak. Ia tahu, kata-kata Tuan Adam sudah final.
Bu Ratna akhirnya hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya masih ada banyak keraguan. Maya, di sisi lain, tampak semakin kesal. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa lamaran ini bukan untuknya, dan perasaannya terhadap Melati berubah menjadi rasa iri yang mendalam.
"Pakai pelet apa kamu?" tanya Maya dengan nada sinis ketika tuan Adam dan rombongan pergi meninggalkan rumah Ratna.
"Tidak pakai apa-apa," jawab Melati.
"Mana mungkin seorang anak pengusaha yang dikenal playboy tiba-tiba melamar si jelek?" cibir Maya. "Pasti, kau melakukan sesuatu, atau kau menjebaknya?"
"Maya, demi Allah aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan. Ini semua permintaan Tuan Adam," jelas Melati.
Ratna dan Maya tak mau mendengar penjelasan Melati, mereka tetap melempar tatapan tajam pada Melati.
Waktu pun berjalan dengan cepat, kini tiba saatnya pernikahan yang tak diinginkan Dewa dan Melati dilangsungkan.
"Dewa, apa Kau sudah siap?" tanya tuan Adam saat mengecek ruang ganti.
"Sudah, Pa," jawab Dewa.
Pernikahan pun dilangsungkan di sebuah hotel mewah dan dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat saja karena ini pernikahan dadakan.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Sekar Melati binti almarhum Arya Dewanto dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai," ucap Dewa dengan susah payah.
"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu pada para saksi.
"Sah!" seru para saksi.
Senyum semua orang pun mengembang, terutama ayah dan ibu Dewa di hari bahagia ini.
"Pa, akhirnya Dewa menikah juga ya? Mama sangat bahagia," ucap mama Ria penuh haru.
"Iya, Ma. Semoga setelah menikah kelakuan Dewa semakin membaik. Semoga saja Melati juga mampu membuat putra kita sadar."
"Amin," gumam mama Ria.
"Alhamdulillah, selamat untuk Sadewa Bramastyo. Anda sudah sah menjadi seorang suami, silakan panggil mempelai wanita," ucap penghulu.
Ratna pun menghampiri keponakannya. Meski dalam hati ia merasa iri pada keponakannya itu yang dapat dinikahi orang kaya. Harusnya Laura lah yang dinikahi Dewa bukan Melati.
"Melati, ayo keluar!" ajak Ratna.
"Iya, Tante." Melati berdiri dari duduknya.
Dengan perlahan Melati pun berjalan menuju tempat ijab kabul. Ia duduk di samping Dewa yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Melati terlihat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih yang melekat indah di tubuhnya. Meksi ia masih menutupi wajah aslinya, akan tetapi ia masih terlihat cantik dengan make up sederhana.
"Selamat ya Melati sekarang tandatangani ini dan tukar cincin," ucap penghulu.
Dewa dan Melati pun menandatangani beberapa berkas di depannya. Mereka pun saling tukar cincin dan berlanjut dengan Melati mencium punggung tangan Dewa.
"Cium kening," bisik Melati karena Dewa tak kunjung melakukannya.
Dewa hanya melotot pada wanita yang sudah saja menjadi istrinya itu. Rasanya ia ingin kabur dari pernikahan palsu ini, akan tetapi wajah bahagia sang ibu menahannya.
"Bos, cium!" perintah Melati lagi.
Namun, Dewa masih saja tak bergeming. Ia masih enggan melakukannya. Para tamu pun mulai memperhatikan sikap Dewa.
"Kenapa, Sayang?" tanya mama Ria.
Bersambung.