"Hati-hati jangan dekat-dekat, ya Bunda!" sahutku ketika Tika semakin dekat dengan kandang buaya. Sedangkan perawatnya sedang ke toilet saat ini. Gegas kucegah kursi roda yang akan mendekati kandang tersebut. "Untung Ayah segera menolong Bunda!" Faiz mengelus dadanya."Alhamdulillah," timpal Kia."Ayo Yah, kita foto Ayah sama Bunda."Kali ini Faiz mengambil ponselku, kemudian aku berdiri di samping kursi roda Tika. Tika memegangi lenganku seperti tingkah anak-anak pada umumnya."Sudah, Yah!" Faiz memberikan kembali ponselku.Kulihat hasil foto Faiz. Fotonya mengingatkanku masa di mana aku dan Tika sering foto bersama seperti ini dahulu."Yah! Ayo makan yuk! Faiz udah laper!" katanya. Kebetulan Perawat sudah datang, kami mencari tempat untuk makan bersama.Tika tak bisa makan sendiri, ia disuapi oleh perawat. Kali ini Faiz dan Kia juga membantu menyuapi bundanya. Tika senang saat disuapi kedua anaknya."Enak! Siapa yang masak?" tanyanya."Yang masak Nenek, Ibunya Bunda loh!" "Aduh, p
Yuni sudah boleh pulang dari rumah sakit. Ia sekarang sudah di rumah. Proses pengadilan bagi Cynthia dan anak buahnya terus berjalan.Aku pernah dipanggil sebagai saksi juga. Hakim bertanya tentang sikap Cynthia selama ini saat di rumah. Mereka bisa menelaah dari keseharian Cynthia.Tinggal menunggu putusan, Cynthia akan mendekam di penjara karena tindakan kek*rasan yang ia lakukan pada Yuni. Dilema saat mengikuti kasus ini karena resikonya Cynthia akan ditahan selama belasan tahun karena perbuatannya.Lalu, bagaimana dengan Andhini? Ya, aku belum tau kabar tentang anakku tersebut. Kucoba menelepon bapaknya Cynthia. "Halo, Pak. Maafkan aku tak bisa mendampingi Bapak jaga Andhini lagi. Tak usah risau biaya rumah sakit Andhini, ya, Pak," sahutku. Memang beberapa hari ini aku sudah masuk kerja setelah cuti beberapa hari kemarin."Tak apa, Nak Wahyu. Sekarang Andhini boleh pulang," katanya."Baiklah. Nanti akan saya hubungi pihak rumah sakit dan membayar semua biayanya," jawabku."Alham
"Hehe ... justru karena aku nggak mau ngerasa pedes. Jadi diminum sampai habis," jawabnya.Kia dan aku saling berpandangan, ternyata jawaban Faiz sama-sama membuat kami terheran-heran, lalu kami tertawa bersama.Saat kami sedang tertawa, tiba-tiba suara Yuni memanggilku."Mas, tolong! Teh Tika barusan kuberi donat dari Mas Wahyu. Karena perawatnya nggak ada, saat minta minum, aku tinggal sebentar. Pas aku kembali, Teh Tika keselek donat sepertinya. Cepat, Mas ke sebelah.""Astaghfirullah. Ya udah, ayo!"Kulihat keadaan Tika yang sulit bernapas dan ia ingin mengeluarkan yang menyangkut di kerongkongannya."Memangnya perawatnya kemana?""Dia sedang pulang. Nanti malam juga udah datang lagi," jawab Yuni.Kupukul-pukul leher belakangnya agar makanan itu keluar. Yuni pun sudah memberikan minum, tapi Tika tak bisa minum banyak. Malah air itu banyak keluar lagi dari mulutnya.Setelah usaha keras, keluarlah makanan yang membuat Tika tersedak. Aku mengelus dada, dengan sigap Yuni memberi minum
Kia memeluk bundanya. Kali ini ia mengingat Kia. Kami semua hanya diam memperhatikannya."Bunda udah inget aku?" Kia senang dan berkata dalam pelukannya.Namun Tika masih diam ia senang dipeluk Kia, tapi tak lama Tika kesakitan. Kia melepaskan pelukannya."Inget. Saat daftar sekolah," katanya pelan.Kia mengerutkan keningnya. Ia harus mengingat saat mendaftar sekolah. Kia ingat saat mendaftar sekolah, ia dan bundanya yang ke sekolah."Iya, waktu daftar aku panggil-panggil Bunda karena waktu itu Bunda ilang," katanya.Ya, aku juga ingat. Saat itu Kia sempat trauma ke sekolah karena ditinggal bundanya saat pertama ke sekolah.Tak lama, Tika pingsan. Kali ini kuambil Kia agar jangan duduk di pangkuan bundanya. Perawat segera menidurkan Tika dan memeriksa serta berusaha menyadarkannya.Anak-anak khawatir, aku mengajak mereka keluar dan berusaha menghibur mereka."Kalian tenang ya! Insya Allah Bunda akan sehat lagi. Sekarang kalian main dulu saja," ucapku."Iya, Yah.""Kita ke rumah aja ya
Pemakaman berlangsung lancar dan cuaca mendukung. Anak-anak dan Yuni menangis terus sehingga aku harus menghentikan mereka. Bapak dan Ibu yang membawa Yuni ke kamarnya untuk ditenangkan."Sudah ya, sekarang Bunda udah nggak sakit. Kia dan Faiz masih punya Ayah yang sayang banget dengan kalian.""Iya, Yah." Faiz menyeka air matanya. Kemudian ibu memberi mereka minum teh manis hangat agar mereka lebih tenang."Nak Wahyu juga minum, silahkan!" sahut Ibu. Beliau melirik Kia yang sepertinya sudah mengantuk. "Kia bobo sama Nenek yuk!" Kia mengangguk, ia dan Faiz ikut neneknya. Mereka harus istirahat."Nak Wahyu, makan dulu yuk!" ajak Bapak.Aku ikut saja walau perut tak lapar. "Bu, anak-anak nanti diajak makan juga ya!" pintaku."Iya, sekarang biar istirahat sebentar ya Nak Wahyu! Tadi mereka udah makan roti kok. Tinggal makan nasi yang belum," sahut Ibu."Baiklah, Bu. Terima kasih."Seusai makan, aku diminta istirahat juga oleh Bapak. Katanya kasian karena aku yang paling banyak tak isti
"Ayah belum berpikir untuk menikah lagi, Sayang," sahutku.Kia mencebik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Tapi aku kasian sama Ayah. Aku nggak mau kalau Ayah nanti nikah lagi, tapi sama orang lain," jelas Kia. Ia bicara seolah orang dewasa yang menasehati anaknya."Hush ... kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta Ayah nikah lagi? Kasian kan Ayah masih sedih," timpal Faiz."Kasian Ayah. Aku juga pengen punya Bunda kayak bundaku," terang Kia.Aku melirik mereka, mereka pun diam."Iya, nanti Ayah pikirkan lagi ya! Kalian tenang saja, kalau Allah sudah menakdirkan, insya Allah bisa berjodoh. Tapi, nggak mungkin Tante Yuni mau sama Ayah. Kan Ayah udab tua." Aku terbahak karena memang aku sudah tua, berbeda dengan Yuni yang masih muda dan masa depan yang cerah."Ah, Ayah payah deh!" kata Kia. Kia tak mau memandang padaku, ia memandang ke arah jendela, pandangannya jauh ke samping jendela.Aku hanya tersenyum mendengar tanggapan anak perempuanku itu. Pemikirannya benar-benar diluar predik
Kia benar-benar mencecar kami. Terlihat wajah Yuni yang bersemu karena malu. Aku pun jadi tak enak dengannya atas ulah anakku.Yuni tak menjawab pernyataan Kia. Ia mohon diri untuk ke kamarnya. Aku mengizinkannya karena memang kasihan juga dicecar oleh Kia."Kia, udah ya! Nggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Kasian Tante Yuni," sahutku sambil membawanya pulang.Kubiarkan Yuni beristirahat karena ia butuh waktu untuk sendiri.***Kia benar-benar menginginkan pernikahan antara aku dan Yuni. Saat ini Kia sedang demam. Ia bergumam terus agar Yuni menjadi bundanya.Faiz juga akhirnya mendesakku untuk menikahi Yuni. Hingga akhirnya aku menghubungi Bapak di kampung, meminta izin padanya untuk menikahi Yuni."Pak, mohon maaf mendadak menelepon Bapak.""Ada apa Nak Wahyu?" tanya Bapak dengan nada khawatir."Kia sedang sakit tiga hari ini. Sebenarnya sudah sepekan ini, Kia memintaku untuk menikahi Yuni. Kalau Bapak tak keberatan, insya Allah aku berniat menikahinya." Akhirnya kuungkapkan juga ke
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber