Aku dan Desti saling berpandangan sementara Hana menatapku tanpa berkedip menunggu jawaban, baiklah aku tahu apa yang harus dilakukan."Ya sudah tinggallah di sini." Aku mengukir senyum palsu."Terima kasih, Mbak, hanya Mbak saudara yang kupunya, Mas Ferdi orangnya serakah dia juga bilang kemarin akan jual rumah ibu untuk buka usaha, aku kesal padanya." Wajah Hana langsung merenggut.Entah cerita itu benar atau tidak aku hanya bisa mengangguk mengiyakan, lagi pula sejak dulu Hana tak pernah akrab dengan Susan, jadi tidak mungkin ia mau tinggal satu rumah dengan wanita itu."Aku janji tinggal di sini bakal bantu Mbak, dan Mbak jangan khawatir aku akan secepatnya cari pekerjaan."Aku mengangguk tapi Desti memberi kode dengan mencubit pelan pahaku, aku menatapnya sambil mengedipkan mata perlahan."Oh ya, apa Mbak menyukai kopi buatanku barusan? Itu racikan yang baru kupelajari loh.""Kopimu enak sekali, besok pagi buatkan satu cangkir lagi untukku ya." Wanita itu tersenyum lebar."Baikla
"Mbak, aku minta maaf, aku disuruh Mas Ferdi, sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini sama Mbak," pinta Hana dengan memelas."Oh ya? Apa ucapanmu bisa dipercaya, Hana?" tanyaku dengan tatapan tajam."Aku mohon jangan laporkan aku ke polisi ya, lagipula Mbak masih dalam keadaan sehat 'kan sekarang."Raut wajah Hana terlihat sangat ketakutan, wajahnya berkeringat serta jemari yang terus bergetar."Kalau benar kamu disuruh Mas Ferdi melenyapkanku lalu kenapa kamu ketakutan seperti itu hem? 'kan yang akan dihukum pasti kakakmu itu, bukan kamu," balasku."Ya tapi tetap saja aku takut berhubungan dengan polisi, Mbak, aku minta maaf ya setelah ini aku janji ga bakalan nurutin keinginan dia lagi, biarlah aku hidup sendiri tanpa saudara," ujarnya masih memelas.Aku muak melihat air matanya yang entah tulus atau tidak."Pergilah dari rumah ini dan katakan pada kakakmu kalau rencananya gagal total, dan katakan juga padanya agar berpikir ulang untuk mencelakaiku.""Iya, Mbak, iya. Terima kasih s
Aku menggelengkan kepala."Sampai saat ini belum ada perkembangan apapun, Dre.""Lalu bagaimana dengan restoranmu yang ada di kabupaten?" tanya Andre lagi."Alhamdulillah sampai saat ini tidak ada masalah.""Baguslah. Kamu harus kuat, Yul, dan jangan lengah. Aku akan bantu kamu dalam hal apapun, jangan sungkan meminta pertolongan."Aku mengangguk merasa terharu di saat terpuruk seperti ini masih ada yang namanya teman untuk menolong dan membantu.*Malam ini aku membawa ponsel Hana yang tertinggal di kamar ke sebuah konter, aku tak bisa membukanya karena dikunci menggunakan kata sandi.Setelah membayar seratus lima puluh ribu ponsel itu bisa kembali terbuka, dan setelah sampai di rumah aku langsung mengecek setiap aplikasi perpesanan termasuk aplikasi hijau.Hanya berisi pesan dari beberapa teman Hana dan juga mertuanya, tak ada pesan yang masuk dari Mas Ferdi, mungkin sebelumnya perempuan itu sudah menghapusnya terlebih dulu, kali ini aku tak mendapat bukti apapun dari ponsel Hana.D
Aku merasa lega, tetapi masih ada yang mengganjal di hati mengingat Dita dan Dara ada bersama Mas Ferdi.Kuhirup napas dan mengembuskannya perlahan dengan mata terpejam, terus melakukan itu berkali-kali hingga hati ini kembali tenang.Aku harus menyelesaikan semua masalah ini dengan tenang, tanpa emosi apalagi grasak-grusuk, dan yang utama aku harus menyelesaikannya satu persatu."Halo, Andre, penyidik menelpon barusan katanya orang berbaju hitam yang keluar dari restoranku sebelum kebakaran itu sudah tertangkap.""Benarkah? Baiklah, aku akan jemput kamu, kita ke sana sekarang.""Baik."Mematikan panggilan lalu bergegas menemui Desti di kamarnya, seperti biasa anak itu fokus membaca buku."Des, Mama akan ke kantor polisi dulu ya, kamu diam di rumah Mama akan kunci pintu dari luar, dan ingat jangan buka pintu untuk siapapun.""Apa pelaku yang membakar restoran sudah tertangkap?" tanyanya."Bisa jadi begitu. Oh ya, kamu telpon ayah lalu bicara dengan Dita dan Dara, bilang pada mereka un
"Kok rumahnya gelap gini ya?" tanya Andre sekaligus tanyaku juga.Tanpa bicara aku keluar dari mobil dan berjalan menuju teras rumah yang gelap itu, dalam keadaan temaram dapat kulihat sampah berserakan di halaman rumah ini.Beberapa kali mengetuk tapi pintu kayu jati itu tak kunjung terbuka, aku melirik ke samping ternyata Andre ikutan turun."Sepertinya Mas Ferdi tidak ada di rumah, Dre. Kita datangi klub malamnya sekarang.""Ya sudah.""Coba telpon Desti, apakah dia baik-baik saja? Mungkin juga Dita dan Dara sudah di rumah saat ini," titah Andre.Aku langsung merogoh ponsel dari dalam tas, dan bergegas menelpon Desti."Iya, Ma.""Apa Kakak baik-baik aja di rumah?" tanyaku."Iya aku baik-baik saja.""Terus adik-adikmu sudah pada pulang belum?""Belum, Ma, aku sendirian di rumah."Aku mematikan panggilan dengan kesal, lalu berusaha mengatur napas yang terasa memburu, aku harus berpikir tenang menghadapi lelaki itu."Kamu tunggu saja di dalam, Dre, biar aku masuk sendirian.""Kamu yak
"Maaa!"Aku berbalik badan lalu menatap Mas Ferdi dengan tajam sambil menodongkan pisau kembali ke arahnya, rasanya seperti dilemparkan kotoran ke wajah oleh lelaki itu, berani-beraninya ia mempermainkanku."Cepat keluarkan anakku dari dalam kamar itu!" tegasku."Mamaa! Apa itu Mama?!" teriak Dita.Setelah itu terdengar orang berdebat di salah satu kamar tersebut dan aku kenal itu suara Susan."Iya, Nak, ini Mama, ayok kita pulang!" teriakku."Susan! Jangan biarkan Dita dan Dara keluar!" teriak Mas Ferdi membuat emosiku meledak.Aku melangkah dengan cepat ke pintu kamar itu, saat Mas Ferdi berusaha menghalang-halangi, kembali kutodongkan pisau ini ke hadapannya."Aku tidak main-main, Mas, jika kamu menyerangku maka aku akan balik menyerangmu saat ini juga!" Mas Ferdi langsung diam dengan tatapan jengkel. Entahlah, rasa takutku seakan menguap saat ini jika menyangkut anak-anak."Dita! Dara! Cepat keluar!" Aku menggedor-gedor pintu.Di dalam kamar itu terjadi keributan yang membuatku s
Dua Minggu kemudian perkembangan kasus kebakaran restoranku masih belum ada perubahan, aku merasa kasus ini berjalan sangat lambat.Tiba-tiba nomor asing menelpon, padahal aku sedang di perjalanan menuju restoran cabang yang ada di kabupaten."Ya halo.""Yul, ini aku Ferdi, aku ingin bicara empat mata denganmu, bisakah kita bertemu sekarang, kamu yang tentukan tempatnya."Aku memelankan laju mobil, merasa heran dengan suara Mas Ferdi yang tiba-tiba berubah lembut."Aku lagi bepergian dan lumayan jauh, bicarakan saja sekarang.""Memangnya kamu mau ke mana sih?" tanya Mas Ferdi."Bukan urusanmu, sudah ya.""Tunggu, tunggu. Tunggu Yuli!" teriaknya membuatku berdecak kesal.Terpaksa aku menepikan mobil demi berbicara dengannya."Ada apa lagi sih?""Yuli, aku mohon dengan kerendahan hati untuk membagi dua uang asuransi restoran itu, dan setelah ini aku janji ga akan mengusik hidupmu lagi, kita akan bercerai baik-baik," pintanya dengan suara memelas.Aku tertawa hingga wajah ini menengadah,
"Katakan padaku sekarang, di rumah sakit mana Desti berada?" tanyaku dengan suara bergetar."Nanti akan kuberitahu, tapi barusan gurunya menelpon agar salah satu orang tua Desti menemuinya di sekolah, biarkan aku menyusul ke rumah sakit sementara kamu temui gurunya di sekolah, aku malas dan juga malu sekali dengan tingkah anak itu."Mas Ferdi mematikan panggilan padahal aku masih ingin berbicara dengannya, terpaksa aku mengikuti maunya, menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh menuju sekolah Desti.Setelah sampai aku menutup pintu mobil dengan terburu-buru dan berlari kencang menuju kantor sekolah ini, suasana koridor sekolah ini nampak sepi mungkin semua murid sudah selesai beristirahat dan kembali ke kelasnya masing-masing."Desti bertengkar di kantin sekolah, Bu, menurut informasi dari teman-temannya dia yang duluan pakai kekerasan, ya memang sih awalnya Mita yang mengejek Desti, mungkin Desti terpancing emosi, dia menyerang Mita pakai garpu, Mita melawan dan akhirnya mereka sali
Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-
Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se
"Aku sudah bicara dengan Haikal, dia bersedia jadi supir anak-anakmu, Yul," ujar AndreSedikit tak percaya dengan apa yang diucapkannya, karena kulihat Haikal adalah lelaki gagah dan masih muda, bahkan terakhir kudengar ia memiliki pekerjaan."Masa sih dia mau, Dre, bukankah dia memiliki pekerjaan?" tanyaku."Ya dia mau, karena dia tak hanya mendapatkan gaji darimu tapi dariku juga, lalu dia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda sambil bekerja," jawab Andre."Memangnya anak itu putus kuliah?""Ya, semenjak keadaan ekonomi kakakku melemah, Haikal memilih berhenti kuliah dan membantu orang tuanya mencari nafkah.""Oh begitu, tapi kamu tak perlu ikut-ikutan menggajinya, Dre, aku sanggup kok memberikan gaji yang besar untuknya."Aku merasa tak enak saja pada Andre, sudah mobil ia yang carikan bahkan ia ikut andil dalam pembelian mobil ini, Andre terlalu banyak membantu kehidupanku, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya."Ga apa-apa, Yul, itung-itung aku bantu dia s
(POV Susan)"Ya makanya dicoba dulu, dan ingat jika dia ke sini kamu harus memelas dan memohon, juga jangan coba-coba memancing amarahnya."Ia berdecak sambil memalingkan wajah, aku tahu ia paling anti kalah dengan mantan istrinya itu, tapi bagaimana lagi saat ini posisi kami memang lemah, tak memiliki jabatan dan juga uang, sementara Mbak Yuli memiliki segalanya, dengan uangnya itu ia bisa membeli nyawa dan hidup seseorang."Aku pulang dulu, Mas, semoga saja Mbak Yuli mau membebaskanmu."Tak ada kata yang terucap darinya sebelum kepergianku.Di depan rumah bercat abu tua ini aku berdiri, rumah minimalis dua lantai itu sudah banyak mengalami perubahan, Mbak Yuli sudah banyak merenovasi bagian-bagian tertentu hingga terlihat nyaman.Mengesampingkan rasa malu aku mengetuk pintu, semoga saja wanita itu masih ada di rumahnya pagi ini.Pintu rumah terbuka nampaklah Mbak Yuli dengan setelan kerjanya, mata kami sempat bersitatap dalam diam beberapa detik."Susan?"Aku mengukir senyum tipis d
(POV SUSAN)"Apa, Dokter? Perempuan lagi?" Dokter Lia itu tersenyum sambil menganggukkan kepala."Iya, Bu, semuanya normal ya, Ibu harus banyak gerak biar persalinannya lancar nanti."Aku tak percaya setelah beberapa kali melakukan USG ternyata benar bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan lagi.Entah bagaimana reaksi Mas Ferdi nanti jika tahu anak yang ia harapkan laki-laki ternyata lahir perempuan lagi."Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat, Bu," ujar Dokter Lia.Ia tak mengerti saja bagaimana keadaan rumah tanggaku, aku sangat takut Mas Ferdi tak tahan lalu pergi meninggalkan kami seperti dulu ia meninggalkan Mbak Yuli.Dulu saat si kembar masih kecil aku tak terlalu risau ditinggalkannya, karena aku merasa bisa mandiri, tetapi sekarang aku bergantung seratus persen padanya setelah mengandung anak ini dan tak lagi bekerja di club malam."Apa kamu bilang?! Perempuan lagi, bener ga itu hasilnya jangan-jangan salah lagi kayak yang udah-udah."Benar saja
(PoV Ferdi) Yuli sudah melapor maka lambat laun aku akan dipanggil polisi, sekarang keadaannya sudah berbeda, aku tak bisa menggunakan uang untuk membebaskan diri dari tuduhan seperti beberapa tahun silam.Aku mengacak rambut, kenapa hidup dengan Susan banyak sekali masalah, bahkan di usia pernikahan yang ketujuh masih juga belum mendapatkan kedamaian.*"Yang datang semalam siapa?" tanya Susan saat merapikan baju di kamar."Anak buah Vincen, mereka menghajarku semalam, mereka juga bilang kalau Vincen mecat aku."Susan menghentikan aktivitasnya, dengan mulut menganga ia menatapku."Kok menghajar kamu bukannya hutangmu sudah lunas? Terus sekarang kita gimana kalau kamu dipecat?"Susan memang mengetahui semua rencanaku pada Desti, dan dia mendukungnya, katanya yang penting hutang kami lunas dan beban kami hilang.Tak mudah untuk melakukan hal itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu agar mudah menyerahkan Desti pada Vincen."Yuli berhasil membawa kabur Desti sebelum anak i
(POV FERDI)Tengah malam pintu rumahku ada yang mengetuk beberapa kali, Susan terus saja menepuk pundakku menyuruh membuka pintu."Apaan sih ah, kamu aja sana yang buka!" Aku menepis kasar tangannya."Ya ampun, Mas! Aku tuh lagi hamil besar mau istirahat, aku capek ngurusin kedua anak kamu dari pagi, bisa ga sih ngertiin aku!" bentaknya.Sudah tujuh tahun kami membina rumah tangga ini, bukan semakin harmonis malah semakin sering cekcok setiap hari Setiap hari selalu saja ada hal yang membuat kami ribut, entah itu anak-anak, masalah keuangan dan yang lainnya.Sampai saat ini aku masih berharap anak yang ada di rahim Susan itu perempuan, aku melarang Susan bertanya soal jenis kelamin anak itu ketika di USG, aku takut saja jika bayi dalam perutnya itu perempuan lagi."Ya udah iya aku yang buka!" tegasku sambil menyibak selimut.Aku berjalan menghidupkan lampu menuju pintu, saat pintu terbuka nampaklah lima orang lelaki bertubuh tinggi besar, aku tahu dia anak buah Vincen.Vincen adalah
Pemuda bernama Haikal itu bersalaman denganku dan ibu, lalu kami masuk ke dalam.Setelah ganti baju aku menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu, termasuk keterlibatan Mas Ferdi dengan penculikan Desti.Jelas saja ibu dan Lira murka mendengar lelaki itu dalang dari masalah ini."Dasar laki berotak batu," ujar Lira."Ini ga bisa dibiarkan, Yul, si Ferdi itu harus dipenjara," ujar ibu."Iya sebaiknya kamu segera melapor ke polisi, Yul," ujar Andre "Baiklah, aku ambil hape dulu ya."Menelpon seorang penyidik yang menangani kasus penculikan Desti, mereka menyuruhku datang ke kantor siang ini dengan Desti untuk memberi keterangan."Gimana? Udah di telpon?" tanya Andre."Sudah, aku sama Desti disuruh ke kantor nantisiang.""Baiklah, aku pulang dulu ya, nanti siang aku kemari lagi nemenin kalian.""Terima kasih ya." Lagi-lagi hanya sebuah senyuman yang kuberikan untuk membalas jasanya.Jika Andre bukan orang kaya sudah pasti aku memberikan sejumlah uang besar padanya, tetapi tentu saja And
"Bagaimana ini?" tanyaku dengan napas terengah-engah menatap Andre "Mana pistolmu, Yul?"Aku langsung memberikan benda itu padanya dan entah apa yang ingin ia lakukan, lalu kaca mobil di sampingnya terbuka setengah, seorang lelaki langsung menodongkan pedang ke leher Andre."Serahkan harta berharga kalian!" tegas laki-laki yang mengenakan penutup kepala tersebut.Perlahan Andre mulai menodongkan pistol ke orang tersebut, dapat kulihat mata lelaki itu membeliak."Jangan halangi jalanku kalau tidak kepalamu akan pecah saat ini juga," ancam Andre.Lalu di belakang mobilku terdengar seorang berteriak lantang."Mundur! Mereka membawa pistol!"Hingga akhirnya segerombolan orang itu kembali mundur dan masuk kembali ke semak-semak, aku bernapas lega ternyata tidak ada pertumpahan darah lagi.Orang-orang itu ketakutan melihat senjata api di tangan Andre dan sepupunya di mobil belakang, jika pun melawan mereka sudah pasti kalah.Mobil kembali melaju membelah jalanan malam tanpa arah tujuan."M