Aku menggelengkan kepala."Sampai saat ini belum ada perkembangan apapun, Dre.""Lalu bagaimana dengan restoranmu yang ada di kabupaten?" tanya Andre lagi."Alhamdulillah sampai saat ini tidak ada masalah.""Baguslah. Kamu harus kuat, Yul, dan jangan lengah. Aku akan bantu kamu dalam hal apapun, jangan sungkan meminta pertolongan."Aku mengangguk merasa terharu di saat terpuruk seperti ini masih ada yang namanya teman untuk menolong dan membantu.*Malam ini aku membawa ponsel Hana yang tertinggal di kamar ke sebuah konter, aku tak bisa membukanya karena dikunci menggunakan kata sandi.Setelah membayar seratus lima puluh ribu ponsel itu bisa kembali terbuka, dan setelah sampai di rumah aku langsung mengecek setiap aplikasi perpesanan termasuk aplikasi hijau.Hanya berisi pesan dari beberapa teman Hana dan juga mertuanya, tak ada pesan yang masuk dari Mas Ferdi, mungkin sebelumnya perempuan itu sudah menghapusnya terlebih dulu, kali ini aku tak mendapat bukti apapun dari ponsel Hana.D
Aku merasa lega, tetapi masih ada yang mengganjal di hati mengingat Dita dan Dara ada bersama Mas Ferdi.Kuhirup napas dan mengembuskannya perlahan dengan mata terpejam, terus melakukan itu berkali-kali hingga hati ini kembali tenang.Aku harus menyelesaikan semua masalah ini dengan tenang, tanpa emosi apalagi grasak-grusuk, dan yang utama aku harus menyelesaikannya satu persatu."Halo, Andre, penyidik menelpon barusan katanya orang berbaju hitam yang keluar dari restoranku sebelum kebakaran itu sudah tertangkap.""Benarkah? Baiklah, aku akan jemput kamu, kita ke sana sekarang.""Baik."Mematikan panggilan lalu bergegas menemui Desti di kamarnya, seperti biasa anak itu fokus membaca buku."Des, Mama akan ke kantor polisi dulu ya, kamu diam di rumah Mama akan kunci pintu dari luar, dan ingat jangan buka pintu untuk siapapun.""Apa pelaku yang membakar restoran sudah tertangkap?" tanyanya."Bisa jadi begitu. Oh ya, kamu telpon ayah lalu bicara dengan Dita dan Dara, bilang pada mereka un
"Kok rumahnya gelap gini ya?" tanya Andre sekaligus tanyaku juga.Tanpa bicara aku keluar dari mobil dan berjalan menuju teras rumah yang gelap itu, dalam keadaan temaram dapat kulihat sampah berserakan di halaman rumah ini.Beberapa kali mengetuk tapi pintu kayu jati itu tak kunjung terbuka, aku melirik ke samping ternyata Andre ikutan turun."Sepertinya Mas Ferdi tidak ada di rumah, Dre. Kita datangi klub malamnya sekarang.""Ya sudah.""Coba telpon Desti, apakah dia baik-baik saja? Mungkin juga Dita dan Dara sudah di rumah saat ini," titah Andre.Aku langsung merogoh ponsel dari dalam tas, dan bergegas menelpon Desti."Iya, Ma.""Apa Kakak baik-baik aja di rumah?" tanyaku."Iya aku baik-baik saja.""Terus adik-adikmu sudah pada pulang belum?""Belum, Ma, aku sendirian di rumah."Aku mematikan panggilan dengan kesal, lalu berusaha mengatur napas yang terasa memburu, aku harus berpikir tenang menghadapi lelaki itu."Kamu tunggu saja di dalam, Dre, biar aku masuk sendirian.""Kamu yak
"Maaa!"Aku berbalik badan lalu menatap Mas Ferdi dengan tajam sambil menodongkan pisau kembali ke arahnya, rasanya seperti dilemparkan kotoran ke wajah oleh lelaki itu, berani-beraninya ia mempermainkanku."Cepat keluarkan anakku dari dalam kamar itu!" tegasku."Mamaa! Apa itu Mama?!" teriak Dita.Setelah itu terdengar orang berdebat di salah satu kamar tersebut dan aku kenal itu suara Susan."Iya, Nak, ini Mama, ayok kita pulang!" teriakku."Susan! Jangan biarkan Dita dan Dara keluar!" teriak Mas Ferdi membuat emosiku meledak.Aku melangkah dengan cepat ke pintu kamar itu, saat Mas Ferdi berusaha menghalang-halangi, kembali kutodongkan pisau ini ke hadapannya."Aku tidak main-main, Mas, jika kamu menyerangku maka aku akan balik menyerangmu saat ini juga!" Mas Ferdi langsung diam dengan tatapan jengkel. Entahlah, rasa takutku seakan menguap saat ini jika menyangkut anak-anak."Dita! Dara! Cepat keluar!" Aku menggedor-gedor pintu.Di dalam kamar itu terjadi keributan yang membuatku s
Dua Minggu kemudian perkembangan kasus kebakaran restoranku masih belum ada perubahan, aku merasa kasus ini berjalan sangat lambat.Tiba-tiba nomor asing menelpon, padahal aku sedang di perjalanan menuju restoran cabang yang ada di kabupaten."Ya halo.""Yul, ini aku Ferdi, aku ingin bicara empat mata denganmu, bisakah kita bertemu sekarang, kamu yang tentukan tempatnya."Aku memelankan laju mobil, merasa heran dengan suara Mas Ferdi yang tiba-tiba berubah lembut."Aku lagi bepergian dan lumayan jauh, bicarakan saja sekarang.""Memangnya kamu mau ke mana sih?" tanya Mas Ferdi."Bukan urusanmu, sudah ya.""Tunggu, tunggu. Tunggu Yuli!" teriaknya membuatku berdecak kesal.Terpaksa aku menepikan mobil demi berbicara dengannya."Ada apa lagi sih?""Yuli, aku mohon dengan kerendahan hati untuk membagi dua uang asuransi restoran itu, dan setelah ini aku janji ga akan mengusik hidupmu lagi, kita akan bercerai baik-baik," pintanya dengan suara memelas.Aku tertawa hingga wajah ini menengadah,
"Katakan padaku sekarang, di rumah sakit mana Desti berada?" tanyaku dengan suara bergetar."Nanti akan kuberitahu, tapi barusan gurunya menelpon agar salah satu orang tua Desti menemuinya di sekolah, biarkan aku menyusul ke rumah sakit sementara kamu temui gurunya di sekolah, aku malas dan juga malu sekali dengan tingkah anak itu."Mas Ferdi mematikan panggilan padahal aku masih ingin berbicara dengannya, terpaksa aku mengikuti maunya, menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh menuju sekolah Desti.Setelah sampai aku menutup pintu mobil dengan terburu-buru dan berlari kencang menuju kantor sekolah ini, suasana koridor sekolah ini nampak sepi mungkin semua murid sudah selesai beristirahat dan kembali ke kelasnya masing-masing."Desti bertengkar di kantin sekolah, Bu, menurut informasi dari teman-temannya dia yang duluan pakai kekerasan, ya memang sih awalnya Mita yang mengejek Desti, mungkin Desti terpancing emosi, dia menyerang Mita pakai garpu, Mita melawan dan akhirnya mereka sali
"Apa kamu sudah menemui gurunya Desti?" tanya Mas Ferdi.Tapi aku tak menjawab apalagi meliriknya, mataku fokus pada Desti yang sedang berbaring dengan raut kesedihan."Kak, gimana sekarang? Apa yang sakit?" tanyaku lembut dan tatapan yang tenang.Desti diam terpaku menatapku setelah itu air matanya luruh, beberapa detik kemudian ia sesenggukan hingga kedua bahunya terguncang.Aku memeluknya dengan erat, aku tahu mentalnya terguncang saat ini karena perlakuan temannya itu sekaligus kata-kata penghakiman dari Mas Ferdi.Lelaki itu memang tak berguna, ia tak pantas menjadi seorang ayah."Maafin Kakak," ujarnya disela Isak tangis."Mama maafkan kok, Sayang, sudah ga apa-apa ya." Kuelus rambutnya yang dililit perban.Entah luka apa saja yang ada di tubuh anak itu, yang jelas saat ini aku fokus pada kesehatan mentalnya."Pantesan tingkal laku Desti kaya preman, ternyata kamu yang manjain dia, Yul, udah tahu anak salah masih dibela, begini akibatnya!" bentak Mas Ferdi.Untuk kedua kalinya a
(POV FERDI)Di dalam mobil aku tercenung melihat Poto yang dikirimkan oleh Yuli, dari gestur tubuh aku sangat tahu itu adalah Susan dan Arya.Arya adalah temanku sekaligus pemilik club malam yang kami kelola saat ini, sebelumnya Susan memang izin padaku untuk pergi bersama temannya ke daerah Bogor.Namun, istriku itu tak mengatakan jika ia akan pergi atau menemui Arya di sana, hatiku sangat gelisah sekarang, terlebih nomor ponsel Susan tak bisa dihubungi."Halo, Yuli, kamu dapat Poto itu dari siapa sih?" tanyaku saat panggilan sudah tersambung.Tetapi di sebrang sana Yuli tak juga bicara, perempuan itu benar-benar menyebalkan."Yuli!""Haloo!" Aku pun mematikan panggilan lalu keluar dari mobil dan kembali ke ruangan Desti, Yuli pasti ada di sana saat ini.Tetapi di persimpangan jalan aku melihat Yuli berjalan menuju kantin rumah sakit, aku berjalan cepat menghampirinya."Yuli, tunggu."Ia menoleh sekilas lalu tetap melakukan langkah dan mengacuhkanku."Yuli!"Aku terpaksa menyentuh p