Bab 1
Mendadak, aku merasa sesak napas ketika melihat mobil Mas Doni—calon suamiku— terpampang dalam sebuah video yang tersebar di aplikasi F******k."Sepasang sejoli yang sedang indehoy, pingsan di dalam mobil."Begitu caption yang tertulis di unggahan tersebut.Dengan mata berkaca-kaca, kutelisik setiap detik video yang sedang diputar. Diposting sekitar satu jam yang lalu. Betapa sakit hati ini, bagai ditusuk beratus pisau belati. Tak kusangka belahan hati tega berbuat sehina ini.Mas Doni—lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku—sedang dalam keadaan lemas tak berdaya, mungkin tak sadarkan diri dalam sebuah mobil yang terparkir di tepi hutan kota. Bukan hanya kondisinya yang setengah bug*l membuat jantungku mau lepas, tapi wanita itu, wanita yang terkulai lemas di sampingnya adalah Rani—adik sepupuku—juga dalam kondisi yang sama.Mendidih darahku. Tercekat rasanya tenggorokanku. Ingin aku ke sana dan menghajar dua manusia yang tak punya rasa malu itu. Namun, aku tak ingin mempermalukan diriku di depan khalayak. Jika aku melakukan itu, wajahku akan terpampang dan ikut viral di media sosial bersama kedua manusia busuk itu. Orang-orang akan merendahkanku sebab memiliki calon suami yang amoral seperti itu.Sebulan yang lalu Rani kembali dari Jakarta. Sudah hampir satu tahun dia bekerja di sana, entah sebagai apa. Adik sepupu yang tak begitu dekat denganku itu, tiba-tiba saja pulang dan menawarkan diri untuk membantu mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Doni. Aku yang merasa kerepotan mengurus persiapan pernikahan sendirian, apalagi waktunya tinggal tiga minggu lagi, setuju saja dengan tawarannya. Sedikit pun aku tak menaruh curiga dengan apa yang dilakukan Rani.Beberapa kali Rani kuajak bertemu dengan Mas Doni, bahkan dia sempat kuajak ke rumah calon suamiku itu yang ada di desa tetangga."Mbak Fina beruntung sekali, ya. Mas Doni itu kaya, tampan pula. Aku juga pengen dapat suami kayak dia, Mbak," ucap Rani waktu itu. Aku senyum saja menanggapi kata-katanya.Memang, selain tampan, Mas Doni juga berasal dari keluarga berada. Ayahnya memiliki lima hektar ladang sawit dan lima buah kandang peternakan ayam yang menyebar di beberapa kampung. Bisa dibilang, mereka orang terkaya di wilayah sini. Banyak gadis yang tertarik dan ingin menjadi pacar Mas Doni. Tapi, Mas Doni memilihku jadi pacarnya.Walaupun kaya, Mas Doni tak pernah sombong. Dia selalu tampil bersahaja dan suka memberikan bantuan dana untuk kegiatan muda-mudi di kampung ini. Itu yang membuat aku menerima cintanya setahun yang lalu. Hubungan kami berjalan langgeng sebab keluarga Mas Doni tak memandang status calon menantu mereka. Cuma bapakku saja yang agak ragu dengan Mas Doni. Namun, akhirnya beliau juga menyetujui hubungan kamu. Tanpa rintangan yang berarti, akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah.Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan pada pintu kamar membuyarkan lamunanku."Fin ... Fina! Ini aku, Salsa. Buka pintu, Fin!"Terdengar suara Salsa—sahabat karibku—memanggilku di luar kamar. Pasti dia juga sudah menonton video viral itu.Kutarik napas dalam-dalam untuk membuat dadaku sedikit lega, lalu aku melangkah gontai menuju pintu kamar. Setelah pintu terbuka, Salsa langsung memelukku.Aku kembali terisak dan menumpahkan semua kepedihanku padanya."Sabar, Fin. Kamu perempuan kuat. Kamu harus sabar, ya," ucap Salsa sembari mengusap lembut. Dia terus berusaha membuatku tenang dan sabar."Mas Doni jahat, Sa. Mereka berdua jahat. Aku benci ... sangat benci mereka!"Pecah tangisku mengiringi ungkapan hati yang sejak tadi ingin kuteriakkan."Nangis aja, Fin, gak papa. Biar kamu lega. Tapi setelah ini, kamu harus bisa melupakan Doni. Dia gak pantas untuk dicintai. Jangan pernah mengharapkan dia lagi. Lelaki busuk memang cocok dengan perempuan murahan seperti Rani.""Tapi, hatiku sakit, Sa. Waktunya sudah dekat, kenapa ini yang terjadi. Aku malu ... aku malu, Sa!""Gak perlu malu, Fin. Kamu gak ngelakuin apa-apa. Orang-orang pasti akan respect sama kamu. Yang harus kamu lakukan hanya satu, lupakan Doni. Buang jauh-jauh lelaki kep*r*t itu dari hatimu. Kamu masih muda dan cantik. Kamu pantas memiliki suami yang setia dan penyayang. Udah, hapus air matamu. Jangan cengeng. Mereka akan tertawa melihatmu terpuruk. Kamu harus kuat!"Aku terdiam, berusaha mengajak hati berdamai. Aku duduk di lantai, diikuti Salsa. Lama aku tercenung berusaha memberi kekuatan pada hati. Salsa benar, sekuat apa pun rasa cinta ini, aku tak mungkin mengharapkan Mas Doni lagi. Sekali dia berani berkhianat, selamanya akan ada kebohongan dalam hubungan kami.Gagal sudah harapanku untuk hidup bahagia bersama lelaki yang begitu aku cintai. Semua persiapan pernikahan tak ada artinya lagi. Sia-sia. Bayang-bayang acara pernikahan yang akan digelar, satu per satu melintas di benakku, membuat aku kembali terisak.Satu yang jadi pertanyaanku sekarang, sejak kapan hubungan mereka terjalin? Apakah sebelum berpacaran denganku mereka sudah saling mencintai atau hanya nafsu sesaat? Entahlah. Terserah mereka saja. Yang jelas, aku dan Mas Doni tak mungkin lagi bersatu. Itu tekadku."Mereka di mana sekarang, Sa?" tanyaku pada Salsa.Tiba-tiba aku kepikiran untuk menemui mereka berdua. Aku ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Mas Doni ketika bertemu denganku nanti."Mau ketemu? Untuk apa?" tanya Fina dengan wajah heran."Ada yang harus aku katakan pada Mas Doni. Dia harus membayar rasa sakit di haiku." Aku mengusap cincin yang melingkar di jari manisku."Yakin?"Aku mengangguk, pelan."Mereka dibawa ke rumah sakit. Keracunan gas dari AC mobil, jadi pingsan. Kenapa gak mati sekalian, ya." Salsa mencibir, geram.Setelah merapikan penampilan dan berpamitan pada Ibu, aku dan Salsa segera pergi ke rumah sakit. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit naik motor untuk tiba di sana.Sengaja, aku belum memberitahu Bapak dan Ibu. Ada yang harus kutuntaskan. Aku akan bercerita pada mereka setelah pulang dari rumah sakit.Setelah sampai di rumah sakit, Salsa mengajakku ke bagian administrasi untuk menanyakan keberadaan Mas Doni. Aku melangkah ragu mengikuti Salsa yang kelihatan sangat bersemangat menuju ruangan tempat Mas Doni dirawat.Ragu, aku membuka pintu ruang rawat Mas Doni. Sepertinya di dalam ada banyak orang.Karena desakan hati, kuberanikan diri untuk masuk ke ruangan itu. Begitu pintu terbuka, aku langsung disambut oleh mama Mas Doni."Akhirnya kamu datang juga, Fin. Maaf, ya, Tante belum sempat ngabarin. Kondisi Doni tadi sangat mengkhawatirkan. Tante masih gemetaran sampai sekarang. Takut kalau Doni kenapa-kenapa." Mama Mas Doni begitu ramahnya padaku seolah tak terjadi apa-apa atau mungkin dia mengira aku belum tahu kejadian itu?Kutelisik seisi ruangan ini, tak ada Rani di sini. Mungkin, dia dirawat di ruangan terpisah."Mas Doni udah sadar, Tante?" tanyaku tanpa mengulas senyum sedikit pun."Oh, sudah. Dia sudah menunggumu sejak tadi. Dia ...,"Tak kupedulikan mama Mas Doni yang masih saja terus bicara. Aku melangkah mendekati Mas Doni yang terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Lelaki bermata sipit itu tersenyum manis kepadaku. Dia mengulurkan tangan untuk menyambutku. Kusambut uluran tangannya dengan seutas senyum sungging."Aku kembalikan cincin pertunangan kita. Hubungan kita cukup sampai di sini! Kamu gak pantas bersanding denganku," ucapku tegas dengan gigi bergemeletuk. Ingin saja aku melayangkan satu tamparan ke pipinya agar hati ini merasa puas. Tap, tak mungkin, ada banyak orang di sini."Kok, dibalikin, Fin? Kita akan segera menikah, Fin. Fin ... Fina!"Setelah mengembalikan cincin pertunangan kami, aku dan Salsa beranjak dari ruangan itu. Kuhiraukan suara Mas Doni yang memanggil-manggil namaku.BersambungBab 2Setelah keluar dari rumah sakit, Mas Doni dan kedua orang tuanya langsung datang ke rumahku tanpa rasa malu sedikit pun.Dengan sekuat hati, aku menemui mereka ditemani oleh Bapak dan Ibu."Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Bapak tenang tapi wajahnya terlihat tegang dan merah padam. Mungkin beliau sedang menahan emosi."Begini, Pak. Kami mohon keluarga Bapak tidak terpancing dengan isu yang beredar. Doni itu dijebak. Dia diberi obat bius oleh si Rani itu, makanya sampai pingsan. Di saat pingsan itulah si Rani membuka pakaian Doni. Sudah sejak dulu si Rani itu ingin mendekati Doni, tapi Doni menolak. Dia mengira dengan cara licik seperti itu akan bisa menjadi menantu di rumah kami. Saya tidak akan mudah tertipu. Kami ingin Fina yang jadi istrinya Doni." Mama Mas Doni berkata dengan wajah penuh harap. Dia pikir segampang itu memaafkan perbuatan anaknya."Anda pikir kami orang bodoh, tidak bisa membedakan mana yang dijebak dan mana yang benar-benar dibudak oleh nafsu?" Bapak me
Bab 3"Astagfirullah. Rani hamil?" Ibu menutup mulutnya sembari membelalak. Aku pun sama terkejutnya dengan beliau. Tapi wajar, sih, jika Rani hamil, mereka, kan, memang melakukannya.Lelaki bejat, untuk perempuan murahan. Benar-benar pasangan serasi. "Iya ... hamil! Aku sudah memeriksanya ke bidan," ucap Tante Marni. "Sudah biasa zaman sekarang, bukan Rani, aja yang begitu, gadis-gadis di luar sana juga banyak yang hamil duluan. Masih mending Rani gak gugurin kandungannya," lanjut Tante Marni lagi yang membuat aku dan Ibu kompak beristigfar. Sepicik itu pikiran Tante Marni. Dia membenarkan dan seolah mendukung perbuatan anaknya hanya untuk mendapatkan lelaku kaya seperti Mas Doni."Rani itu tetap salah, Marni. Hamil di luar nikah itu bukan perbuatan yang patut untuk dibenarkan. Jual murah itu namamya." Ibu mencoba menasehati Tante Marni. Namun, wanita yang usianya dua tahun di bawah Ibu itu sepertinya tidak terima. Matanya tajam menatap wajah Ibu. "Bilang aja iri, Mbak. Kalian sa
Bab 4Kuatur napas sedemikian rupa untuk menetralisir degup jantung yang tak karuan. Kupejamkan mata sembari mengucap bismillah. "Mohon maaf sebelumnya. Untuk saat ini, Fina belum bisa membuka hati untuk siapa pun, Pak. Kejadian kemarin, benar-benar bikin Fina trauma," jawabku lirih. Aku berbalik, lalu beranjak menuju kamarku."Owalah, Fin ... Fin! Sudah untung ada yang mau. Malah sombong. Sok nolak segala. Belagu kamu, Fin. Jangan jual mahal ... tar Jangan-jangan, si Fina masih mengharapkan Doni. Wah ... gak bisa dibiarkan ini." Terdengar suara Tante Marni mengataiku yang tidak-tidak. Kalau saja tidak ada tamu Bapak, sudah kuberi hadiah mulut lemesnya itu."Mar, sebaiknya kamu pulang saja, ya. Ini urusan keluarga kami. Gak baik kamu ikut campur. Langkah, rezeki, jodoh dan maut seseorang, itu urusan Allah. Kita gak bisa memaksa. Sebaiknya, kamu urus, aja si Rani, bentar lagi mau nikah, kan?" Jawaban Ibu benar-benar mewakili isi hatiku. "Ya, sudah, kalau gak mau terima saranku. Aku p
Bab 5"Mau apa kamu, Mas? Lepaskan tanganku!" bentakku dengan tatapan nyalang. Mas Doni malah tersenyum sungging."Lepasin, Mas atau aku teriak?" seruku lagi sambil mencoba menarik tangan dati genggaman Mas Doni."Teriak aja, paling juga orang-orang akan mengira kamu yang ganggu aku sebab belum bisa move on dari aku." Mas Doni menyeringai nakal membuat emosiku semakin membuncah."Mau apa kamu, Mas?" Kuturunkan sedikit nada bicaraku, berharap bisa bicara baik-baik dengannya. "Gitu, dong. Aku gak mau macem-macem, kok. Dengarkan baik-baik!" Raut wajah Mas Doni sangat serius. "Aku gak pernah mencintai Rani. Dia yang ngejar-ngejar aku. Aku dijebak sama dia, Fin. Tolong, mengertilah," lanjutnya lagi."Dijebak apanya, Mas? Kalian melakukannya, sampai Rani hamil begitu. Kamu harus tanggung jawab dengan apa yang sudah kamu berbuat. Kalau kamu gak punya rasa apa-apa terhadap Rani, gak mungkin kamu dan dia berada dalam satu mobil. Itu mobil kamu, Mas. Bukan mobil Rani.""Dia yang ajak aku perg
Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad