Share

Bab 4

Penulis: Su Yenni
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-12 17:21:41

Bab 4

Kuatur napas sedemikian rupa untuk menetralisir degup jantung yang tak karuan. Kupejamkan mata sembari mengucap bismillah.

"Mohon maaf sebelumnya. Untuk saat ini, Fina belum bisa membuka hati untuk siapa pun, Pak. Kejadian kemarin, benar-benar bikin Fina trauma," jawabku lirih. Aku berbalik, lalu beranjak menuju kamarku.

"Owalah, Fin ... Fin! Sudah untung ada yang mau. Malah sombong. Sok nolak segala. Belagu kamu, Fin. Jangan jual mahal ... tar Jangan-jangan, si Fina masih mengharapkan Doni. Wah ... gak bisa dibiarkan ini." Terdengar suara Tante Marni mengataiku yang tidak-tidak. Kalau saja tidak ada tamu Bapak, sudah kuberi hadiah mulut lemesnya itu.

"Mar, sebaiknya kamu pulang saja, ya. Ini urusan keluarga kami. Gak baik kamu ikut campur. Langkah, rezeki, jodoh dan maut seseorang, itu urusan Allah. Kita gak bisa memaksa. Sebaiknya, kamu urus, aja si Rani, bentar lagi mau nikah, kan?" Jawaban Ibu benar-benar mewakili isi hatiku.

"Ya, sudah, kalau gak mau terima saranku. Aku pamit."

Terdengar suara hentakan kaki lumayan keras beradu dengan lantai rumah kami yang terbuat dari semen. Akhirnya, si tukang kepo pergi juga dari rumah ini.

Beberapa saat setelah kepergian Tante Marni, kedua tamu Bapak mohon pamit. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, aku tak dapat mendengarnya sebab mereka berbicara seperti orang berbisik-bisik.

"Fin, Pak Bagio mau pulang, nih. Ayo, salim dulu!" seru Ibu. Mau tak mau, aku keluar juga dari kamar untuk menemui mereka kembali.

"Mas pulang, ya, Fin. Semoga kita bisa ketemu lagi." Mas Adit mengulurkan tangan dengan tatapan yang membuatku salah tingkah.

"I—iya, Mas." Malu-malu, aku menyambut uluran tangan itu sembari melemparkan seutas senyum simpul.

Kedua laki-laki itu naik ke atas motor lalu pergi meninggalkan rumah kami.

"Pak Bagio itu sahabat Bapak dari kampung? Jadi, mereka naik motor itu dari sana? Kok, sanggup, ya?" tanyaku heran.

Setahuku, kampung halaman Bapak itu cukup jauh dari sini. Waktu aku masih kecil, Bapak sering memboyong kami pulang ke kampungnya. Namun, setelah Nenek dan meninggal dunia, kami tak pernah lagi ke sana. Butuh waktu sekitar dua hari naik bus ke kampung itu.

"Ya nggaklah. Dua hari yang lalu, ada keluarga mereka mengadakan resepsi pernikahan di kampung sebelah. Jadi, mereka sekeluarga berkumpul di sana. Sekalian, mereka mampir ke sini," terang Bapak, lalu kutanggapi dengan menyebut huruf 'O' agak panjang seraya mengangguk-angguk.

"Jadi, kapan kita pindah dari sini, Pak?" tanyaku lagi.

Bapak menghela napas, dalam, lalu berkata:

"Kita tunggu sampai Raka tamat. Tinggal setengah tahun lagi, kan? Kata Pak Bagio, orang yang beli rumah ini meminta kita untuk tetap tinggal di sini selama dia belum membutuhkan rumah ini. Tapi, Bapak segan. Jadi, Bapak bilang ke Pak Bagio, setelah Raka tamat, kita langsung mengosongkan rumah ini."

"Iya, Bapak benar," sahutku pelan.

*

Hari ini, kumulai kegiatan seperti biasanya, setelah satu minggu, aku hanya mengurung diri di rumah.

Aku adalah guru di sebuah PAUD yang ada di kampungku. Berbekal ijazah SMA yang jarang dimiliki oleh gadis-gadis seusiaku di sini, aku diterima sebagai salah seorang pengajar di sekolah itu. Jangan ditanya seberapa besar gajinya, tak mencukupi, tapi aku sangat suka mengajar di sana sebab tingkah anak-anak seusia PAUD memberikan kebahagiaan tersendiri.

Setelah selesai mengajar, biasanya aku pulang bersama Bapak. Namun, hari ini, Bapak ada urusan penting, jadi tak bisa menjemputku.

Aku pulang dengan berjalan kaki. Lumayan jauh, sih, karena lokasi sekolah ada di ujung kampung, berbatasan dengan kampung tetangga, tapi tak apa, pelan-pelan pasti akan sampai juga. Lagi pula, aku harus mampir di warung Bu Siti yang tak begitu jauh dari sini. Ibu titip beberapa barang untuk dibeli.

Aku berhenti tepat di depan warung Bu Nining. Ragu, aku melangkah ke dalam warung itu. Ada Tante Marni dan Rani serta Ibu-Ibu lainnya. Aku takut, Tante Marni atau pun Ibu-ibu yang lain akan bertanya macam-macam padaku atau bahkan meledekku.

Kuatur napasku, lalu dengan penuh percaya diri, aku melangkah memasuki warung Bu Nining. Namun, baru saja aku berjalan, sebuah motor bebek model lama berhenti di belakangku. Refleks, aku menoleh ke belakang.

"Dek Fina ... mau belanja?" ucap lelaki yang mengendarai motor itu. Dia Adit, yang kemarin datang ke rumah.

"Iya, Mas," sahutku sembari tersenyum simpul.

"Duh ... yang dikawal calon suami. Kok, kayak malu-malu gitu."

Tiba-tiba terdengar suara ledekan dari dalam warung. Suara Tante Marni.

"Calon suami? Masak? Kasihan sekali nasibmu, Fin. Gagal nikah sama orang kaya, dapet ganti orang kere!" sahut Vera, sahabat Rani diikuti suara gelak tawa orang-orang di dalam warung itu.

"Gak papa kere, yang penting setia, ya, kan, Fin?" ucap Bu Nining membelaku.

"Emang bisa makan setia? Hidup itu butuh uang, Bu. Kalau sama-sama kere, ujung-ujungnya hidup susah, beli apa-apa gak bisa. Bertengkar tiap hari. Akhirnya, apa? Pisah ... cerai!" Rani menimpali dengan sombongnya. Anak itu, benar-benar sudah hilang rasa malunya.

Tiba-tiba, Mas Doni menghidupkan mesin motornya dan langsung tancap gas. Mungkin, dia malu jadi bahan omongan orang-orang di warung ini.

"Kalian ngomongin apa, sih? Tante Marni, Tante jangan nyebar fitnah yang bukan-bukan, ya! Urusin aja anak Tante yang sebentar lagi akan menikah dan langsung punya anak," sahutku kesal. Padahal, aku tak pernah berniat membicarakan soal kehamilan Rani, tapi kata-kata mereka membuat kesabaranku hilang seketika.

"Jaga mulutmu, ya, Fin. Apa maksud kamu ngomong gitu?

Kamu belum bisa terima kenyataan kalau ternyata Mas Doni lebih milih aku? Asal kamu tau, ya. Kamu tuh gak akan bisa bersaing denganku." Rani berkata dengan suara bernada sangat tinggi sembari berkacak pinggang dan sesekali menunjuk tepat di wajahku.

Betapa angkuhnya dia. Padahal, semua orang tahu bagaimana caranya dia merampas Mas Donu dariku. Tentu, aku tak akan bisa bersaing dengannya sebab aku bukan perempuan murahan seperti dia.

Kutanggapi kata-kata Rani dengan senyuman saja. Dasar, tak tahu malu.

Kuminta Bu Nining untuk segera mengemas barang-barang belanjaanku. Muak rasanya lama-lama berada di antara manusia-manusia julid dan tak tahu malu seperti Tante Marni dan anaknya. Sebaiknya, aku cepat-cepat pulang saja.

Gegas, aku melangkah meninggalkan warung Bu Nining. Tak kuperdulikan lagi kata-kata bernada meledek yang keluar dari mulut Tante Marni dan Rani. Aku mempercepat langkah agar segera menjauh dari mereka.

Aku terus berjalan menuju pulang. Aku melewati jalanan yang di kanan dan kirinya berjajar pohon sawit milik keluarga Mas Doni. Jalanan ini cukup sunyi, hanya sesekali ada orang yang lewat. Maklumlah, jalanan di kampung.

Sambil berjalan, aku terus memikirkan kejadian di warung tadi, tanpa sadar ada sebuah sepeda motor berhenti di depanku. Aku mengangkat wajah dan ternyata itu motor Mas Doni.

Berdesir darahku. Perasaanku jadi tak menentu. Mau apa Mas Doni menghentikanku di sini? Jangan-jangan ....

Aku mengedar pandangan ke sekeliling. Sayangnya tak tampak ada orang yang akan melewati jalanan ini. Aku mencoba menghindari Mas Doni, kulanjutkan langkahku. Namun, tiba-tiba dia mencekal tanganku.

Bersambung.

Bab terkait

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 5

    Bab 5"Mau apa kamu, Mas? Lepaskan tanganku!" bentakku dengan tatapan nyalang. Mas Doni malah tersenyum sungging."Lepasin, Mas atau aku teriak?" seruku lagi sambil mencoba menarik tangan dati genggaman Mas Doni."Teriak aja, paling juga orang-orang akan mengira kamu yang ganggu aku sebab belum bisa move on dari aku." Mas Doni menyeringai nakal membuat emosiku semakin membuncah."Mau apa kamu, Mas?" Kuturunkan sedikit nada bicaraku, berharap bisa bicara baik-baik dengannya. "Gitu, dong. Aku gak mau macem-macem, kok. Dengarkan baik-baik!" Raut wajah Mas Doni sangat serius. "Aku gak pernah mencintai Rani. Dia yang ngejar-ngejar aku. Aku dijebak sama dia, Fin. Tolong, mengertilah," lanjutnya lagi."Dijebak apanya, Mas? Kalian melakukannya, sampai Rani hamil begitu. Kamu harus tanggung jawab dengan apa yang sudah kamu berbuat. Kalau kamu gak punya rasa apa-apa terhadap Rani, gak mungkin kamu dan dia berada dalam satu mobil. Itu mobil kamu, Mas. Bukan mobil Rani.""Dia yang ajak aku perg

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-12
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 6

    Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-17
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 7

    Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 8

    Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-21
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 9

    Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-30
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 10

    Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-30
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 11

    Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-30
  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 12

    Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-03

Bab terbaru

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 14

    Bab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 13

    Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 12

    Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 11

    Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 10

    Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 9

    Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 8

    Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 7

    Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika

  • Kubuang Tunangan Sampah Sebelum Menikah   Bab 6

    Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad

DMCA.com Protection Status