Bab 7
Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun."Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni."Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika wajah Tante Marni jadi merah padam."Jangan samakan nasib Rani sama kamu, Fin. Rani itu cantik, putih, glowing. Beda jauh sama kamu yang hitam, kucel bin dekil. Mana mungkin Doni tergoda pada wanita lain. Kalau iri, bilang aja. Kenapa? Kamu frustasi karena gagal nikah sama Doni? Kasian deh kamu, Fin," sahut Tante Marni sembari mencebikkan bibirnya. Kata-katanya membuatku tercengang. Seenaknya dia berkata begitu."Siapa yang iri, Tante? Aku malah bersyukur batal nikah sama Mas Doni. Dia gak pantas jadi suamiku. Dia pantasnya memang sama Rani. Mereka sama-sama ...." Tak kulanjutkan kata-kataku sebab Ibu mengerling tajam padaku. Aku menunduk sembari tersenyum."Sama-sama apa, Fin? Kamu mau bilang apa?" tanya Tante Marni penasaran."Sama-sama murahan!"Seketika Tante Marni menjadi berang. Dia ngomel sambil mencaci makiku, lalu pergi begitu saja.Aku muak mendengar ceritanya membangga-banggakan Rani yang akhirnya bisa menikah dengan mantan tunanganku itu. Jika dari awal aku tahu bahwa Mas Doni bukan lelaki setia, bahkan aku tak akan pernah mau menjalin hubungan dengannya.Aku akan buktikan jika aku benar-benar sudah tak mengharapkan Mas Doni lagi.*Hari pernikahan Rani dan Mas Doni pun tiba. Sebagai tetangga dan masih terkait ikatan keluarga, kami sekeluarga turut serta membantu acara yang diadakan oleh Tante Marni. Lagi pula, aku ingin menunjukkan pada Rani dan para warga di kampung ini bahwa aku tak sedikit pun iri jika kini, Ranilah yang akhirnya menikah dengan Mas Doni.Aku mencoba menguatkan hati dan bersikap biasa saja, walau sebenarnya ada luka yang menganga di dalam hati melihat lelaki yang seharusnya menjabat tangan Bapak, kini, menjadi suami adik sepupuku. Namun, semua sudah kuikhlaskan. Mungkin, ini yang terbaik bagiku. Mas Doni bukanlah jodohku."Yang sabar, Fin. Orang sabar disayang Allah. Suatu saat pasti kamu dapat lelaki yang lebih baik dari si Doni itu." Kata-kata Bu Endang—tetangga yang tinggal di rumah kontrakan milik Pak RT di samping rumah kami—membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum menanggapi ucapannya."Iya, Bu. Fina ikhlas, kok. Kalau gak jodoh, kita mau bilang apa?" sahutku disertai tawa seadanya. Bu Endang ikut tertawa.Sebenarnya, aku merasa risih jadi gunjingan ibu-ibu yang ada di rumah tante Marni ini. Walaupun sebagian besar dari mereka memihak padaku, tapi tetap saja aku jadi serba salah. Sebagian dari mereka menatapku, lalu berbisik-bisik. Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini."Semuanya harap tenang, ya! Acara ijab qabul akan segera dimulai," ucap seorang wanita yang mirip dengan Tante Marni. Mungkin, adik atau kakaknya.Ruangan dapur yang tak terlalu luas seketika hening. Semuanya fokus memasang telinga untuk mendengarkan ijab qabul melalui pengeras suara itu.Berdesir darahku ketika mendengar kalimat sakral yang diucapkan oleh seorang lelaki paruh baya. Kalimat itu seharusnya diucapkan oleh Bapak sembari menjabat erat tangan Mas Doni beberapa waktu lalu.Kutahan bulir bening yang hampir meluncur di sudut mata. Bukannya aku menyesali pernikahanku yang gagal dengan Mas Doni. Namun, biar bagaimana pun, dia pernah bersemayam dalam relung hatiku. Tak gampang menghapus semua kenangan indah yang pernah kami ukir bersama.Kini, resmi sudah Mas Doni menjadi suami Rani. Aku cemburu? Tentu tidak. Justru, aku bersyukur tak jadi menikah dengannya setelah tahu bagaimana sifat asli lelaki itu."Fin ... ngelamun, aja." Aku terkesiap ketika Bu Neneng menyikut lenganku."Dengerin itu! Namamu yang disebut sama si Doni," ucap Bu Neneng sembari tertawa geli membuatku jadi bingung.Orang-orang di sekeliling kami kembali berbisik-bisik sembari menatapku dengan tatapan aneh.Kembali, kalimat sakral itu terdengar. Kali ini, aku fokus mendengarkan."Saya terima nikah dan kawinnya Finaya binti ...."Mas Doni kembali menyebut namaku. Sontak orang-orang di sini menatapku curiga membuatku jadi serba salah."Astagfirullah ... kamu serius mau nikahi Rani apa gak, sih, Don? Atau jangan-jangan kamu cuma mau mainin anak saya, aja!" Terdengar suara Tante Marni marah-marah."Sekali lagi kita ulang, ya. Kamu harus fokus, Don. Yang kamu nikahi namanya Rani bukan Fina," ucap suara seorang lelaki.Ruangan kembali riuh dan ramai dengan suara-orang yang mungkin sedang membicarakan aku. Terserah, apa yang mereka pikirkan tentangku. Toh, bukan aku yang membuat masalah dalam hal ini.Tak mau mendengar dan ikut dalam pergulatan gosip yang sedang beredar, aku bergegas bangkit dari tempat dudukku, lalu beranjak keluar dan pulang ke rumah.*Setelah acara resepsi selesai, rumah Tante Marni kembali lengang. Satu per satu para tamu dan tetangga pulang ke rumah. Namun, Ibu belum juga pulang. Sementara, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Kulangkahkan kembali kakiku ke rumah itu. Atas perintah Bapak, aku harus menjemput Ibu.Sesampainya di rumah Tante Marni, keadaan benar-benar sepi. Entah ke mana perginya semua kerabat Tante Marni. Yang tersisa hanyalah dua orang petugas cuci piring yang sedang merapikan piring-piring yang sudah dicuci.Aku masuk ke rumah Tante Marni lewat pintu belakang yang masih tersisa. Ternyata, Ibu sedang memanaskan lauk pauk yang masih tersisa.Tak ada tempat duduk di ruangan dapur ini, jadi aku beranjak menuju ruang makan. Lalu, aku duduk di salah satu kursi di sana. Kumainkan jari di atas layar gawai untuk menghilangkan rasa kantuk. Satu persatu tayangan video pada aplikasi tik tok kutonton untuk membuang rasa jenuh. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang pria yang berdiri di belakangku."Masih di sini, Fin? Nungguin Mas, ya?"Berdebar dadaku, bukan debaran kasmaran, tapi karena terkejut. Mas Doni langsung duduk di sebuah kursi di sebelahku. Spontan aku bangkit dan ingin cepat-cepat pergi meninggalkannya. Aku takut akan menimbulkan masalah jika ada yang melihat kami berdua seperti ini."Mau ke mana, Fin?" Mas Doni mencekal tanganku. "Mas mau ngomong sesuatu sama kamu," ucapnya lagi."Lepas, Mas. Aku gak mau Rani salah sangka sama aku." Aku mencoba melepaskan genggaman tangan Mas Doni. Namun, tenaga laki-laki itu terlalu kuat. Jika kupaksakan malah akan menimbulkan keributan."Fin, Mas masih sangat mencintaimu. Mas mohon kamu bisa terima Mas lagi seperti dulu. Jika kamu mau, Mas akan tinggalkan Rani, detik ini juga," ucapnya pelan. Memelas."Sekali nggak, tetap nggak, Mas. Lepaskan tanganku. Aku mau pulang!" Aku membelak sembari terus berusaha melepaskan tangan Mas Doni."Tolong, jangan siksa Mas seperti ini, Fin. Mas benar-benar memohon maafmu. Mas khilaf, Fin. Mas gak ada niat sedikit pun untuk menikahi Rani. Entah setan apa yang merasuki Mas waktu itu. Mas benar-benar menyesal."Mata Mas Doni berkaca-kaca. Kelihatannya, dia memang sangat menyesal. Namun, semua sudah terjadi, bahkan jika dia mengeluarkan air mata darah sekali pun, aku tetap tak akan menerimanya kembali.Aku menggeleng sembari terus berusaha melepaskan tanganku."Hei! Apa-apaan kalian?" Terdengar teriakan Rani dari arah ruang tengah.Bersambung.Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal
Bab 1Mendadak, aku merasa sesak napas ketika melihat mobil Mas Doni—calon suamiku— terpampang dalam sebuah video yang tersebar di aplikasi Facebook. "Sepasang sejoli yang sedang indehoy, pingsan di dalam mobil."Begitu caption yang tertulis di unggahan tersebut. Dengan mata berkaca-kaca, kutelisik setiap detik video yang sedang diputar. Diposting sekitar satu jam yang lalu. Betapa sakit hati ini, bagai ditusuk beratus pisau belati. Tak kusangka belahan hati tega berbuat sehina ini. Mas Doni—lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku—sedang dalam keadaan lemas tak berdaya, mungkin tak sadarkan diri dalam sebuah mobil yang terparkir di tepi hutan kota. Bukan hanya kondisinya yang setengah bug*l membuat jantungku mau lepas, tapi wanita itu, wanita yang terkulai lemas di sampingnya adalah Rani—adik sepupuku—juga dalam kondisi yang sama.Mendidih darahku. Tercekat rasanya tenggorokanku. Ingin aku ke sana dan menghajar dua manusia yang tak punya rasa malu itu. Namu
Bab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad