Bab 5
"Mau apa kamu, Mas? Lepaskan tanganku!" bentakku dengan tatapan nyalang. Mas Doni malah tersenyum sungging."Lepasin, Mas atau aku teriak?" seruku lagi sambil mencoba menarik tangan dati genggaman Mas Doni."Teriak aja, paling juga orang-orang akan mengira kamu yang ganggu aku sebab belum bisa move on dari aku." Mas Doni menyeringai nakal membuat emosiku semakin membuncah."Mau apa kamu, Mas?" Kuturunkan sedikit nada bicaraku, berharap bisa bicara baik-baik dengannya."Gitu, dong. Aku gak mau macem-macem, kok. Dengarkan baik-baik!" Raut wajah Mas Doni sangat serius."Aku gak pernah mencintai Rani. Dia yang ngejar-ngejar aku. Aku dijebak sama dia, Fin. Tolong, mengertilah," lanjutnya lagi."Dijebak apanya, Mas? Kalian melakukannya, sampai Rani hamil begitu. Kamu harus tanggung jawab dengan apa yang sudah kamu berbuat. Kalau kamu gak punya rasa apa-apa terhadap Rani, gak mungkin kamu dan dia berada dalam satu mobil. Itu mobil kamu, Mas. Bukan mobil Rani.""Dia yang ajak aku pergi. Dia bilang mau beli kado untuk kamu, Fin.""Berdua? Indehoy di dalam mobil?" Aku tertawa mendengar kata-kata Mas Doni barusan. Sebuah alasan klise."Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas, Rani itu pemain. Dia sudah beberapa kali melakukan hal semacam itu," ucap Mas Doni terlihat sangat menyesal."Trus, kamu menyesal? Terlambat, Mas. Biar bagaimana pun keadaan Rani, mau dia perawan atau tidak saat bersamamu, aku tak perduli. Kamu sudah berkhianat, Mas. Kalau tidak ada komitmen sama-sama mau, kamu dan dia tidak akan berada dalam satu mobil dalam keadaan setengah bug*il dengan kondisi yang berantakan. Kamu pikir aku bodoh, Mas?" Aku menghela napas kasar. Kutatap tajam mata lelaki yang pernah bersemayam di dalam hatiku. Kini, menatapnya bagaikan melihat tumpukan sampah yang membuat aku jengah dan ingin cepat-cepat melempar pandangan ke tempat lain."Sudahlah, Mas. Aku muak dengan semua penjelasanmu. Hubungan kita sudah selesai. Semua uang yang kamu beri, juga sudah kami kembalikan. Kamu ... bukan siapa-siapaku lagi. Jangan ganggu ketentraman hidupku lagi!" Aku hendak beranjak dari tempat itu, tapi, tiba-tiba Mas Doni menarikku dan mendekapku dari belakang."Kamu mau teriak? Teriak aja!" Mas Doni tertawa sekuatnya."Lepas, Mas. Jangan macam-macam kamu!"Aku membentak seraya meronta agar bisa lepas dari dekapan Mas Doni. Namun, dia semakin erat mendekapku dan mencoba menarik tubuhku ke dalam area kebun sawit. Malangnya, sejak tadi tak ada seorang pun yang lewat. Mungkin karena belum jam istirahat siang, orang-orang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing."Lepas, Mas. Kamu mau apa?" Mas Doni terus menyeret ke dalam perkebunan."Kamu harus jadi milikku, Fin." Mas Doni mendorongku ke tanah, hingga aku tersungkur dan hampir membentur batang pohon sawit. Aku berusaha bangkit, tapi Mas Doni langsung menubruk dan menindihku. Dia duduk di atas perutku, mencoba melepaskan jilbab yang kupakai."Kurang aj*r. Aku peringatkan sekali lagi, jangan macam-macam atau kamu akan menyesal, Mas!" Mas Doni tak perduli. Dia terus berusaha melepaskan jilbab itu.Perbuatan Mas Doni sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kuhayunkan sebelah kakiku dengan kuat ke arah punggung Mas Doni. Lelaki itu tersungkur dan langsung ku dorong ke samping. Gegas, aku bangkit, berdiri dan pasang kuda-kuda.Mas Doni mendekatiku dengan tatapan yang sangat menyeramkan seolah dia ingin menerkamku."Jangan coba-coba melawan, Fin. Kamu begitu mencintaiku. Ayolah ... aku yakin, setelah ini, kedua orang tuamu akan merestui kita. Rani akan kucerai setelah anaknya lahir.""Gak sesederhana itu, Mas. Aku bukan perempuan murahan!" ucapku geram.Semua sudah berubah. Mas Doni yang kukenal bukan seperti ini. Dulu dia begitu baik dan penyayang. Tapi sekarang, dia serupa anjing yang kelaparan.Kedua tangan Mas Doni mencoba menyentuh pundakku, mungkin ingin mendorong tubuhku agar kembali jatuh. Namun, dengan sigap kutendang kaki kiri Mas Doni dan mengakibatkan dia terjatuh.Tampaknya, dia tak menyerah. Dia bangkit dan langsung ingin menubrukku. Kuhayunkan satu kepalan tinju tepat ke wajahnya. Kutendang perut dan tubuhnya. Mas Doni meringis kesakitan sambil memegangi perutnya."Mau main-main denganku? Kamu salah orang, Mas," ucapku pelan, tapi penuh penegasan. Kuhadiahi dia dengan seutas senyum sungging sambil menepuk pipinya lumayan kuat.Dia belum tahu ketangkasanku bermain silat. Memang, tak ada siapa pun di kampung ini yang tahu bahwa aku punya keahlian bela diri itu, selain keluargaku. Aku belajar ilmu silat di kegiatan Ekskul yang diadakan di sekolah saat aku masih SMA. Kebetulan, hanya aku dari kampung ini yang bersekolah di tempat itu sedangkan yang lain lebih memilih sekolah yang dekat dari sini.Mas Doni masih berguling di tanah menahan sakit akibat tendanganku. Kuambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Bukan takut tak mampu melawannya, tapi aku takut khilaf dan menghajarnya lebih parah lagi."Dek Fina kenapa? Kok, kayak ketakutan gitu? Ada yang jahatin kamu, Dek?" Mas Adit bertanya dengan raut wajah heran. Posisinya sudah turun dari atas motor. Mungkin, sejak tadi dia berhenti di tempat ini."Gak papa, Mas. Udah aman," jawabku sambil melihat ke arah perkebunan."Beneran, gak papa? Ini motor siapa?" tanyanya lagi seperti menyelidik."Gak tau. Motor pekerja kebun, mungkin," jawabku asal. Aku tak ingin menceritakan kejadian tadi pada Mas Adit, takutnya ceritanya malah menyebar ke mana-mana dan orang-orang mengira, akulah yang ingin mengganggu Mas Doni."Oh, ya, sudah. Dek Fina mau pulang? Ayo, Mas antar." Akhirnya, Mas Adit berhenti menginterogasiku. Mungkin, dia juga tidak mau terlalu ikut campur dengan urusanku."Gak usah, Mas. Biar Fina jalan kaki, aja." Sebenarnya aku setuju jika Mas Adit mau mengantarku pulang agar Mas Doni tak mengejarku lagi, tapi ada rasa sungkan di hati untuk mengiyakan ajakannya."Gak papa. Mas lagi banyak waktu luang. Lagi gak ada kerjaan," sahutnya sambil cengengesan.Aku tersenyum malu-malu, lalu naik ke atas motor tua milik Mas Adit.Di sepanjang perjalanan, tak ada percakapan serius, hanya sebatas bertanya dan menjawab kegiatan sehari-hari yang kamu lakukan. Dari cara bicara dan sikapnya, kentara jika Mas Adit lelaki yang tau sopan santun. Sedikit pun dia tak menyinggung masalah lamarannya yang kutolak waktu itu. Mungkin dia malu atau memang tak ingin terlalu memaksa.Tengah asik ngobrol, tiba-tiba kami dipepet oleh sebuah motor. Mas Doni mensejajari laju motor kami. Tatapannya begitu nyalang pada Mas Adit. Mas Doni yang mengendarai motor KLX itu menarik gas dengan sangat kasar hingga menimbulkan suara bising di telinga. Bahkan, sesekali motornya hampir menabrak motor kami. Entah apa yang ada dipikiran Mas Adit, dia sama sekali tak perduli dengan tingkah Mas Doni.Tampaknya, sikap Mas Adit yang tenang dan tak perduli itu membuat Mas Doni semakin marah."Berhenti! Saya bilang berhenti!" teriak Mas Doni begitu keras.Bersambung.Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad