Bab 2
Setelah keluar dari rumah sakit, Mas Doni dan kedua orang tuanya langsung datang ke rumahku tanpa rasa malu sedikit pun.Dengan sekuat hati, aku menemui mereka ditemani oleh Bapak dan Ibu."Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Bapak tenang tapi wajahnya terlihat tegang dan merah padam. Mungkin beliau sedang menahan emosi."Begini, Pak. Kami mohon keluarga Bapak tidak terpancing dengan isu yang beredar. Doni itu dijebak. Dia diberi obat bius oleh si Rani itu, makanya sampai pingsan. Di saat pingsan itulah si Rani membuka pakaian Doni. Sudah sejak dulu si Rani itu ingin mendekati Doni, tapi Doni menolak. Dia mengira dengan cara licik seperti itu akan bisa menjadi menantu di rumah kami. Saya tidak akan mudah tertipu. Kami ingin Fina yang jadi istrinya Doni." Mama Mas Doni berkata dengan wajah penuh harap. Dia pikir segampang itu memaafkan perbuatan anaknya."Anda pikir kami orang bodoh, tidak bisa membedakan mana yang dijebak dan mana yang benar-benar dibudak oleh nafsu?"Bapak menatap nyalang pada mereka. Suaranya terdengar bergetar. Entah setinggi apa amarah Bapak saat ini. Tak pernah kulihat beliau bersikap semarah itu."Saya sangat mencintai Fina, Pak. Saya masih ingin melanjutkan pernikahan dengannya. Fin, jangan putus, ya. Kita lanjutkan pernikahan kita," ucap Mas Doni menghiba. Dasar lelaki tak tahu malu. Bisa-bisanya dia bicara begitu. Enak saja. Setelah asyik-asyikkan dengan Rani, dia minta balikan sama aku? Tentu tidak, Mas.Kuhela napas, dalam, sembari memejamkan mata. Mendengar keinginan Mas Doni rasanya aku ingin menampar wajahnya agar dia sadar telah menyakiti hatiku teramat dalam."Apa? Ingin melanjutkan pernikahan? Kurang aj*r! Kalian pikir anak saya itu apa, haaa? Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan anakku kepada laki-laki bia*ap sepertimu! Sekarang juga angkat kaki dari rumahku!"Bapak berkata dengan suara menggelegar sembari menunjuk wajah Mas Doni."Tapi Pak ...," seru Mas Doni yang langsung dipotong oleh Bapak."Tidak ada tapi-tapian. Pergi dari rumahku!" Bapak menunjuk ke arah pintu.Papa Mas Doni sedari tadi hanya diam saja. Dia diam dan tertunduk dalam. Mungkin, dia malu dengan tindakan anak dan istrinya.Tiba-tiba, Mas Doni menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di depan Bapak. Bapak yang kelihatan terkejut, langsung menggeser posisi duduknya dan mendorong tubuh Mas Doni."Sudah, Don, jangan mengemis begitu. Masih banyak gadis lain yang mau sama kamu," ucap mama Mas Doni seraya membantu anak kesayangannya itu untuk bangkit."Saya yakin kamu tidak akan mendapatkan laki-laki sekaya dan setampan Doni. Belagu kamu, ya. Jika kamu menolak Doni, hari ini, saya sumpahi, kamu akan jadi perawan tua." Mama Mas Doni mencibir sambil menunjuk tepat ke wajahku. Lalu dia menarik paksa anak dan suaminya untuk keluar dari rumahku."Oya, satu lagi. Saya minta kalian kembalikan semua uang yang sudah kami berikan. Saya beri waktu sampai minggu depan. Uang itu akan dipakai untuk melamar perempuan lain," ucap mama Mas Doni dengan wajah merah padam. Lalu mereka beranjak meninggalkan rumahku.Bapak hanya geleng-geleng kepala mendengar kata-kata mama Mas Doni. Sedangkan aku kembali terisak. Biar bagaimana pun keadaan ini sangat menyakiti hatiku. Bukan aku menyesali karena tak jadi menikah dengan Mas Doni, tapi aku hanya masih belum bisa menerima kondisi ini dengan ikhlas. Mengapa harus aku yang mengalami hal ini?"Sudah Fin, jangan nangis. Allah itu baik sama kamu. Kamu tau sifat asli calon suamimu sebelum kalian menikah. Coba kalau sudah menikah, bisa hancur rumah tangga kalian." Ibu mencoba menenangkanku, memelukku erat dalam dekapannya."Bagaimana caranya kita mengembalikan semua uang Mas Doni, Bu?" Tiba-tiba aku teringat ucapan mama Mas Doni, tadi.Uang lima puluh juta yang sudah diberikan Mas Doni kepadaku sebagian besar sudah digunakan untuk membayar semua keperluan pesta. Tak hanya itu, mama Mas Doni juga minta agar semua anggota keluarga dibelikan baju seragam yang harganya lumayan mahal. Uang yang tersisa hanya tinggal lima juta saja, itu pun akan dipakai untuk membayar pernak-pernik yang akan dijadikan bingkisan untuk para undangan. Minggu depan semua pernak-pernik itu sudah selesai dibuat.Aku tahu bagaimana kondisi keuangan Bapak dan Ibu. Untuk mengembalikan uang lima puluh juta dalam waktu satu minggu, rasanya tak mungkin. Kami tak memiliki uang sebanyak itu. Bapak hanyalah seorang penjaga malam di sebuah pabrik di kota. Sedangkan harta yang kami punya hanyalah seperak rumah."Dari awal Bapak memang tidak suka sama Doni. Makanya Bapak menentang hubungan kalian. Ternyata, firasat Bapak benar."Bapak menarik napas, berat. Matanya menatap jauh entah ke mana."Bagi Bapak, kehilangan harta tidak menjadi masalah. Yang terpenting, kamu selamat dari laki-laki bej*t seperti Doni. Kita akan jual rumah ini. Kita tidak punya harta, tapi kita masih punya harga diri," ucapnya tegas. Bapak memang orang yang sangat memegang prinsip. Pantang baginya menjatuhkan harga diri demi sebuah belas kasihan."Kita akan tinggal di mana, Pak?" tanyaku lirih. Sakit di hati akibat perbuatan Mas Doni belum lagi hilang, kini aku harus melihat keluargaku menderita karena ulah lelaki itu."Kita bisa ngontrak. Bapak akan segera menghubungi pembelinya. Mudah-mudahan dia mau membeli rumah ini." Bapak bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah menuju kamar. Tak lama, terdengar suaranya sedang berbicara entah dengan siapa melalui panggilan telepon.*Pagi-pagi sekali Tante Marni—ibunya Rani—sudah datang bertandang ke rumah kami. Jarang-jarang dia ke sini. Biasanya, jika ada maunya saja dia bertamu ke rumah ini, untuk meminjam uang misalnya, atau untuk keperluan lain yang sangat mendesak untuknya."Kapan, sih, kalian kembalikan uang si Doni itu? Kalau aku, ya, Mbak, sudah kukembalikan tanpa diminta sama orangnya. Malu. Gak jadi nikah, masak mau makan uangnya," ucap tante Marni begitu cerewetnya. Kenapa pula dia yang harus sibuk mengurusi hal itu?"Memangnya ada urusan apa Tante dengan uang itu?" tanyaku menyelidik."Ya, jelas ada, dong! Sebentar lagi Rani dan Doni akan menikah, tentunya butuh biaya banyak. Pestanya harus megah, biar orang-orang gak meremehkan Rani. Walaupun dia viral di mana-mana, tapi dia tetap bisa menggelar pesta megah."Berdesir darahku mendengar penuturan Tante Marni. Tak adakah rasa malu di hatinya untuk mengadakan pesta pernikahan untuk Rani? Padahal beberapa waktu lalu dan bahkan sampai sekarang putrinya itu masih menjadi buah bibir karena kejadian viral itu. Aku mengusap dada sembari beristigfar."Kapan acaranya akan dilangsungkan, Marni? Bukannya Nak Doni masih belum mau menikah dengan Rani?" tanya Ibu kemudian.Waktu itu, Tante Marni mengajak Pak RT dan beberapa orang kampung sini ke rumah Mas Doni untuk meminta pertanggung jawaban. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Tante Marni juga meminta Bapak ikut bersama mereka, tap dengan tegas Bapak menolak sebab tak ingin ikut campur dengan urusan itu. Namun, menurut kabar yang kudengar, Mas Doni dan keluarganya berkilah, tak mau menikahi Rani dengan alasan dijebak.Kasihan sebenarnya melihat nasib Rani, sudah ketangkap basah dan viral begitu, tapi Mas Doni mengelak dan menolak untuk menikahinya. Malah beberapa waktu lalu, dia mengajakku untuk melanjutkan pernikahan kami."Kali ini, Doni gak bisa ngelak, Mbak. Dia harus tanggung jawab. Gak mungkin, kan, Rani melahirkan tanpa punya suami? Itu anaknya Doni. Kalau sampai dia lari dari tanggung jawab, aku akan lapor polisi," ucap Tante Marni geram.Bersambung..Bab 3"Astagfirullah. Rani hamil?" Ibu menutup mulutnya sembari membelalak. Aku pun sama terkejutnya dengan beliau. Tapi wajar, sih, jika Rani hamil, mereka, kan, memang melakukannya.Lelaki bejat, untuk perempuan murahan. Benar-benar pasangan serasi. "Iya ... hamil! Aku sudah memeriksanya ke bidan," ucap Tante Marni. "Sudah biasa zaman sekarang, bukan Rani, aja yang begitu, gadis-gadis di luar sana juga banyak yang hamil duluan. Masih mending Rani gak gugurin kandungannya," lanjut Tante Marni lagi yang membuat aku dan Ibu kompak beristigfar. Sepicik itu pikiran Tante Marni. Dia membenarkan dan seolah mendukung perbuatan anaknya hanya untuk mendapatkan lelaku kaya seperti Mas Doni."Rani itu tetap salah, Marni. Hamil di luar nikah itu bukan perbuatan yang patut untuk dibenarkan. Jual murah itu namamya." Ibu mencoba menasehati Tante Marni. Namun, wanita yang usianya dua tahun di bawah Ibu itu sepertinya tidak terima. Matanya tajam menatap wajah Ibu. "Bilang aja iri, Mbak. Kalian sa
Bab 4Kuatur napas sedemikian rupa untuk menetralisir degup jantung yang tak karuan. Kupejamkan mata sembari mengucap bismillah. "Mohon maaf sebelumnya. Untuk saat ini, Fina belum bisa membuka hati untuk siapa pun, Pak. Kejadian kemarin, benar-benar bikin Fina trauma," jawabku lirih. Aku berbalik, lalu beranjak menuju kamarku."Owalah, Fin ... Fin! Sudah untung ada yang mau. Malah sombong. Sok nolak segala. Belagu kamu, Fin. Jangan jual mahal ... tar Jangan-jangan, si Fina masih mengharapkan Doni. Wah ... gak bisa dibiarkan ini." Terdengar suara Tante Marni mengataiku yang tidak-tidak. Kalau saja tidak ada tamu Bapak, sudah kuberi hadiah mulut lemesnya itu."Mar, sebaiknya kamu pulang saja, ya. Ini urusan keluarga kami. Gak baik kamu ikut campur. Langkah, rezeki, jodoh dan maut seseorang, itu urusan Allah. Kita gak bisa memaksa. Sebaiknya, kamu urus, aja si Rani, bentar lagi mau nikah, kan?" Jawaban Ibu benar-benar mewakili isi hatiku. "Ya, sudah, kalau gak mau terima saranku. Aku p
Bab 5"Mau apa kamu, Mas? Lepaskan tanganku!" bentakku dengan tatapan nyalang. Mas Doni malah tersenyum sungging."Lepasin, Mas atau aku teriak?" seruku lagi sambil mencoba menarik tangan dati genggaman Mas Doni."Teriak aja, paling juga orang-orang akan mengira kamu yang ganggu aku sebab belum bisa move on dari aku." Mas Doni menyeringai nakal membuat emosiku semakin membuncah."Mau apa kamu, Mas?" Kuturunkan sedikit nada bicaraku, berharap bisa bicara baik-baik dengannya. "Gitu, dong. Aku gak mau macem-macem, kok. Dengarkan baik-baik!" Raut wajah Mas Doni sangat serius. "Aku gak pernah mencintai Rani. Dia yang ngejar-ngejar aku. Aku dijebak sama dia, Fin. Tolong, mengertilah," lanjutnya lagi."Dijebak apanya, Mas? Kalian melakukannya, sampai Rani hamil begitu. Kamu harus tanggung jawab dengan apa yang sudah kamu berbuat. Kalau kamu gak punya rasa apa-apa terhadap Rani, gak mungkin kamu dan dia berada dalam satu mobil. Itu mobil kamu, Mas. Bukan mobil Rani.""Dia yang ajak aku perg
Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Bab 8Bukan main terkejutnya aku. Jantungku serasa ingin melompat ke luar. Kutarik paksa tanganku yang sedang digenggam oleh Mas Doni. Tanpa perlawanan, dia segera melepaskannya. Ketika aku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu, tiba-tiba Rani berteriak lebih keras lagi."Tunggu, Fin! Mau ke mana kamu?" Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku menatap pada Rani. Wajahnya kelihatan merah padam. Matanya nyalang menatap seolah ingin menerkamku."Kur*ng ajar kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mencoba merayu Mas Doni. Sadar, Fin ... dia sekarang sudah jadi suamiku. Jangan gangguin suami orang, dong. Apa kamu gak mampu cari laki-laki lain, hah? Kamu masih mengharapkan Mas Doni?"Bukan aku yang merayu Mas Doni, Ran. Percayalah! Dia yang ...," ucapku lirih. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Pasti orang-orang akan mengira bahwa akulah yang menganggu Mas Doni. "Trus, kamu mau bilang, Mas Doni yang merayu k
Bab 7Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun. "Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni. "Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.Seketika
Bab 6Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya. "Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti."Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni."Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi. "Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Ad