Mata ini terus memindai wanita yang sedang duduk menunduk di depanku. Apakah aku terlihat bodoh sekali? Sampai mereka begitu menyusun rencana tidak rapi blas. Seharusnya biar kelihatan alami, setidaknya diubah dulu kek cara berpakaiannya. Ya minimal berpakaian seperti emang dari desa. Kan juga bukan melalui agensi. Harusnya emang kurang pengalaman dan baru mau bekerja.
Okelah, aku akan tetap pura-pura tidak tahu dan mengikuti rencana mereka. Bukankah manis sekali saat mendengarkan tukang bohong ngarang cerita.
“Owh ya, Kamu sudah dikasih tau belum sama Ibu tugasnya ngapain saja di sini?“ tanyaku ke arah si Clara.
Setelah sekian menit hanya ada hembusan napas, akhirnya aku mulai mengobrol kembali.
“Belum, Bu.“
“Kamu tahu kan, posisi kamu di sini hanya pembantu? Bukan baby sitter? Itu artinya kalau Pembantu itu mengerjakan semua pekerjaan rumah juga membantu mengasuh bayi yang ada di rumah ini, sedangkan untuk baby sitter itu kusus memegang bayi dan kebutuhan bayi, hanya itu. Kamu paham?“
“Paham, Bu.“
“Mumpung belum terlanjur, aku tanyan ya, kamu sanggup melakukan semua?“ tanyaku dengan sedikit penekanan.
“Sangguplah, Bu. Kecil itu.“
“Baiklah, Amira kebetulan lagi tidur, Kamu boleh istirahat dulu, untuk bersih-bersihnya mulai besok gak papa. Nanti malam aku kasih jadwal jam berapa harus ngapain.“
Wanita itu mengangguk, rona wajahnya berubah menjadi agak merah kegelapan. Sepertinya sedang menahan sesuatu, marah mungkin atau malu? Hahaha entahlah.
Ini baru permulaan kali.
“Yuk aku antar ke kamarmu,” ajakku sambil beranjak.
Ibu mertua lebih dulu beranjak, bola mataku sedikit membulat saat melihat tangan Ibu.
“Wah, gelangnya baru ya, Bu?“ tanyaku menahan tangan Ibu yang tersemat sebuah gelang emas dengan aksen beberapa mutiara di tengahnya.
“Iya, dong.“ Ibu menjawab sembari menarik tangannya dan mengelus gelangnya berulangkali.
Banyak sekali duitnya, kemarin lagi beli tas juga gamis yang katanya ngabisin duit pake juta. Sekarang gelang baru.
Wahhh. Daebak.
“Wah, keren. Banyak sekali duitnya, Bu. Padahal bapak kerjanya cuma mancing ya, Bu? Wah jangan-jangan pas mancing nemu berlian di perut ikan?“ candaku dengan sedikit menyindir.
“Sudahlah, jangan kepo!“ sungutnya ke arahku lalu pergi begitu saja.
Aku menatap kepergiannya dengan sedikit sesak dalam dada. Ibu mertuaku begitu royal dengan dirinya sendiri. Bahkan bisa dibilang boros demi egonya.
Sedangkan aku sebagai menantunya untuk membeli baju pun menunggu ramadhan tiba itupun duitnya ditambah sama Ibu kandungku. Padahal di rumah ini yang bekerja hanyalah Mas Pram. Itupun kurasa mengumpulkan uang setahun tak kan bisa secepatnya terkumpul banyak uang, lantas ibu dapat uang darimana?
Bapaknya pun pulang cuma makan dan tidur setelah itu menghabiskan waktunya hanya memancing dan tidak pernah membawa hasil tangkapan ke rumah. Setiap ditanya pasti jawabannya sudah dimakan bersama teman sekalian pas mancing langsung dibakar.
Entahlah mungkin benar atau gak dapat ikan. Aku tidak tahu.
Aku mendengkus dan kembali beranjak untuk mengantarkan mbaknya ke kamar.
“Itu lemari kecil nanti buat menyimpan bajumu ya,” tunjukku ke dalam kamar yang terletak disamping dapur. Kamar ini memang sengaja dulu dibuat untuk diperuntukkan pembantu.
Satu ranjang berukuran 120x200 cm dan ada lemari juga meja untuk keperluan si Mbaknya.
Clara mengangguk dan menyeret kopernya ke dalam kamar. Aku bergegas mengambilkan sprei yang tersimpan rapi di kamarku.
Setelah itu aku mengantarkan kembali sprei itu ke kamar Clara.
Ponselku berdering lagi, aku sedikit berlari ke meja dapur dan langsung mengambil benda pipih itu, kuusap layar ponsel dan ternyata temanku, Ratih yang menelpon.
Kupencet tombol hijau dan menempelkan ponselnya ke telinga.
“Hallo, Ratih,” sapaku.
“Aku lagi mengirimkan sebuah video tapi masih loading, nanti, Kamu cermati baik-baik ya!“
Keningku mengernyit, sudah lama tidak kontak-kontakan, tiba-tiba mengabari mengirimkan video, video apa?
Dia temanku masa kecil di kampung, baru lebaran kemarin bertemu dan bertukar nomor WA setelah itu kami asik sendiri sampai lupa saling kirim kabar. Dia memang sekarang tinggal sama dengan kotaku yang sekarang.
“Video apa, Ratih?“
“Nanti, Kamu tahu sendiri, Sherly. Sudah ya, aku matikan telepon, ini ada pelanggan datang.“
Sambungan telepon sudah berakhir. Kini aku menunggu dengan setia membuka WA dia untuk menerima kiriman video. Duh, Ratih bikin penasaran saja.
Next lagi ya...
Terimakasih
POV ClaraAku bangun lebih pagi untuk hari ini, dimana hari yang ditentukan Mas Pram untuk datang ke rumahnya. Aku sudah mengurus semua pekerjaan termasuk surat resign dan juga sudah berpamitan dengan penjaga rumah rusun.Hati ini bahagia sekali, sebentar lagi aku akan menjadi nyonya, emang benar dugaanku, Pram itu sampai sekarang masih bodoh. Maunya dibohongi.Ah sudahlah, aku sekarang harus dandan secantik mungkin demi terlihat lebih cantik daripada istri Pram itu.Aku tebak Istrinya itu pasti akan tunduk sama aku. Nanti akan kubuat dia mau melakukan apapun yang aku suruh, gak apa-apa lah, berakting dulu jadi pembantu.Selisih hari aku akan balikkan semua itu. Bahkan lebih kejam. Apalagi Pram sepertinya sudah bosen dengan istrinya itu. Kalau tidak mana mungkin dia mau kesini dan mengasuh bayiku tanpa curiga.Nanti pasti Pram akan mendukungku penuh. Lihat saja permainan seorang Clara Inggrid.Ada untungnya juga Amira lahir selamat. Amira hebat dari Janin. Berupaya aku minum obat pen
Pesan pun terkirim, tidak menunggu lama pesan itu langsung dibaca Pram dan langsung ada kode sedang mengetik. [Jangan lupa, kita harus tetap berpura-pura tidak mengenal dan, Kamu akting sebagai pembantu dan harus nurut sama Sherly. Ini semua demi kebaikan semua] Aku mendecak kesal saat membaca pesan yang dikirim Pram. Mau tidak mau aku harus menuruti ucapannya demi sebuah tujuan. Tidak lama laju mobil mulai pelan. “Non, tolong dicek lagi, apakah rumah ini sesuai tujuan, Non. Kalau dilihat dari nomor yang tertulis di samping pagar memang benar adanya,” ucap Pak Sopir sambil menurunkan kaca jendela mobil. Aku menoleh dan tidak sadar mulut ini membulat sempurna, bagaimana tidak. Yang kukira megah bertingkat tinggi dan ada beberapa patung di depan sebagai penghias seperti di film-film itu ternyata hanya terjadi di anganku saja. Aku pun pasrah keluar mobil setelah membayar sejumlah tagihan. Cukup lama kaki ini masih berdiri di depan gerbang meskipun mobil sudah meninggalkanku. Rumah
Aku menghempaskan ranjang dan mengibaskan dengan tanganku. Rasanya emosiku melebihi rasa capek karena perjalanan. Belum sempat duduk wanita itu sudah datang lagi ke sini.“Ini spreinya, dan ini beberapa baju untukmu silahkan pakai gratis, hanya sementara di sini saja. Juga ini kertas jadwal silahkan dibaca, ini rincian setelah, Kamu bangun dan sebelum, Kamu tidur! Aku harap jam 5 sudah bangun,“ ucapnya sembari meletakkan setumpuk barang ke ranjang.Lalu meninggalkan aku begitu saja.Aku langsung mengambilnya, membuka lembar demi lembar baju untuk melihat seperti apa modelnya.Kurang ajar sekali dia memberikan model baju tua seperti ini. Baju kurung, daster dan stelan baju warna pink tua. Fuck!Kubanting baju-baju itu ke lantai dasar, tidak peduli baju itu mengenai debu. Biar!Sialan, rupanya dia mulai mengibarkan bendera nyata ke arahku!Aku langsung meraih kertas yang ikut terjatuh ke lantai.Bola mataku membulat sempurna lagi saat mengetahui jadwal apa yang tertulis. Gila! Bahkan a
POV Sherly Video yang dikirim Ratih masuk juga ke ponselku, aku tidak sabar langsung klik tombol putar. Bola mataku membulat sempurna menyaksikan videonya tanpa berkedip. Bahkan satu putaran pun tidak puas, kuputar lagi untuk memastikan. Aku tersenyum kecil dengan pikiran menerawang. Tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Ratih yang sudah berbaik hati mengirimkan video penting.Aku bersenandung ria dan mengambil handuk untuk mandi, Dari pagi sudah melakukan pekerjaan berat. Sekarang waktunya untuk membersihkan diri. Kulirik sebentar ke dinding, sudah jam 6 sore, tumben Mas Pram belum pulang. Kulanjutkan langkah ini ke kamar mandi dengan memijit lengan. Pikiranku sudah berkelana dengan rencana demi rencana, satu modal sudah aku dapatkan. Tinggal nanti aku ketemu sama ibu Mertua, semoga saja lancar jaya. 5 menit sudah berlalu, aku segera memakai baju dan mengusap badan ini dengan lotion, tidak sabar ingin segera menghampiri ibu. Dengan langkah sedikit elegan aku keluar kamar, k
"Jangan!“ “Terus gimana, Ibu?““Baiklah,” lirihnya pelan dengan mencebik. Benar tebakanku Ibu pasti akan memilih harga dirinya. Alhamdulillah, setidaknya kedepan Ibu tidak bisa semena-mena lagi, aku sedikit tersenyum lalu berbalik meninggalkan Ibu. “Awas kalau tersebar! Ibu tidak tinggal diam!“ desisnya meneriakiku.Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya sembari mengangguk lalu berjalan lagi.“Terimakasih, Ratih,” gumamku. Kuusap layar ponsel dan mengetik sesuatu untuk Ratih.[Ratih, Aku minta tolong Video tetap disimpan di sana ya, jangan dihapus juga jangan disebar. Terimakasih sebelumnya, ya]Tidak lama pesan dibalas olehnya. Aku tersenyum membacanya. Alhamdulillah aman untuk kedepannya untuk jaga-jaga.[Oke, sama-sama]Hari semakin larut, Mas Pram juga tak kunjung pulang. Tumben sekali. Aku mendesah dan merogoh ponsel dari saku daster yang lagi kupakai.Kutekan layar ponsel dan mencari kontak Suamiku. Setelahnya kupencet tombol panggilan.“Hallo, Mas. Kok tumben belum pulang?“
POV Sherly.Aku langsung merampas kantong plastik itu, aku bukan tipe yang memendam rasa penasaran. Kubuka lebar-lebar di depan Ibu juga Mas Pram. Sebuah dusbook dan cover ponsel.Ternyata sebuah ponsel keluaran terbaru dengan merk yang terkenal mahal dan mewah dengan 3 icon kamera dibelakang. Tapi dilapisi kantong plastik. Mungkin tujuanku untuk mengikuti. Keningku berkerut. Aku tidak pernah meminta untuk membelikan ponsel. Ponsel Ibu juga masih bagus. Jangan-jangan? Aku tepiskan pikiran buruk ini. Lebih baik kerjai aja Mas Pram. “Apa ini, Mas. Terimakasih ya. Mas tahu aja kalau sebentar lagi aku ngonten dan butuh upgrade ponsel.“ Aku langsung tersenyum lebar dan memeluk ponsel ini. “Dek, jangan itu buat—”“Buat siapa, Mas? Ibu juga baru beli kan 4 bulan yang lalu. Lagian ponsel seperti ini mana paham.““Siniin, Dek. Itu aku pesan untuk Mas sendiri.““Gak mau, Adek pengen ini, Mas. Mas pake ponselku saja,” ucapku enteng seperti tanpa dosa. Kali ini aku akan bersikap songong un
“Ya sudahlah, semoga aja mau.““Lah, emang buat siapa, Mas? Kok ada Semoga aja? Katanya buat diri sendiri?“ Kini aku sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.“Sebenarnya itu untuk Clara, Dek. Dia yang minta tipe dan merk Ponsel itu. Tapi malah, Kamu ambil,” keluhnya.“Apa, Mas. Clara? Dia baru datang lho, Mas. Kerja aja baru sehari sudah mau dibelikan iPhone. Ini harga 20 juta lebih lho, Mas. Sama istri aja, Kamu gak royal begitu.““Clara bilangnya kasbon, Dek.““Berani sekali dia minta kasbon setinggi itu. Minta lewat apa? Kalian saling mengirim pesan?“ Tak habis pikir aku dengan lelaki yang bergelar suami itu. Ya Allah nyeseknya sampai ulu hati. “Ini semua tidak seperti yang, Kamu pikirkan, Dek. Please. Jangan berpikiran negatif ya.“ “Semakin kesini, tingkahmu semakin mencurigakan, Mas.““Dek, sudah ya. Oke ponsel itu boleh untukmu, tapi tolong jangan berpikiran negatif ya,” lirihnya sembari menghampiriku dengan hendak memeluk.Aku langsung menghindar, menepis pelukan itu
POV Sherly.Aku terbangun di tengah malam, tenggorokanku begitu serak dan sering batuk-batuk membuatku terpaksa bangun. Aku menoleh ke samping, tidak ada Amira juga Mas Pram. Keningku berkerut sembari menyibakkan selimut yang menutupi badan ini. Aku beranjak keluar hendak mengambil air putih yang berada dekat dapur.Mataku menyipit saat melihat seperti ada bayangan hitam dari arah ruang tamu. Ruangan juga sudah gelap tidak ada lampu yang menyala.Rasa penasaranku membuatku terus melangkah mendekat. Kursi demi kursi pun letaknya sudah berbeda dari sebelumnya. Lebih renggang, aku melangkah lagi.Bola mataku membulat sempurna, saat mendapati Amira tidur di atas sofa, sedangkan di bawahnya terdapat seseorang dengan ditutup selimut. Tidak! aku menggeleng lagi, sepertinya dua orang. Tak ingin kehilangan kesempatan aku langsung bergegas mengambil ponsel di kamar. Tak ingin menimbulkan suara kututup mulut ini rapat-rapat menggunakan telapak tangan, aku pun melangkah menjinjit meninggalkan
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!