"Jangan!“ “Terus gimana, Ibu?““Baiklah,” lirihnya pelan dengan mencebik. Benar tebakanku Ibu pasti akan memilih harga dirinya. Alhamdulillah, setidaknya kedepan Ibu tidak bisa semena-mena lagi, aku sedikit tersenyum lalu berbalik meninggalkan Ibu. “Awas kalau tersebar! Ibu tidak tinggal diam!“ desisnya meneriakiku.Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya sembari mengangguk lalu berjalan lagi.“Terimakasih, Ratih,” gumamku. Kuusap layar ponsel dan mengetik sesuatu untuk Ratih.[Ratih, Aku minta tolong Video tetap disimpan di sana ya, jangan dihapus juga jangan disebar. Terimakasih sebelumnya, ya]Tidak lama pesan dibalas olehnya. Aku tersenyum membacanya. Alhamdulillah aman untuk kedepannya untuk jaga-jaga.[Oke, sama-sama]Hari semakin larut, Mas Pram juga tak kunjung pulang. Tumben sekali. Aku mendesah dan merogoh ponsel dari saku daster yang lagi kupakai.Kutekan layar ponsel dan mencari kontak Suamiku. Setelahnya kupencet tombol panggilan.“Hallo, Mas. Kok tumben belum pulang?“
POV Sherly.Aku langsung merampas kantong plastik itu, aku bukan tipe yang memendam rasa penasaran. Kubuka lebar-lebar di depan Ibu juga Mas Pram. Sebuah dusbook dan cover ponsel.Ternyata sebuah ponsel keluaran terbaru dengan merk yang terkenal mahal dan mewah dengan 3 icon kamera dibelakang. Tapi dilapisi kantong plastik. Mungkin tujuanku untuk mengikuti. Keningku berkerut. Aku tidak pernah meminta untuk membelikan ponsel. Ponsel Ibu juga masih bagus. Jangan-jangan? Aku tepiskan pikiran buruk ini. Lebih baik kerjai aja Mas Pram. “Apa ini, Mas. Terimakasih ya. Mas tahu aja kalau sebentar lagi aku ngonten dan butuh upgrade ponsel.“ Aku langsung tersenyum lebar dan memeluk ponsel ini. “Dek, jangan itu buat—”“Buat siapa, Mas? Ibu juga baru beli kan 4 bulan yang lalu. Lagian ponsel seperti ini mana paham.““Siniin, Dek. Itu aku pesan untuk Mas sendiri.““Gak mau, Adek pengen ini, Mas. Mas pake ponselku saja,” ucapku enteng seperti tanpa dosa. Kali ini aku akan bersikap songong un
“Ya sudahlah, semoga aja mau.““Lah, emang buat siapa, Mas? Kok ada Semoga aja? Katanya buat diri sendiri?“ Kini aku sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.“Sebenarnya itu untuk Clara, Dek. Dia yang minta tipe dan merk Ponsel itu. Tapi malah, Kamu ambil,” keluhnya.“Apa, Mas. Clara? Dia baru datang lho, Mas. Kerja aja baru sehari sudah mau dibelikan iPhone. Ini harga 20 juta lebih lho, Mas. Sama istri aja, Kamu gak royal begitu.““Clara bilangnya kasbon, Dek.““Berani sekali dia minta kasbon setinggi itu. Minta lewat apa? Kalian saling mengirim pesan?“ Tak habis pikir aku dengan lelaki yang bergelar suami itu. Ya Allah nyeseknya sampai ulu hati. “Ini semua tidak seperti yang, Kamu pikirkan, Dek. Please. Jangan berpikiran negatif ya.“ “Semakin kesini, tingkahmu semakin mencurigakan, Mas.““Dek, sudah ya. Oke ponsel itu boleh untukmu, tapi tolong jangan berpikiran negatif ya,” lirihnya sembari menghampiriku dengan hendak memeluk.Aku langsung menghindar, menepis pelukan itu
POV Sherly.Aku terbangun di tengah malam, tenggorokanku begitu serak dan sering batuk-batuk membuatku terpaksa bangun. Aku menoleh ke samping, tidak ada Amira juga Mas Pram. Keningku berkerut sembari menyibakkan selimut yang menutupi badan ini. Aku beranjak keluar hendak mengambil air putih yang berada dekat dapur.Mataku menyipit saat melihat seperti ada bayangan hitam dari arah ruang tamu. Ruangan juga sudah gelap tidak ada lampu yang menyala.Rasa penasaranku membuatku terus melangkah mendekat. Kursi demi kursi pun letaknya sudah berbeda dari sebelumnya. Lebih renggang, aku melangkah lagi.Bola mataku membulat sempurna, saat mendapati Amira tidur di atas sofa, sedangkan di bawahnya terdapat seseorang dengan ditutup selimut. Tidak! aku menggeleng lagi, sepertinya dua orang. Tak ingin kehilangan kesempatan aku langsung bergegas mengambil ponsel di kamar. Tak ingin menimbulkan suara kututup mulut ini rapat-rapat menggunakan telapak tangan, aku pun melangkah menjinjit meninggalkan
Apa ini kok ribut-ribut di tengah malam begini?“ Aku menoleh ke arah suara cempreng itu, Mak lampir lagi, membuat moodku langsung amblas.“Terserah!“ desisku di depan wajah Mas Pram lalu berbalik meninggalkan mereka.Aku menghela napas ini, lebih baik lekas sampai kamar lalu kukunci rapat pintunya. Disana aku bebas nangis Bombay sekalipun.“Heh! Orang tua datang, malah ditinggal pergi, dasar mantu mandul!“ Aku menoleh lalu mengacungkan jari tengah ke arahnya, dulu aku masih bisa menahan semua cacian dan menelan begitu saja, tapi sekarang buat apa, toh pernikahan ini sudah tidak baik-baik saja.Aku lalu berjalan cepat ke kamar sebelum ibu mertua menyusulku, segera kukunci rapat pintu dan aku bersender di depannya.BRAK!BRAK!BRAK!“KELUAR, KAMU!“ teriak Ibu mertua dari luar.Benar dugaanku, Ibu pasti tidak terima aku melakukan tadi, ha ha ha, lucu sekali hidupku.BRAK! BRAK! BRAK!Sepertinya ibu Mertua tidak menyerah begitu saja, baiklah kukira ototku butuh pemanasan.Kuusap kasar air
POV Ibu mertua.Aku menatap lama ke arah pintu kamar menantuku ini. Seandainya Sherly tidak memiliki video Aibku. Pasti tidak akan menyusahkanku seperti. Mana mungkin aku menerima kalau dia menyebar video tersebut ke orang-orang, bisa hancur harga diriku. Lagian cuma masalah Clara saja sampai heboh begitu, lebay kok kebangetan. Aku saja sebagai ibunya boleh-boleh saja. kenapa dia yang ribet. Aku lebih suka Clara, sudah pasti punya anak juga sepertinya lebih memanjakan aku, tidak seperti Sherly yang apa-apa tidak mau nurut. “Bu, video apa yang dimaksud Sherly tadi, kok, Ibu sepertinya ketakutan?“ tanya Putra semata wayangku membuyarkan lamunan.“Eh, enggak, kok. Sudah jangan penasaran, cuma video gak penting.“ Aku mengibaskan tangan ke arahnya. Semoga putraku tidak curiga dan tanya ke Sherly.“Aku curiga, Bu,” ucapnya menatap tajam ke wajahku.“Apa? Curiga? Tega Kamu mencurigai Ibu? Jangan lupa! siapa yang berjasa membesarkanmu! Kamu tahu Air susu Ibu mengalir ke tubuhmu sampai saa
Aku menoleh, tersenyum ke arahnya, cerdas juga otak anakku, kenapa aku gak kepikiran sampai sana. Sampai lupa sebentar lagi Sherly sudah punya pemasukan. Bisa kumanfaatkan sebaik mungkin.“Baiklah, aku akan membiarkan dia di sini,” lirihku.“Terimakasih, Bu. Berarti, Ibu maukan kalau mulai besok bersikap ramah ke Sherly? Biar Sherly betah dan tidak menginginkan cerai, Bu,” pintanya dengan menaikturunkan alisnya.“Hem.“ Aku menyetujui rencana Pram. Sepertinya aku beruntung nantinya.“Ya sudah, ini sudah malam, Ibu tidur lagi saja ya, aku mau menemani Clara, kasihan kesepian.“Aku mengangguk, lalu ikut bangun untuk mengunci kamar.Setelah kepergian Pram, aku menjatuhkan bobot badanku ke ranjang. Sepertinya malam ini akan tidur nyenyak.***Pagi sekali aku bangun, kulirik jam masih jam setengah empat.Bapak juga tidak pulang semalaman, biarlah.Lebih baik aku ke pasar pagi saja sekalian olahraga. Sudah lama sekali tidak berbelanja sayur rasanya kangen. Di pasar sini, jam 3 pagi pasar su
POV Sherly.Alunan suara Adzan membangunkan tidur malamku, kemarin aku tidak berniat ingin tidur untuk menjaga diri ini tetap aman tapi Alhamdulillah aku terjaga sudah berganti hari dan tetap aman, mungkin pikiranku yang sudah terlanjur negatif sama keluarga suami.Gegas aku beranjak membereskan ranjang dan melipat selimut, berapa malam terlewati dengan tidur seorang diri. Meskipun kesepian tapi ada bagusnya untuk melatih ketika sudah jadi janda nanti.Aku mengambil napas ini lalu membuang perlahan, segera aku keluar kamar menuju kamar mandi untuk berwudhu yang terletak di samping kamar yang aku tempati.Sayup-sayup terdengar suara berisik dari dapur, suara dentingan panci membuatku penasaran, siapa gerangan yang memasak? Clara kah? Biasanya jam segini penghuni rumah masih lelap dalam tidurnya. Hanya aku seorang diri yang bangun dan mengerjakan beberapa tugas.Dengan langkah mengendap aku berjalan ke arah dapur, aku mengintipnya dari celah dinding dan kulkas. Rupanya Ibu yang sedang m
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!