Hari sudah beranjak sore, suara derit pintu terdengar dari ruko sebelah. Ruko yang dibuat jualan baju itu nampaknya mau tutup sore. Tidak seperti biasanya yang tutup selalu di jam sembilan malam sesuai banner yang terpasang.Aku menghela napas ini panjang, aku membuang rasa jenuhku yang menyerang sedari tadi, biasanya dengan memainkan Ponsel dan melihat isi video yang dibagikan oleh seseakun membuatku bersemangat dan menambah wawasan, tapi untuk kali ini terasa sangat hambar.Aku mencoba keluar masuk aplikasi, hanya bosan yang kurasa. Pikiranku masih terpaku dengan calon masa depanku akan seperti apa. Seminggu, waktu yang kuminta bukanlah banyak. Hanya sebentar, salah langkah saja bisa mempertaruhkan kehidupan seumur hidup.Rasa percayaku menipis begitu saja semenjak hidup bersama dengan Pram. Lelaki yang kucintai begitu mudahnya berkhianat. Bahkan pernah merajut kasih sebelum akad nikah itu terjadi. Tapi nyatanya semua hanya seperti omong kosong.Aku takut kebaikan Zen dan Ibunya h
“Tapi luka ini seperti bekas pukulan, Ibu berantem sama suami?“ tanyaku langsung.“Ah, enggak ... mana mungkin, Suamiku orangnya baik kok,” ujarnya dengan memaksakan tersenyum.“Ayo, aku sudah siap ini. Kali ini kita hanya empat orang, soalnya yang lain ada kegiatan. Tapi ada nitip buah tangan untuk Mbak Yanti,” ujarnya lagi.Aku mengangguk, bangkit. Aku pura-pura percaya dengan apa yang dia ucapkan barusan. Bila memang dia sedang menutupi perbuatan jelek suaminya, aku tidak akan tinggal diam. Tentu saja membuat perhitungan dengan lelaki yang tega menyakiti Bu Ratna. Entah nanti dengan cara apa aku membalasnya.Aku keluar, terlihat mbek Reni, mbak Dwi, dan Mbak Padma berjalan ke arahku dengan ada yang membawa buah parcel dan bingkisan apa yang aku tidak tahu.Aku sedikit lega, saat mendengar hanya 4 orang saja yang ke rumah sakit, setidaknya nanti pulangnya bisa sekalian membawa emak dan Bapak untuk ikut pulang, aku ingin membicarakan lamaran ini ke mereka.Setelah mengumpul masuk, ak
POV PRAM.Aku mematut diri di depan cermin. Saat ini aku mengenakan stelan jas yang disewakan oleh Clara kemarin. Ukuran semuanya pas juga sangat nyaman. Aku terlihat sangat gagah sekali kalau berpakaian seperti ini.Aku mencukur berewok yang menutupi dagu juga rahang ini agar terlihat lebih keren lagi, lalu selepas itu, aku melihat jam tangan yang bertengger di lenganku. Sudah jam setengah tujuh. Aku harus sampai ke rumah Paman Clara yang terletak di Pulo Gadung. Di mana akad nikah digelar. Clara dan Amira pun sudah di sana sejak kemarin malam.Clara yang menyiapkan semu keperluan termasuk nge-rental mobil. Sekeren itu istriku yang sekarang.Aku mengenang hidupku yang berubah total, dulu saat bersama Sherly aku bisa mengendarai mobil dan memakai pakaian bagus, juga mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Rumah pun tidak kalah dari teman kerjaku kala itu.Sekarang, kami hanya mempunyai satu sepeda motor. Rumah pun mengontrak, entah sampai kapan kami bisa membeli rumah.Tapi semua itu t
Setelah akad nanti rencananya akan syukuran di rumah ini dengan mengundang beberapa warga untuk tahlilan sekalian makan-makan. Untuk jamuannya sudah memesan katering. Jadi nanti tinggal terima beres, memang ini hajatan beda dari tetangga, tidak ada acara masak besar yang dimasak gotong royong dari para ibu-ibu di sekitar. Aku dengan Clara sangat menyadari kalau ibu-ibu di sini pada menyucikan kami. Aku pun ke rumah Clara hanya mengundang beberapa saksi. Tetua kampung di sini, sama bapak-bapak yang dekat rumah, kami nantinya ke sana bertujuh sudah dengan sopir.Mobil pun sudah datang dan lengkap dengan hiasan pita di atas mobil. Segera aku keluar rumah untuk mendatangi rumah tetua untuk segera bersiap.Tetua mengiyakan dan akan mengambil alih untuk mengabari para undangan yang ikut ke rumah paman Clara. Sementara aku kembali ke rumah untuk mengunci pintu, dan meletakkan kunci di bawah keset sesuai arahan Clara, agar nanti orang katering bisa menyiapkan segalanya sebelum kami kembali
Aku menegakkan punggung ini, pak Penghulu pun duduk di seberang mejaku. Kupandangi gerakannya yang sedang mengeluarkan dari dalam tas yang ia jinjing tadi.Lalu membentangkan di atas meja. Di sana ada beberapa kertas juga ada buku kecil, calon buku nikah kami.Dia lalu menoleh ke kanan kiri, sepertinya ingin memastikan sudah siap atau belum, setelah itu mengangguk-angguk. Lalu menatapku sebentar. Aku pun mengulaskan senyum ke arahnya.“Panggilkan Clara!“ seorang lelaki di sebelahku menoleh ke belakang dengan menunjuk seseorang.Sementara aku disini, diam pasrah menunggu jadwalku.Tidak lama Clara keluar ke arah kami, aku terpana melihat penampilannya, aku yang belum pernah melihat dia mengenakan jilbab membuatku pangling. Kali ini dia mengenakan kebaya pengantin warna putih dan memakai jilbab, juga ada rangkaian melati yang menghias di kepalanya. Makeupnya begitu cocok dengan warna kulitnya yang kuning Langsat. Clara tersenyum ke arahku, aku mengangguk ikut membalas senyumannya.Dia
“Kita dapat uang sebanyak itu darimana, Clara. Ya Allah. Seharusnya ini hari bahagia, kami.“Aku menyugar rambutku, rasa lapar yang aku tahan sedari tadi menguar begitu saja. Bahkan pernikahan aku dengan Sherly dulu aku tidak sepusing ini.Aku menjatuhkan badan ini ke ranjang. Memijit pelipis yang begitu berat.Aku mendoyongkan badan ini dengan tumpuan kedua lengan. Sesekali aku mendongak. Memejamkan kelopak mata ini. TOK!TOK!TOK!Aku terlonjak kaget dan seketika bangkit. Dengan segera aku mengusap kasar wajah ini. Sementara Clara hanya menatapku. Aku segera membukakan pintu. Ternyata Lelaki yang mengaku sebagai pamannya itu.Aku meneguk ludah ini sendiri, rasa sungkan semakin mendera, mengingat jumlah utang yang tidak sedikit oleh beliau.“Mau langsung ke Jakarta?“ tanyanya.Aku langsung mengangguk setuju dan melangkah keluar.Sementara Paman masih diam di tempat dan sesekali melongok ke dalam.Kini sudah tidak kuhiraukan lagi, arah ke mana pembicaraannya. Sudah cukup beban yang ha
Kutinnggalkan dia dan masuk ke arah belakang. Aku dibuat terperanjat saat menatap seorang wanita yang tengah sibuk memindahkan makanan dari karton ke piring saji.Wanita itu, meskipun dari belakang terlihat sangat elegan sekali, gaun yang dipakai pun sangat mewah, bahkan tumit kaki pun putih sekali. Siapa dia? Tukang katering ternyata ada yang sekeren ini, ya? Apa mungkin dia atasannya?Dia masih memunggungiku, akupun tidak melepas pandangan untukku, hingga jilbab yang berbentuk persegi panjang yang ia kenakan itu menjuntai.Ia menunduk dan menoleh ke belakang, sepertinya ingin merapikan jilbabnya.Hingga pandangan kami bertemu.Aku mengerjapkan kelopak mata ini berulangkali, setengah tidak percaya dengan apa yang ada di depanku kini.“Sher ... Sherly?“ Aku gugup menanyainya.Kenapa dia sangat cantik sekali, jauh berbeda saat bersamaku dulu, bahkan perhiasan yang ia kenakan begitu menyilaukan.“Selamat, ya, Mas.“ Dia tersenyum, melangkah mendekat ke arahku.Kini wajah kami hanya berja
Sekembalinya Sherly dari rumahku, Clara mendekat, lalu berbisik.“Mas, kata paman, utangnya harus segera dilunasi.“Rahangku mengeras, Clara sama sekali tidak mengijinkan aku untuk tenang barang sedikitpun. Lihatlah! Para tamu masih sibuk menikmati hidangan, kenapa dia malah sibuk membicarakan utang.Bahkan satu iris daging sapi di rumah pamannya pun tidak aku nikmati, tapi kini aku yang harus menanggung utangnya.Aku mendongak. Mendamaikan hati ini yang ingin memberontak, aku harus cari cara agar bisa melunasi utang ini. Bila tidak, Clara akan terus mencecarku tiada henti, dan itu sangat memuakkan.Tidak ada hitungan hari pujianku yang kusematkan untuknya beruban jadi umpatan. Aku tinggalkan Amira seorang diri, kini aku berpindah menghampiri bapak. Siapa tahu beliau bisa membantuku.“Bapak sudah makan?“ tanyaku ke Bapak yang tengah ngobrol dengan istri barunya.“Eh, ya. Sudah, selamat, ya, Pram. Kini sudah mempunyai istri sah lagi,” selorohnya dengan menepuk pundakku.Aku sedikit me