POV PRAM.Aku mematut diri di depan cermin. Saat ini aku mengenakan stelan jas yang disewakan oleh Clara kemarin. Ukuran semuanya pas juga sangat nyaman. Aku terlihat sangat gagah sekali kalau berpakaian seperti ini.Aku mencukur berewok yang menutupi dagu juga rahang ini agar terlihat lebih keren lagi, lalu selepas itu, aku melihat jam tangan yang bertengger di lenganku. Sudah jam setengah tujuh. Aku harus sampai ke rumah Paman Clara yang terletak di Pulo Gadung. Di mana akad nikah digelar. Clara dan Amira pun sudah di sana sejak kemarin malam.Clara yang menyiapkan semu keperluan termasuk nge-rental mobil. Sekeren itu istriku yang sekarang.Aku mengenang hidupku yang berubah total, dulu saat bersama Sherly aku bisa mengendarai mobil dan memakai pakaian bagus, juga mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Rumah pun tidak kalah dari teman kerjaku kala itu.Sekarang, kami hanya mempunyai satu sepeda motor. Rumah pun mengontrak, entah sampai kapan kami bisa membeli rumah.Tapi semua itu t
Setelah akad nanti rencananya akan syukuran di rumah ini dengan mengundang beberapa warga untuk tahlilan sekalian makan-makan. Untuk jamuannya sudah memesan katering. Jadi nanti tinggal terima beres, memang ini hajatan beda dari tetangga, tidak ada acara masak besar yang dimasak gotong royong dari para ibu-ibu di sekitar. Aku dengan Clara sangat menyadari kalau ibu-ibu di sini pada menyucikan kami. Aku pun ke rumah Clara hanya mengundang beberapa saksi. Tetua kampung di sini, sama bapak-bapak yang dekat rumah, kami nantinya ke sana bertujuh sudah dengan sopir.Mobil pun sudah datang dan lengkap dengan hiasan pita di atas mobil. Segera aku keluar rumah untuk mendatangi rumah tetua untuk segera bersiap.Tetua mengiyakan dan akan mengambil alih untuk mengabari para undangan yang ikut ke rumah paman Clara. Sementara aku kembali ke rumah untuk mengunci pintu, dan meletakkan kunci di bawah keset sesuai arahan Clara, agar nanti orang katering bisa menyiapkan segalanya sebelum kami kembali
Aku menegakkan punggung ini, pak Penghulu pun duduk di seberang mejaku. Kupandangi gerakannya yang sedang mengeluarkan dari dalam tas yang ia jinjing tadi.Lalu membentangkan di atas meja. Di sana ada beberapa kertas juga ada buku kecil, calon buku nikah kami.Dia lalu menoleh ke kanan kiri, sepertinya ingin memastikan sudah siap atau belum, setelah itu mengangguk-angguk. Lalu menatapku sebentar. Aku pun mengulaskan senyum ke arahnya.“Panggilkan Clara!“ seorang lelaki di sebelahku menoleh ke belakang dengan menunjuk seseorang.Sementara aku disini, diam pasrah menunggu jadwalku.Tidak lama Clara keluar ke arah kami, aku terpana melihat penampilannya, aku yang belum pernah melihat dia mengenakan jilbab membuatku pangling. Kali ini dia mengenakan kebaya pengantin warna putih dan memakai jilbab, juga ada rangkaian melati yang menghias di kepalanya. Makeupnya begitu cocok dengan warna kulitnya yang kuning Langsat. Clara tersenyum ke arahku, aku mengangguk ikut membalas senyumannya.Dia
“Kita dapat uang sebanyak itu darimana, Clara. Ya Allah. Seharusnya ini hari bahagia, kami.“Aku menyugar rambutku, rasa lapar yang aku tahan sedari tadi menguar begitu saja. Bahkan pernikahan aku dengan Sherly dulu aku tidak sepusing ini.Aku menjatuhkan badan ini ke ranjang. Memijit pelipis yang begitu berat.Aku mendoyongkan badan ini dengan tumpuan kedua lengan. Sesekali aku mendongak. Memejamkan kelopak mata ini. TOK!TOK!TOK!Aku terlonjak kaget dan seketika bangkit. Dengan segera aku mengusap kasar wajah ini. Sementara Clara hanya menatapku. Aku segera membukakan pintu. Ternyata Lelaki yang mengaku sebagai pamannya itu.Aku meneguk ludah ini sendiri, rasa sungkan semakin mendera, mengingat jumlah utang yang tidak sedikit oleh beliau.“Mau langsung ke Jakarta?“ tanyanya.Aku langsung mengangguk setuju dan melangkah keluar.Sementara Paman masih diam di tempat dan sesekali melongok ke dalam.Kini sudah tidak kuhiraukan lagi, arah ke mana pembicaraannya. Sudah cukup beban yang ha
Kutinnggalkan dia dan masuk ke arah belakang. Aku dibuat terperanjat saat menatap seorang wanita yang tengah sibuk memindahkan makanan dari karton ke piring saji.Wanita itu, meskipun dari belakang terlihat sangat elegan sekali, gaun yang dipakai pun sangat mewah, bahkan tumit kaki pun putih sekali. Siapa dia? Tukang katering ternyata ada yang sekeren ini, ya? Apa mungkin dia atasannya?Dia masih memunggungiku, akupun tidak melepas pandangan untukku, hingga jilbab yang berbentuk persegi panjang yang ia kenakan itu menjuntai.Ia menunduk dan menoleh ke belakang, sepertinya ingin merapikan jilbabnya.Hingga pandangan kami bertemu.Aku mengerjapkan kelopak mata ini berulangkali, setengah tidak percaya dengan apa yang ada di depanku kini.“Sher ... Sherly?“ Aku gugup menanyainya.Kenapa dia sangat cantik sekali, jauh berbeda saat bersamaku dulu, bahkan perhiasan yang ia kenakan begitu menyilaukan.“Selamat, ya, Mas.“ Dia tersenyum, melangkah mendekat ke arahku.Kini wajah kami hanya berja
Sekembalinya Sherly dari rumahku, Clara mendekat, lalu berbisik.“Mas, kata paman, utangnya harus segera dilunasi.“Rahangku mengeras, Clara sama sekali tidak mengijinkan aku untuk tenang barang sedikitpun. Lihatlah! Para tamu masih sibuk menikmati hidangan, kenapa dia malah sibuk membicarakan utang.Bahkan satu iris daging sapi di rumah pamannya pun tidak aku nikmati, tapi kini aku yang harus menanggung utangnya.Aku mendongak. Mendamaikan hati ini yang ingin memberontak, aku harus cari cara agar bisa melunasi utang ini. Bila tidak, Clara akan terus mencecarku tiada henti, dan itu sangat memuakkan.Tidak ada hitungan hari pujianku yang kusematkan untuknya beruban jadi umpatan. Aku tinggalkan Amira seorang diri, kini aku berpindah menghampiri bapak. Siapa tahu beliau bisa membantuku.“Bapak sudah makan?“ tanyaku ke Bapak yang tengah ngobrol dengan istri barunya.“Eh, ya. Sudah, selamat, ya, Pram. Kini sudah mempunyai istri sah lagi,” selorohnya dengan menepuk pundakku.Aku sedikit me
Mataku membeliak sempurna, ini adalah kue-kue dan camilan yang memang disajikan untuk tamu. Tapi kenapa bisa berkumpul di sini?“Eh, ini punya Bibi. Daripada kebuang kan sayang, jadi Bibi nyicil mungutnya tadi.“ Bibi merangsek kantong plastik yang tengah aku pelototi ini. Dia menariknya dan mengikat lagi.Darimana Tante bisa mendapatkan sejumlah plastik?Aku rasa aku tidak pernah menyimpan di rumah ini, karena setiap ada pun langsung terpakai untuk membungkus sampah.Aku yang masih terkejut pun hanya bisa memperhatikan Bibi yang tidak kunjung selesai membungkus makanan. Bahkan dia dengan beraninya memindahkan semua isi piring saji ke dalam kantong plastik yang ia bawa. Aku yang melihatnya pun sedikit ngilu. Miris. Kuakui katering yang kami pesan memang masakan yang enak. Aku sempat mencicipinya sedikit tadi. Rasanya sayang semua makanan sudah terbungkus rapi dan akan dibawa oleh Bibi. Ingin rasanya berteriak meminta menyisakan barang sedikit untuk kami makan di malam hari nanti. Ta
“Katanya kamu menikah, Pram?“ tanya ibuku sambil duduk di hadapanku.Aku mengangguk, sementara Ibu menyingkapkan lengan bajunya yang nampak basah sebagian.“Kenapa gak jemput Ibu?“ tanyanya lagi.Napasku tercekat, perasaan bersalah mulai menguasaiku. Kenapa juga kemarin aku tidak sampai kepikiran untuk menjemput ibu dulu, ya Allah. “Sudah lupa, ya?“ Aku bergeming, tanpa berani memandang wanita di depanku.“Ehm mana makanannya? Ke sini mau berbagi makanan kan biar Ibu bisa ikut mencicipi?““Maaf, Bu.“ Aku mendongak memberanikan diri menatap Ibu. Nampak dia sedang celingak-celinguk mencari sesuatu dibalik punggung ini.Aku meremas lutut. Ibu tersenyum kecut setelah tidak menemukan apa-apa.“Bu, Pram ke sini sebenarnya ingin minta tolong,” Aku memberanikan diri untuk menyampaikan tujuan utamaku. Bagaimanapun ini masalah genting.“Tolong? Untuk apa, Pram?“ “Bu, bolehkah Pram minta perhiasan, Ibu?“Respon Ibu lumayan membuat hatiku menciut, dia melebarkan pupil matanya dan mendekatkan
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!