Setelah akad nanti rencananya akan syukuran di rumah ini dengan mengundang beberapa warga untuk tahlilan sekalian makan-makan. Untuk jamuannya sudah memesan katering. Jadi nanti tinggal terima beres, memang ini hajatan beda dari tetangga, tidak ada acara masak besar yang dimasak gotong royong dari para ibu-ibu di sekitar. Aku dengan Clara sangat menyadari kalau ibu-ibu di sini pada menyucikan kami. Aku pun ke rumah Clara hanya mengundang beberapa saksi. Tetua kampung di sini, sama bapak-bapak yang dekat rumah, kami nantinya ke sana bertujuh sudah dengan sopir.Mobil pun sudah datang dan lengkap dengan hiasan pita di atas mobil. Segera aku keluar rumah untuk mendatangi rumah tetua untuk segera bersiap.Tetua mengiyakan dan akan mengambil alih untuk mengabari para undangan yang ikut ke rumah paman Clara. Sementara aku kembali ke rumah untuk mengunci pintu, dan meletakkan kunci di bawah keset sesuai arahan Clara, agar nanti orang katering bisa menyiapkan segalanya sebelum kami kembali
Aku menegakkan punggung ini, pak Penghulu pun duduk di seberang mejaku. Kupandangi gerakannya yang sedang mengeluarkan dari dalam tas yang ia jinjing tadi.Lalu membentangkan di atas meja. Di sana ada beberapa kertas juga ada buku kecil, calon buku nikah kami.Dia lalu menoleh ke kanan kiri, sepertinya ingin memastikan sudah siap atau belum, setelah itu mengangguk-angguk. Lalu menatapku sebentar. Aku pun mengulaskan senyum ke arahnya.“Panggilkan Clara!“ seorang lelaki di sebelahku menoleh ke belakang dengan menunjuk seseorang.Sementara aku disini, diam pasrah menunggu jadwalku.Tidak lama Clara keluar ke arah kami, aku terpana melihat penampilannya, aku yang belum pernah melihat dia mengenakan jilbab membuatku pangling. Kali ini dia mengenakan kebaya pengantin warna putih dan memakai jilbab, juga ada rangkaian melati yang menghias di kepalanya. Makeupnya begitu cocok dengan warna kulitnya yang kuning Langsat. Clara tersenyum ke arahku, aku mengangguk ikut membalas senyumannya.Dia
“Kita dapat uang sebanyak itu darimana, Clara. Ya Allah. Seharusnya ini hari bahagia, kami.“Aku menyugar rambutku, rasa lapar yang aku tahan sedari tadi menguar begitu saja. Bahkan pernikahan aku dengan Sherly dulu aku tidak sepusing ini.Aku menjatuhkan badan ini ke ranjang. Memijit pelipis yang begitu berat.Aku mendoyongkan badan ini dengan tumpuan kedua lengan. Sesekali aku mendongak. Memejamkan kelopak mata ini. TOK!TOK!TOK!Aku terlonjak kaget dan seketika bangkit. Dengan segera aku mengusap kasar wajah ini. Sementara Clara hanya menatapku. Aku segera membukakan pintu. Ternyata Lelaki yang mengaku sebagai pamannya itu.Aku meneguk ludah ini sendiri, rasa sungkan semakin mendera, mengingat jumlah utang yang tidak sedikit oleh beliau.“Mau langsung ke Jakarta?“ tanyanya.Aku langsung mengangguk setuju dan melangkah keluar.Sementara Paman masih diam di tempat dan sesekali melongok ke dalam.Kini sudah tidak kuhiraukan lagi, arah ke mana pembicaraannya. Sudah cukup beban yang ha
Kutinnggalkan dia dan masuk ke arah belakang. Aku dibuat terperanjat saat menatap seorang wanita yang tengah sibuk memindahkan makanan dari karton ke piring saji.Wanita itu, meskipun dari belakang terlihat sangat elegan sekali, gaun yang dipakai pun sangat mewah, bahkan tumit kaki pun putih sekali. Siapa dia? Tukang katering ternyata ada yang sekeren ini, ya? Apa mungkin dia atasannya?Dia masih memunggungiku, akupun tidak melepas pandangan untukku, hingga jilbab yang berbentuk persegi panjang yang ia kenakan itu menjuntai.Ia menunduk dan menoleh ke belakang, sepertinya ingin merapikan jilbabnya.Hingga pandangan kami bertemu.Aku mengerjapkan kelopak mata ini berulangkali, setengah tidak percaya dengan apa yang ada di depanku kini.“Sher ... Sherly?“ Aku gugup menanyainya.Kenapa dia sangat cantik sekali, jauh berbeda saat bersamaku dulu, bahkan perhiasan yang ia kenakan begitu menyilaukan.“Selamat, ya, Mas.“ Dia tersenyum, melangkah mendekat ke arahku.Kini wajah kami hanya berja
Sekembalinya Sherly dari rumahku, Clara mendekat, lalu berbisik.“Mas, kata paman, utangnya harus segera dilunasi.“Rahangku mengeras, Clara sama sekali tidak mengijinkan aku untuk tenang barang sedikitpun. Lihatlah! Para tamu masih sibuk menikmati hidangan, kenapa dia malah sibuk membicarakan utang.Bahkan satu iris daging sapi di rumah pamannya pun tidak aku nikmati, tapi kini aku yang harus menanggung utangnya.Aku mendongak. Mendamaikan hati ini yang ingin memberontak, aku harus cari cara agar bisa melunasi utang ini. Bila tidak, Clara akan terus mencecarku tiada henti, dan itu sangat memuakkan.Tidak ada hitungan hari pujianku yang kusematkan untuknya beruban jadi umpatan. Aku tinggalkan Amira seorang diri, kini aku berpindah menghampiri bapak. Siapa tahu beliau bisa membantuku.“Bapak sudah makan?“ tanyaku ke Bapak yang tengah ngobrol dengan istri barunya.“Eh, ya. Sudah, selamat, ya, Pram. Kini sudah mempunyai istri sah lagi,” selorohnya dengan menepuk pundakku.Aku sedikit me
Mataku membeliak sempurna, ini adalah kue-kue dan camilan yang memang disajikan untuk tamu. Tapi kenapa bisa berkumpul di sini?“Eh, ini punya Bibi. Daripada kebuang kan sayang, jadi Bibi nyicil mungutnya tadi.“ Bibi merangsek kantong plastik yang tengah aku pelototi ini. Dia menariknya dan mengikat lagi.Darimana Tante bisa mendapatkan sejumlah plastik?Aku rasa aku tidak pernah menyimpan di rumah ini, karena setiap ada pun langsung terpakai untuk membungkus sampah.Aku yang masih terkejut pun hanya bisa memperhatikan Bibi yang tidak kunjung selesai membungkus makanan. Bahkan dia dengan beraninya memindahkan semua isi piring saji ke dalam kantong plastik yang ia bawa. Aku yang melihatnya pun sedikit ngilu. Miris. Kuakui katering yang kami pesan memang masakan yang enak. Aku sempat mencicipinya sedikit tadi. Rasanya sayang semua makanan sudah terbungkus rapi dan akan dibawa oleh Bibi. Ingin rasanya berteriak meminta menyisakan barang sedikit untuk kami makan di malam hari nanti. Ta
“Katanya kamu menikah, Pram?“ tanya ibuku sambil duduk di hadapanku.Aku mengangguk, sementara Ibu menyingkapkan lengan bajunya yang nampak basah sebagian.“Kenapa gak jemput Ibu?“ tanyanya lagi.Napasku tercekat, perasaan bersalah mulai menguasaiku. Kenapa juga kemarin aku tidak sampai kepikiran untuk menjemput ibu dulu, ya Allah. “Sudah lupa, ya?“ Aku bergeming, tanpa berani memandang wanita di depanku.“Ehm mana makanannya? Ke sini mau berbagi makanan kan biar Ibu bisa ikut mencicipi?““Maaf, Bu.“ Aku mendongak memberanikan diri menatap Ibu. Nampak dia sedang celingak-celinguk mencari sesuatu dibalik punggung ini.Aku meremas lutut. Ibu tersenyum kecut setelah tidak menemukan apa-apa.“Bu, Pram ke sini sebenarnya ingin minta tolong,” Aku memberanikan diri untuk menyampaikan tujuan utamaku. Bagaimanapun ini masalah genting.“Tolong? Untuk apa, Pram?“ “Bu, bolehkah Pram minta perhiasan, Ibu?“Respon Ibu lumayan membuat hatiku menciut, dia melebarkan pupil matanya dan mendekatkan
“Yakin, Bu?“ tanyaku menatap lekat ke arah Ibu.Ibu nampak tidak mengindahkan pertanyaanku. Aku menghela napas ini, kelegaan yang sempat tercipta tadi, kini meredup begitu saja, apakah aku memang harus menjual ginjalku satu?Aku menggeleng. Itu adalah hal kegilaan. Aku masih punya Amira. Jangan sampai aku mati muda sia-sia.“Len!“ Bapak ikut meninggikan suara.Aku sedikit terlonjak dibuatnya.Baru kali ini aku menyaksikan bapak bisa sekasar ini, bapak yang aku kenal dengan kelembutannya dan selalu mengalah ketika Ibu meninggikan suara sewaktu kita serumah dulu.Aku memandang ibu tiada henti. Badan ibu bergetar, dia menggeleng cepat berulang kali. “Katakan saja, emas itu di mana? Tidak perlu disembunyikan! Kamu gak kasihan lihat Anakmu terlilit utang?“ ujar Bapak lagi.“Bukannya kemarin bilang ketemu Sherly kan, Pak. Gimna kalau kita pertemukan saja Ibu dengan Sherly?“ Aku menatap lekat ke Ibu. Aku tidak tega, hanya saja aku meminta tolong sama ibu, itu saja. “Kenapa, kamu begitu gi