“Aku tidak pernah...”
“Bicaraku belum habis!” menukas Sang Junjungan. “Jin Santet Laknat adalah muridku. Lebih dari itu dia telah kuanggap sebagai anak! Kalau kau kawin dengan dia bukankah berarti kau adalah menantuku? Yang juga bisa kuanggap sebagai anak pula?!”
“Celaka... celaka!” keluh Bintang berulang-ulang. Air mukanya tampak pucat. Ketika makhluk muka tengkorak melangkah mendekatinya, mau tak mau Bintang bertindak mundur.
“Anak muda, lekas kau berlutut di hadapanku. Aku mertuamu! Kau harus menaruh hormat dan patuh pada diriku! Ha... ha... ha!”
Rasa takut membuat saat itu Bintang jadi kepingin kencing. Makhluk di hadapannya itu memiliki kesaktian luar biasa. Jika dia menolak berlutut makhluk itu pasti akan marah besar. Tapi jika dia mematuhi berlutut buntutnya bisa jadi panjang. “Sialan betul! Aku tidak tahu makhluk ini apa lelaki apa perempuan. Atau banci! Aku harus mencari akal...&rd
“Hai Guru, aku gembira kau telah menyirap apa yang terjadi di luaran sana. Hingga aku tidak perlu menutur berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku, aku berhasil menemukan seorang pemuda asing dan dua kawannya. Konon mereka datang dari negeri manusia. Pemuda inilah yang telah memberitahu obat yang harus kumakan agar penyakit kentutku lenyap. Belasan tahun aku kentut terus-terusan tanpa bisa ditahan. Gara-gara ubi yang menjadi makanan satu-satunya selama aku berada di goa ini...”Di langit-langit goa kembali ada kelihatan bintik yang memancarkan sinar terang tadi. Lalu menyusul suara menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si nenek. “Jadi penyakit kentutmu benar-benar telah lenyap Hai muridku?”“Lenyap habis seluruhnya memang tidak. Masih ada tertinggal sedikit. Tapi justru aku sengaja tak mau menghilangkannya. Karena terdengarnya indah bagus. Begitu kata pemuda yang menolongku itu...”Gema tawa sang guru yang dipang
Mendengar penjelasan sang Guru, Jin Selaksa Angin pegang dan usap-usap bagian belakang kepalanya. Dia merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera luka yang telah sembuh dan meninggalkan bekas. Sang Guru teruskan ucapannya.“Namun... muridku, aku juga menaruh dugaan. Hilangnya daya ingatmu mungkin juga disebabkan oleh satu penderitaan sangat berat yang bersarang mulai dari hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau siuman kau mempunyai satu sifat aneh. Yakni suka akan warna dan benda apa saja yang berwarna kuning. Itu sebabnya kau membuat sendiri jubah berwarna kuning. Mengecat wajahmu dengan jelaga kuning. Memakai sunting dan subang serta kalung dan gelang warna kuning. Selama bertahun-tahun aku memberi pelajaran ilmu silat dan kesaktian padamu di dalam goa ini, aku berusaha menyembuhkan kesadaranmu. Tetapi tidak berhasil. Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang mampu membuat kau mengingat-ingat siapa dirimu sebenarnya?”Si ne
Bintik terang di langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan bersinar menyilaukan. Lalu terdengar suara Sang Guru. “Muridku, saat ini aku belum bisa memperlihatkan diri. Dan aku tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh mata insani sepertimu. Harap kau tidak kecewa. Suatu kali kita pasti akan bertatap ujud. Selamat tinggal muridku. Datanglah ke goa ini jika kau menemukan sesuatu...”“Terima kasih Guru,” kata Jin Selaksa Angin lalu membungkuk sampai keningnya hampir menyentuh lantai goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak bisa menahan kentutnya. Akibatnya butt prett! Kentutnya memancar. Di langit-langit goa bintik terang lenyap, pertanda Jin Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada lagi di tempat itu.* * *Sebelum mengikuti apa yang akan dilakukan Jin Selaksa Angin alias Jin Selaksa Kentut setelah dia meninggalkan goa di teluk Pabuntusamudera itu, kita kembali pada Ruhcinta dan Ruhsantini. Seperti dikisa
“Aku menyangsikan Hai Ruhsantini, apakah aku masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam apa yang bisa diambil sebagai pegangan masa depan. Dan sekarang aku mengalami nasib seperti ini...” Ruhcinta kembali menyeka air matanya.“Ruhcinta, siapakah gadis yang beruntung mempersuamikan pemuda itu?”Saat itu seperti terngiang kembali di telinga Ruhcinta suara lantang Ramahila si juru nikah. “Bintang dan Ruhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri.”Ruhcinta mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin. Dia menggigil. Melihat ini Ruhsantini berkata. “Cuaca memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan unggun. Biar goa ini menjadi hangat...”“Tidak usah Ruhsantini, aku
“Aku setuju,” jawab Ruhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata. “Ruhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran. Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku. Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak beradik. Perkawinan yang membawa malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut manusia?”“Ruhcinta... apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?” bertanya Ruhsantini ketika dilihatnya sepasang mata Ruhcinta tampak memandang sayu dan kosong.Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Ruhcinta. Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Ruhsantini melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
“Tidak Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri dengar pembicaraan dua perempuan itu...”“Kau bangsa jin yang suka menguping rupanya. Coba kau ceritakan apa saja yang kau dengar,” kata Jin Terjungkir Langit pula. Lalu dia rebahkan tubuhnya di tanah.Si Jin Budiman menuturkan semua pembicaraan Ruhsantini dan Ruhcinta yang sempat didengarnya di dalam goa sebelum dia kemudian terpaksa meninggalkan tempat itu karena takut ketahuan.“Pemuda asing itu. Namanya Bintang. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi mengenai gadis bernama Ruhrembulan sungguh tak pernah aku mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Jin ini tidak ada gadis bernama seperti itu...” Si kakek menatap ke dalam mata Si Jin Budiman. “Sahabatku, aku merasakan dari nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau menyebut nama Ruhcinta, ada suatu getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai gadis itu
“Terima kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud tersembunyi!” menyahuti Jin Terjungkir Langit.Ruhjahilio kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang menempel di atas keningnya kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Pajahilio mendekat dan berbisik. “Aku tidak takut pada manusia yang hidup menyungsang itu. Tapi harap kau berhati-hati pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam itu. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si Jin Budiman? Ingat, dia yang dulu menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!”“Aku ingat!” jawab si nenek. “Tapi kau diam sajalah Pajahilio. Biar aku yang bicara. Biar aku yang mengatur! Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau langsung membokong Jin Terjungkir Langit!” Memang antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih tinggi.Ruhjahilio k
“Tahan! Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki senjata berbentuk pedang terbuat dari batu merah. Mana senjata itu sekarang?! Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup?! Ha... ha... ha!” Wuuttt!Clurit putih di tangan kiri Ruhjahilio berkelebat dan tahu-tahu bagian tajamnya sudah melingkar di leher Jin Terjungkir Langit. Sekali renggut saja leher kakek ini pasti akan amblas putus.Seperti diketahui, ilmu kepandaian Jin Terjungkir Langit alias Pasedayu telah amblas dirampas Jin Muka Seribu. Peristiwanya terjadi ketika Jin Muka Seribu dengan mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang didapatnya dari makhluk bernama Pamanyala, berhasil mencungkil pusar Pasedayu yakni bagian tubuh yang menjadi pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi, namun secara diam-diam di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Pasedayu berhasil menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapa