Menyusul berkelebat satu bayangan hitam, membuat gerakan Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertahan. Sosoknya sesaat seperti mengapung di udara lalu terdorong ke samping.
Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab terkejut besar. Terlebih ketika dia melihat yang barusan memapaki serangan mautnya terhadap Ksatria Pengembara adalah si jubah hitam muka tengkorak tubuh jerangkong.
“Makhluk salah ujud! Tempatmu seharusnya di neraka! Jadi kalau kau sesat datang kemari jangan berani mencampuri urusan orang!” Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak marah. “Setahuku bukankah kau adalah guru Jin Santet Laknat. Kita memang tidak berada di satu pihak. Tapi adalah aneh kau membela pemuda asing yang menjadi musuh muridmu itu! Malah bukankah kau yang selama ini memberi perintah pada Jin Santet Laknat untuk menghabisi pemuda asing ini bersama teman-temannya?! Jangan memaksa diriku untuk ikut menghabisi dirimu saat ini juga!”
Makhluk muka tengkorak yang dipanggil dengan s
“Sudah lama aku mendengar kehebatan pukulan sakti Bumi Langit Menghimpit Roh! Ternyata hanya ilmu kosong tak ada apa-apanya! Pawungu, apa kau masih punya daya menghadapiku barang dua tiga jurus lagi?!”Rahang Pawungu sampai menggembung dan keluarkan suara bergemeretak saking marahnya mendengar ejekan orang. Kakek ini jadi kalap.“Makhluk sesat keparat! Aku mengadu nyawa denganmu! Tempatmu di pusaran neraka! Aku akan kembalikan kau ke sana!”Wuuuttt!Tubuh Pawungu berkelebat. Sosoknya berubah menjadi bayang-bayang ungu. Dibarengi suara menggemuruh bayang-bayang ungu itu kemudian menebar menjadi lima, melabrak ke arah Sang Junjungan. Inilah serangan yang disebut Badai Lima Penjuru. Sosok Sang Junjungan seolah dihantam badai yang datang dari lima penjuru, semuanya melabrak dari arah depan!Makhluk muka tengkorak keluarkan teriakan keras. Lalu melompat setinggi dua tombak. Sambil menghindari serangan Badai Lima Penjuru orang ini
Kakek berjubah putih yang otaknya di atas kepala itu tersentak kaget Dia cepat menarik pulang tangannya ketika menyadari apa dan siapa yang melayang di hadapannya itu. Namun terlambat! Angin pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot telah lebih dulu menerpa sosok yang melayang di depan Bintang. Begitu terkena sosok ini langsung kaku dan, buukkk! Jatuh bergedebuk keras di tanah!“Pawungu!” teriak Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu dengan cepat dia jatuhkan diri menubruk sosok Pawungu yang tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku. Mulutnya terbuka tapi suaranya yang keluar hanya suara megap-megap.Sang Junjungan tertawa mengekeh sambil rangkapkan tangan di depan dada. Dialah tadi yang telah melemparkan sosok Pawungu untuk dipakai sebagai tameng melindungi Ksatria Pengembara. Sebelumnya antara Pawungu dan Sang Junjungan kembali terjadi pertempuran hebat. Ternyata Pawungu tidak mampu menghadapi lawannya. Delapan jurus di muka dalam keadaan terdesak hebat, Sang Junjun
“Aku tidak pernah...”“Bicaraku belum habis!” menukas Sang Junjungan. “Jin Santet Laknat adalah muridku. Lebih dari itu dia telah kuanggap sebagai anak! Kalau kau kawin dengan dia bukankah berarti kau adalah menantuku? Yang juga bisa kuanggap sebagai anak pula?!”“Celaka... celaka!” keluh Bintang berulang-ulang. Air mukanya tampak pucat. Ketika makhluk muka tengkorak melangkah mendekatinya, mau tak mau Bintang bertindak mundur.“Anak muda, lekas kau berlutut di hadapanku. Aku mertuamu! Kau harus menaruh hormat dan patuh pada diriku! Ha... ha... ha!”Rasa takut membuat saat itu Bintang jadi kepingin kencing. Makhluk di hadapannya itu memiliki kesaktian luar biasa. Jika dia menolak berlutut makhluk itu pasti akan marah besar. Tapi jika dia mematuhi berlutut buntutnya bisa jadi panjang. “Sialan betul! Aku tidak tahu makhluk ini apa lelaki apa perempuan. Atau banci! Aku harus mencari akal...&rd
“Hai Guru, aku gembira kau telah menyirap apa yang terjadi di luaran sana. Hingga aku tidak perlu menutur berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku, aku berhasil menemukan seorang pemuda asing dan dua kawannya. Konon mereka datang dari negeri manusia. Pemuda inilah yang telah memberitahu obat yang harus kumakan agar penyakit kentutku lenyap. Belasan tahun aku kentut terus-terusan tanpa bisa ditahan. Gara-gara ubi yang menjadi makanan satu-satunya selama aku berada di goa ini...”Di langit-langit goa kembali ada kelihatan bintik yang memancarkan sinar terang tadi. Lalu menyusul suara menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si nenek. “Jadi penyakit kentutmu benar-benar telah lenyap Hai muridku?”“Lenyap habis seluruhnya memang tidak. Masih ada tertinggal sedikit. Tapi justru aku sengaja tak mau menghilangkannya. Karena terdengarnya indah bagus. Begitu kata pemuda yang menolongku itu...”Gema tawa sang guru yang dipang
Mendengar penjelasan sang Guru, Jin Selaksa Angin pegang dan usap-usap bagian belakang kepalanya. Dia merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera luka yang telah sembuh dan meninggalkan bekas. Sang Guru teruskan ucapannya.“Namun... muridku, aku juga menaruh dugaan. Hilangnya daya ingatmu mungkin juga disebabkan oleh satu penderitaan sangat berat yang bersarang mulai dari hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau siuman kau mempunyai satu sifat aneh. Yakni suka akan warna dan benda apa saja yang berwarna kuning. Itu sebabnya kau membuat sendiri jubah berwarna kuning. Mengecat wajahmu dengan jelaga kuning. Memakai sunting dan subang serta kalung dan gelang warna kuning. Selama bertahun-tahun aku memberi pelajaran ilmu silat dan kesaktian padamu di dalam goa ini, aku berusaha menyembuhkan kesadaranmu. Tetapi tidak berhasil. Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang mampu membuat kau mengingat-ingat siapa dirimu sebenarnya?”Si ne
Bintik terang di langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan bersinar menyilaukan. Lalu terdengar suara Sang Guru. “Muridku, saat ini aku belum bisa memperlihatkan diri. Dan aku tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh mata insani sepertimu. Harap kau tidak kecewa. Suatu kali kita pasti akan bertatap ujud. Selamat tinggal muridku. Datanglah ke goa ini jika kau menemukan sesuatu...”“Terima kasih Guru,” kata Jin Selaksa Angin lalu membungkuk sampai keningnya hampir menyentuh lantai goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak bisa menahan kentutnya. Akibatnya butt prett! Kentutnya memancar. Di langit-langit goa bintik terang lenyap, pertanda Jin Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada lagi di tempat itu.* * *Sebelum mengikuti apa yang akan dilakukan Jin Selaksa Angin alias Jin Selaksa Kentut setelah dia meninggalkan goa di teluk Pabuntusamudera itu, kita kembali pada Ruhcinta dan Ruhsantini. Seperti dikisa
“Aku menyangsikan Hai Ruhsantini, apakah aku masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam apa yang bisa diambil sebagai pegangan masa depan. Dan sekarang aku mengalami nasib seperti ini...” Ruhcinta kembali menyeka air matanya.“Ruhcinta, siapakah gadis yang beruntung mempersuamikan pemuda itu?”Saat itu seperti terngiang kembali di telinga Ruhcinta suara lantang Ramahila si juru nikah. “Bintang dan Ruhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri.”Ruhcinta mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin. Dia menggigil. Melihat ini Ruhsantini berkata. “Cuaca memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan unggun. Biar goa ini menjadi hangat...”“Tidak usah Ruhsantini, aku
“Aku setuju,” jawab Ruhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata. “Ruhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran. Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku. Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak beradik. Perkawinan yang membawa malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut manusia?”“Ruhcinta... apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?” bertanya Ruhsantini ketika dilihatnya sepasang mata Ruhcinta tampak memandang sayu dan kosong.Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Ruhcinta. Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Ruhsantini melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu