"Kerabat berpakaian biru, apa hubunganmu dengan perempuan laknat bernama Ruhsantini itu hingga mau- mauan menolongnya? Lekas terangkan siapa dirimu adanya!"
Ruhcinta kembali tersenyum. "Semua insan di dunia ini dilahirkan dari dan di dalam kasih sayang. Mengapa kau berpikiran dangkal membunuh seorang perempuan yang sesungguhnya adalah bagian dari kasih sayang itu sendiri?"
Sesaat Jin Bara Neraka jadi terkesima mendengar kata-kata gadis cantik berpakaian biru itu. Namun kemudian amarahnya timbul kembali.
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu! Tapi ingin kukatakan, kau tidak tahu siapa adanya perempuan yang barusan kau tolong itu! Dia adalah seorang istri sesat, pengkhianat suami! Kabur dan menjadi gendak lelaki bernama Maithatarun yang barusan ditolong oleh Dewi celaka itu!" Jin Bara Neraka menunjuk ke arah kejauhan di mana Dewi Awan Putih menurunkan sosok Maithatarun.
"Kemarahan bisa membuat seseorang sesat bicara. Dendam kesumat bisa membuat insan melupaka
Selesai mengeluarkan ucapan itu si gadis mengusap mukanya sendiri lalu meniup ke arah Jin Bara Neraka.“Gadis baju biru, Aku ingat! Kau bernama Ruhcinta!" tiba-tiba Jin Bara Neraka berteriak."llmu kepandaianmu boleh tinggi tapi jangan harap kau bisa menenung diriku!"Habis berkata begitu Jin Bara Neraka siap hendak menghantam kembali. Tapi tiba-tiba dia merasakan matanya menjadi berat. Kantuk yang amat sangat menyerangnya tak tertahankan. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati sebatang pohon. Sebelum sampai ke pohon itu tubuhnya sudah limbung lalu perlahan-lahan jatuh ke tanah."Gadis kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadap cucu muridku?!" Satu suara membentak. Satu bayangan hitam berkelebat. ltulah sosok sang Junjungan yang saat itu sebenarnya sudah siap untuk kabur dari tempat itu. Tapi melihat Jin Sara Neraka jatuh tergeletak di tanah dan tak bergerak lagi dia menyempatkan diri untuk menyelidiki. Gadis yang dibentak tidak segera menjawab ka
"Lebih baik aku cari selamat! Perduli amat dengan Patandai!" Tanpa banyak bicara lagi sang Junjungan segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk meminta tongkatnya kembalipun dia tidak ingat. Sebaliknya Ruhcinta yang memang tidak memerlukan tongkat tersebut segera melemparkan nya ke arah makhluk jerangkong."Wuuuttt.. sett!"Tongkat tulang itu menyusup di sisi kiri jubah hitam sang Junjungan, terus menembus sampai ke bagian kanan. Akibatnya gerakan larinya itu terjegal terserimpung. Tak ampun lagi dia tersungkur tunggang langgang. Muka tengkoraknya berkelukuran di tanah. Sambil menyumpah panjang pendek orang ini bangkit berdiri lalu tinggalkan tempat itu diiringi suara tawa cekikikan Ruhcinta."Ruhcinta, aku perlu bicara dengan Jin Bara Neraka. Harap kau buat dia bangun dari tidurnya!" Ucapan Jin Terjungkir Langit itu membuat Ruhcinta hentikan tawanya. Gadis ini menatap ke arah Jin Bara Neraka lalu usap mukanya dua kali dan meniup. Saat itu juga sosok J
"Anak itu ... Kemana dia pergi. Dia tak mungkin berjalan sendiri. Ada seseorang yang membawanya. Aku masih belum berkesempatan untuk menerang kan padanya ... Maithatarun anakku " Kembali Jin Terjungkir Langit menangis terisak-isak."Kek, biar aku mendukungmu, membawa ke tempat lebih baik untuk dirawat," orang berjubah hitam bermuka tanah liat tiba-tiba mendekat lalu mendukung si kakek di bahu kirinya."Tak jauh dari sini ada sebuah telaga di kaki bukit kecil. Untuk sementara kurasa itu tempat yang baik bagimu." Si muka tanah liat berpaling pada Ruhcinta."Aku mendukung kakek ini, harap kau menolong perempuan di dalam jaring ""Orang bermuka aneh, aku tahu tadi kau yang menolong aku dari bahaya maut tangan ganas makhluk muka tengkorak itu. Dia begitu ketakutan melihat Pukulan Menebar Budi yang kau lepaskan untuk menyelamatkan nyawaku. Pukulan itu menandakan kau adalah yang selama ini dijuluki Si Jin Budiman. Tapi Hai, siapakah kau sebenarnya?"Dibal
"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Hari mulai gelap. Kalau kau ajak bicara terus aku bisa lari menabrak pohon. Kalau kepalamu yang mendarat. di batang kayu lebih dulu, apa kau tidak celaka? Nanti kau menuduh diriku sengaja mencelakai dirimu "Bintang menggerendeng dalam hati. Dadanya mendenyut sakit sekali. Tubuhnya saat demi saat terasa semakin lemah. Jin Santet Laknat pegang pundak pemuda ini."Tubuhmu mulai dingin. Racun tendangan Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab mulai bekerja. Aku harus bertindak cepat "Si nenek percepat larinya. Baru berlalu beberapa saat tiba-tiba Bintang merasakan dadanya sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar agar bisa bernafas. Tapi dari mulutnya menghambur darah segar. Saat itu juga Ksatria Pengembara jatuh pingsan tak sadarkan diri lagi!"Celaka! Celaka!" kata Jin Santet Laknat berulang kali. Dia percepat larinya. Dalam udara yang mulai gelap sosoknya kelihatan seperti bayang-bayang, berkelebat ke arah matahari tenggelam. Tujuannya
"Gadis-gadis sesat bermulut keji! Kalau kau tidak menjaga ucapan akan kurobek mulut kalian saat ini juga!" Jin Santet Laknat marah besar."Hik ... hik! Dia takut kita mau mengambil pemuda itu!" kata Ruhkenanga pula."Hemm ... Kalian suka pada pemuda itu! Silahkan masuk ke dalam gubuk! Lakukan apa yang kalian mau!" Jin Santet Laknat berkata seraya maju selangkah."Kami tidak berselera! Apa lagi pemuda itu siap menjadi bangkai tak berguna! Siapa sudi!" jawab Ruhkenanga.Seperti diketahui dua gadis kembar cucu-cucu Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini memang mempunyai kelainan. Yakni hanya suka pada kaum sejenis. "Kalau kalian tidak punya kepentingan lekas menyingkir! Atau api di ujung ranting ini akan merusak wajah kalian!"Habis berkata begitu Jin Santet Laknat membuat lompatan, menyergap dua gadis kembar seraya babatkan ujung ranting berapi ke wajah mereka. Sepasang Gadis Bahagia tahu sekali siapa adanya Jin Santet Laknat. Mereka tidak mau mencari cel
"Aku tidak mau mati! Tidaakk! Kau yang harus mati! Kau ... kau ... kau!" Bintang berteriak lagi lalu kembali dia memukul dan menendang kalap.Mendadak pintu gubuk ditendang orang dari luar. Satu sosok hitam menghambur masuk. Di kepitan tangan kirinya dia membawa berbagai macam dedaunan. Di tangan kanan orang ini memegang obor ranting kayu. Jin Santet Laknat!"Bintang! Apa yang terjadi?!" si nenek bertanya kaget dan heran melihat keadaan Bintang begitu rupa. "Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Kau yang harus mati! Kau ... kau ... kaul""Kau ... kau siapa maksud pemuda ini? Diriku? Dia ingin aku mati?"Si nenek sisipkan obor di sudut gubuk. Dedaunan dibuangnya ke lantai lalu cepat dia mendekati Bintang. Begitu dia menyentuh tubuh si pemuda terasa sangat panas."Kau mimpi! kau barusan bermimpi Bintang! Sekaligus diserang demam panas akibat racun tendangan"Bola mata Ksatria Pengembara memandang seputar gubuk. "Mana dia? Mana dia manu
"Gusti Allah! Kau telah menolongku! Aku sembuh! Aku bisa bergerak!" Masih kurang percaya, Ksatria Pengembara ini bergerak bangkit. Dia keluarkan seruan tertahan ketika melihat dia benar-benar bisa duduk di atas pembaringan terbuat dari batang kelapa itu!Bintang perhatikan dada kirinya. Sebelumnya disitu ada tanda kebiru-biruan bekas tendangan kaki beracun Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi saat itu tak ada lagi, lenyap tak berbekas. "Tuhan Maha Besar!" Bintang bersujud di atas pembaringan. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Gusti Allah. Jika pertolongan dan kesembuhanku ini Kau berikan melalui kebaikan seseorang maka berilah orang itu berkah sebesar- besarnya! Berilah kepadaku kemampuan untuk membalas budinya!" Setelah bersujud tak bergerak beberapa lamanya sambil mengucap puji syukur berkepanjangan Bintang turun dari pembaringan. "Aku harus mencari nenek itu "Hanya mengenakan celana tanpa baju dia melangkah ke pintu. Pintu gubuk mengeluarkan suara berkereketan ketik
Ksatria Pengembara memandang ke timur. Langit semakin terang. "Aku harus kembali ke gubuk. Mungkin Jin Santet Laknat sudah ada di sana. Aku harus mendapatkan Pedang Pilar Bumi kembali. Aku harus mencari kawan-kawanku. Aku harus menolong Maithatarun dan Ruhsantini. Terakhir sewaktu di lembah mereka masih berada dalam jaring aneh itu..." Bintang lalu ingat dengan orang-orang yang hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Seperti Pawungu, Jin Tangan Seribu dan Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab."Persetan dengan mereka!" Bintang memaki sendiri lalu balikkan badan, kembali menuju ke gubuk. Hampir sepeminuman teh berlalu, pendekar kita mulai heran dan geleng-geleng kepala. "Aneh, waktu pergi tadi rasanya aku tidak jauh-jauh. Mengapa sekarang membutuhkan waktu begini lama mencari gubuk sialan itu?!"Bintang memandang berkeliling. Sementara itu langit sudah terang karena malam telah berganti siang. Ketika dia menoleh ke kiri kagetlah Bintang. Gubuk yang d