Ksatria Pengembara pandangi wajah dan sosok Ruhtinti. Jika tidak dalam keadaan seperti itu dia akan menyadari betapa gadis berkulit hitam manis ini bukan saja memiliki wajah cantik jelita tapi juga tubuh yang sangat bagus dan tersingkap di sana-sini penuh menggairahkan. Sebaliknya Ruhtinti yang berada dalam keadaan lebih tenang setiap dia menatap paras sang pendekar dadanya terasa berdebar. Dia harus mengakui, tidak ada pemuda di Negeri Jin yang memiliki wajah segagah pemuda asing ini. Bintang kepalkan dua tangannya. Lalu dia ingat akan "llmu Mata Dewa" yang di dapatnya dari Dewa Kera. Pada Ruhtinti dia berkata. "Kita pasti bisa keluar dari sini! Aku akan berusaha!" Lalu Bintang salurkan tenaga dalamnya ke kepala. Matanya dikedipkan dua kali berturut-turut. Dia memandang berkeliling. Seperti diketahui dengan ilmu itu Bintang bisa melihat apa saja dikejauhan sekalipun terhalang sesuatu. Namun saat itu sampai dia cucurkan keringat dingin dan sepasang matanya menjadi perih dia tidak ma
"Hai, apa yang kau tanyakan tadi?" "Tidak, tidak apa-apa!" jawab Ksatria Pengembara. Ruhtinti hentikan langkahnya dan menatap sejurus pada Bintang. Wajah si gadis kemudian tampak bersemu merah. Cepat-Cepat dia palingkan kepala dan melangkah pergi. Bintang kembali menyeringai. Di sebelah depan Ruhtinti berkata dalam hati. "Maithatarun memang pernah menuturkan riwayat dan sifat-sifat pemuda asing ini. Tapi tidak kusangka, dalam keadaan seperti ini dia masih bisa bicara kurang waras!" Ruhtinti tertawa sendiri. "Kulihat kau tertawa. Ada apa Ruhtinti. ?" bertanya Bintang. "Tidak, tidak ada apa-apa," jawab si gadis.. "Ah, dia ganti membalas rupanya!" kata Bintang dalam hati. * * * Bintang pegang lengan Ruhtinti. Sambil memandang berkeliling dia berkata. "Keadaan di tempat ini aneh sekali. Barusan saja aku masih melihat matahari di langit dan cuaca terang benderang. Mengapa tahu-tahu di sini keadaan redup, matahari mendadak lenyap, udara berubah gelap seolah-olah siang telah berganti d
"Bintang, kau sudah bangun...?" Lalu ada satu benda lembut, hangat dan basah menjilati daun telinganya, membuat Ksatria Pengembara jadi merinding menggeliat. "Ruhtinti?" Bintang menyebut nama gadis itu karena suara yang barusan didengar dan dikenalinya adalah suara Ruhtinti. Cepat-cepat Bintang bangkit dan duduk. Karena si gadis tidak mau melepaskan rangkulannya, sosoknya jadi ikut bangkit dan kini terduduk diatas pangkuan Bintang. "Bintang, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku lupa memberi tahu sebelumnya '! "Aku... Ruhtinti aku..." "Aku ingat satu cara yang bisa membuat kita keluar dari dalam rimba Alas Diam Salawasan ini " "Katakanlah" jawab Bintang ketika Ruhtinti hentikan ucapannya. "Tapi harap kau duduk di lantai. Kalau kau duduk di pangkuanku rasanya aku tak bisa bernafas!" Ruhtinti tertawa. Dengan manja dia turun dari pangkuan Bintang, lepaskan rangkulannya dan duduk di lantai. Walau keadaan di dalam goa itu redup dan agak gelap namun Bintang masih bisa melihat
"Ruhtinti, aku tidak bisa melakukan permintaanmu" “Aku yakin kau bisa. Jika kau mau... Jika tidak, berarti kau bukan saja tega mencelakai diri sendiri tapi juga tega membiarkan sahabat-sahabatmu menemui malapetaka!" Sambil berkata Ruhtinti semakin rapatkan tubuhnya ke badan Bintang. Dua tangannya merangkul ke pinggang dan punggung Ksatria Pengembara. Lalu perlahan-lahan tubuh Bintang dibawanya luruh jatuh ke lantai goa. Ketika gadis itu hendak menanggalkan pakaian di tubuh Bintang, sang Pendekar segera sadar. Dia melompat berdiri dan lari keluar goa. "Bintang!" Ruhtinti bangkit berdiri, menyambar pakaian daunnya lalu mengejar. Bintang sengaja menyembunyikan diri di tempat gelap, di antara dua batu besar dibalik serumpunan semak belukar. Di sekelilingnya suara jangkrik ditingkah suara kodok terdengar tidak berkeputusan. Sambil duduk Bintang genggam Pedang Pilar Bumi yang diletakkannya di pangkuannya. "Ruhtinti, aku menaruh curiga. Jangan-jangan gadis itu menyembunyikan satu niat jah
"Aku sudah curiga!" kata Bintang dalam hati. Matanya tak berkesip terus mengawasi Ruhtinti. Tiupan serulingnya semakin menggila. Kemudian terjadilah beberapa keanehan. Kawasan sekitar goa yang tadinya redup perlahan-lahan menjadi terang. Pemandangan yang tadinya sangat terbatas berangsur-angsur menjadi luas dan jauh. Lalu yang sama sekali tidak terduga dan membuat Ksatria Pengembara jadi merinding ialah perubahan yang terjadi atas diri Ruhtinti. Pakaian Ruhtinti yang sebelumnya berupa daun-daun hijau kini berubah menjadi sehelai jubah hitam. Ketika Bintang melirik dirinya sendiri dia juga kaget karena dapatkan pakaian putih birunya yang sebelumnya sirna secara aneh kini telah melekat kembali di badannya sementara celana yang terbuat dari daun-daun hijau masih menempel diatas pakaian putih birunya. Namun Bintang tidak perdulikan keanehan yang ada pada dirinya karena dia lebih memperhatikan apa yang terjadi pada Ruhtinti. Wajah si gadis yang tadinya hitam manis cantik jelita ini berubah
Dengan tangan kanannya Jin Santet Laknat tiba-tiba merorotkan bagian dada jubah hitamnya sebelah atas hingga dia kini tegak dalam keadaan setengah telanjang. Gagang Pedang Pilar Bumi diciumnya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Bagian gagang pedang dihisap-hisapnya dengan cara menjijikkan. Lalu senjata itu diletakannya di atas dadanya yang peot. Secara aneh Pedang Pilar Bumi itu menempel di dadanya. "Hai! Kau tunggu apa lagi? Kau inginkan Pedang Pilar Bumi-mu kembali, silakan ambil!" berseru Jin Santet Laknat sambil berkacak pinggang dan senyum-senyum genit. "Jahanam!" rutuk Ksatria Pengembara. Sesaat dia hanya bisa tegak dengan mata mendelik. "Ho ... ooo! Kau tak mau mendekati diriku, tak mau mengambil pedang karena takut menyentuh dadaku yang buruk. Jangan takut anak muda! Saat ini aku bukan lagi Jin Santet Laknat si nenek buruk. Tapi aku adalah gadis-gadis yang mengasihimu! Lihat! Kau tinggal memilih mana yang kau suka! Pandang baik-baik!" Saat itu Ksatria Pengembara memang masih m
"Kembalikan pedangku!" teriak Bintang. Di udara Bintang melihat Jin Santet Laknat melayang terbang semakin jauh dan akhirnya lenyap dari pemandangan. ''Mati aku!" keluh Bintang sambil tepuk keningnya sendiri lalu jatuhkan diri. Untuk beberapa lamanya dia terduduk menjelepok di tanah. Kemudian pandangannya membentur sosok Ruhtinti yang tergelimpang pingsan. Ketika tubuh gadis itu bergerak menggeliat. Bintang segera mendekati untuk menolong "Ruhtinti... Kau betulan Ruhtinti?!" tanya Bintang. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu lagi-lagi adalah jelmaan ilmu hitam Jin Santet Laknat. Ruhtinti buka dua matanya. "Bintang ..." katanya perlahan. "Syukur kau masih hidup. Tadinya aku sudah putus asa" "Tunggu! Bagaimana aku tahu kau adalah Ruhtinti yang asli. Bukan jejadian Jin Santet Laknat!" kata Bintang sambil tetap menjaga jarak dan berlaku waspada. "Aku memang tidak bisa membuktikan..." kata Ruhtinti pula. "Tapi jika kau bersangsi, Hai, tinggalkan saja diriku sekarang juga!" "Kalau begi
Sekali ini si nenek memandang berkeliling, lalu pegang-pegang pantatnya sendiri. Bola matanya yang kuning berputar-putar. "Kentutku terdengar aneh sekali ini! Buutnya pendek lalu ada prettnya! Hik ... hik. .. hik! Enak juga kedengarannya! Jangan Jangan aku memang siap sembuh!" Girang sekali si nenek jadi bersemangat. Lalu dia ambil salah seekor ayam dalam keranjang. Dengan cepat binatang itu dipesianginya. Dijebol ujung duburnya lalu dimakan mentah-mentah. Begitu habis disambarnya ayam kedua. Masih megap-megap dia tancap ayam ketiga! Dengan mata mendelik setelah menelan kibul ayam yang terakhir si nenek berteriak seraya melompat. "Tujuh puluh tujuh! Aku sudah menelan tujuh puluh tujuh kibul ayam! Aku sudah sembuh!" Si nenek merasakan geli-geli di sekitar duburnya. Lalu "butt.. prett!" Dia kentut lagi, dengan suara aneh tidak seperti biasanya. "Heh, bagaimana ini! Aku masih kentut! Berarti belum sembuh! Kurang ajar! Apakah aku telah tertipu! Aku harus mencari anak itu!"