“Hik... hik! Aih nyamannya...” Di atas pohon berdaun rimbun itu terdengar suara orang.
“Aku juga enak. Aku bahagia...” Ada satu suara lain menyahuti.
Bintang kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai ke ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan suara berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup angin. Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
“Hai! Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak sedap nian rasanya?”
“Getarannya membuat aku seperti mau kencing! Hik... hik... hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon ini!”
“Tunggu, jambuku sudah habis. Kau masih punya? Pemuda itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku dengar tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik... hik...hik!”
“Jambuku juga sudah habis! Hai, getaran pohon ini semakin keras. Ayo kita pergi saja!”
Di bawah pohon Bintang memandang ke
“Mungkin ucapanmu benar. Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama lain. Harap kau juga mau memberi tahu mengapa kalian mencariku.”“Pertanyaan pertama biar aku yang menjawab,” kata gadis di sebelah kanan. “Kami adalah dua gadis kembar. Aku yang tua bernama Ruhkemboja dan adikku ini bernama Ruhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan sebutan Sepasang Gadis Bahagia.”“Kemboja dan Kenanga... Itu dua bunga yang ada sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di atas makam orang yang sudah mati...” Rasa tidak enak kembali menyelubungi Ksatria Pengembara walau dua gadis cantik di hadapannya selalu bicara dan memandang padanya dengan senyum.Tiba-tiba Bintang ingat sesuatu. Langsung saja dia ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki sebag
Bintang tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala dia bertanya. “Siapa yang memberi keterangan bodoh itu pada kalian?”“Siapa lagi kalau bukan kekasihmu!” jawab Ruhkemboja.“Kekasihku?” Bintang jadi terkejut. “Aku tidak punya kekasih di negeri Jin ini!”Ruhkemboja dan Ruhkenanga tertawa gelak-gelak. “Siapa yang mengaku-aku kalau aku ini kekasihnya?” Bintang jadi penasaran. “Kalian berdua mengarang cerita!”“Hai, si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana kami tidak percaya?”“Kalau begitu lekas katakan siapa orangnya!”“Ruhjelita!” jawab Ruhkemboja dan Ruhkenanga berbarengan.Tentu saja Bintang menjadi kaget mendengar ucapan itu. “Wajahmu berubah merah, sikapmu menunjukkan keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan atau bagaimana?”“Antara aku dengan gadis bernama R
“Sayang sekali kami inginkan tongkat itu sekarang...” kata Ruhkemboja.“Apakah kebahagiaan bisa didapat dengan cara memaksa?” tukas Bintang.“Kami tidak memaksa. Kami tengah menjalankan tugas!” jawab Ruhkemboja.“Apakah tugas bisa dijadikan topeng alasan untuk mendapatkan kebahagiaan?” kembali Bintang menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar menjadi kemerahan walau senyum tetap menghias bibir mereka.“Hai, untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang harus menempuh jalan sulit berliku,” kata Ruhkemboja pula. Dia memandang pada Ruhkenanga. “Adikku, rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?”“Aku sudah siap Hai Ruhkemboja. Tapi biarkan aku membujuk pemuda ini sekali lagi,” jawab Ruhkenanga. Lalu gadis ini mendekati Bintang dua langkah dan berkata. “Kepercayaan
KITA tinggalkan dulu Ksatria Pengembara yang tengah berusaha menyelidik goa tempat Ruhjelita disekap. Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Pasedayu. Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan selatan Negeri Jin di mana terletak sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari, siang hari saja ketika matahari bersinar terik, kabut tebal acap kali menutupi pemandangan.Dalam keadaan seperti itu dari jurusan tenggara berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan bau seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mustahil dia b
“Pajundai... Pabahala! Jin Muka Seribu! Memang dia!”“Hai! Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!”“Tidak, aku bukan mengaku!”“Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!”“Maksudku,” jawab Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit . “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini...”“Jin Terjungkir Langit, apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan Pajundai. Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian yang paling aku andalkan itu...”“Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu daripada ucapanku?” ujar Jin Terjungkir Langit pula.“Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran...”“Tidak mungkin. Tidak mungkin Hai kerabatku. P
Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang lain.”Pasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk. Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya.Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang. Pasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai
Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada Pasedayu selamat dari tambusannya. Benda bulat yang dipakai menangkis serangan gugus gompal sedikit sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi cepat bangkit kembali dan bergerak ke arah Jin Lumpur Hijau yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa makhluk ini tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu berdiri dia putar tubuh ke arah makhluk yang mendatanginya.Dukkk... Dukkkk.Tanah lembah bergetar. Muka hijau Jin Lumpur Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah mengalami keterkejutan. Jin Lumpur Hijau memang kaget besar ketika dia memandang ke depan dan mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.***“Jin Kaki Batu...” desis Jin Lumpur
Sadar kalau saat itu tak mungkin baginya untuk menghadapi Maithatarun maka Jin Lumpur Hijau berpaling pada Jin Terjungkir Langit dan berkata. “Nasibmu masih baik. Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”Habis berkata begitu Jin Lumpur Hijau lalu berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang mengapung di udara.Jin Terjungkir Langit tertawa mengekeh. “Dia yang bodoh mengatakan orang tolol!” Lalu orang tua ini berpaling ke arah Maithatarun. Dari balik julaian rambut putihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian berkata. “Hai, selama ini hanya nama yang kukenal. Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki Jin Kaki Batu, korban kebusukan nenek jahat bernama Jin Santet Laknat?”“Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan aku bahwa masih ada urusan dendam kesumat yang belum terselesaikan dengannya!”Jin Terjungkir