“Pajundai... Pabahala! Jin Muka Seribu! Memang dia!”
“Hai! Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!”
“Tidak, aku bukan mengaku!”
“Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!”
“Maksudku,” jawab Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit . “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini...”
“Jin Terjungkir Langit, apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan Pajundai. Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian yang paling aku andalkan itu...”
“Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu daripada ucapanku?” ujar Jin Terjungkir Langit pula.
“Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran...”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin Hai kerabatku. P
Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang lain.”Pasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk. Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya.Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang. Pasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai
Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada Pasedayu selamat dari tambusannya. Benda bulat yang dipakai menangkis serangan gugus gompal sedikit sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi cepat bangkit kembali dan bergerak ke arah Jin Lumpur Hijau yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa makhluk ini tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu berdiri dia putar tubuh ke arah makhluk yang mendatanginya.Dukkk... Dukkkk.Tanah lembah bergetar. Muka hijau Jin Lumpur Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah mengalami keterkejutan. Jin Lumpur Hijau memang kaget besar ketika dia memandang ke depan dan mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.***“Jin Kaki Batu...” desis Jin Lumpur
Sadar kalau saat itu tak mungkin baginya untuk menghadapi Maithatarun maka Jin Lumpur Hijau berpaling pada Jin Terjungkir Langit dan berkata. “Nasibmu masih baik. Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”Habis berkata begitu Jin Lumpur Hijau lalu berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang mengapung di udara.Jin Terjungkir Langit tertawa mengekeh. “Dia yang bodoh mengatakan orang tolol!” Lalu orang tua ini berpaling ke arah Maithatarun. Dari balik julaian rambut putihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian berkata. “Hai, selama ini hanya nama yang kukenal. Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki Jin Kaki Batu, korban kebusukan nenek jahat bernama Jin Santet Laknat?”“Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan aku bahwa masih ada urusan dendam kesumat yang belum terselesaikan dengannya!”Jin Terjungkir
Jin Terjungkir Langit gelengkan kepala. “Dia muncul hanya untuk mengatakan sesuatu yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku, ‘Hidup keluargamu morat-marit! Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak tahu di mana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan seluruh kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu dia mengutuk, ‘Mulai hari ini kau akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!’ Seperti kau saksikan sendiri saat ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah!”“Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu kalau kau punya empat orang anak...”“Empat orang anak. Tapi apa artinya...” ujar Jin Terjungkir Langit. “Aku tidak tahu di mana mereka sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga tidak tahu apakah istriku Ruhpingi
Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit batu ada sesuatu yang lain, bergerak naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa.“Astaga, Paecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan Ruhjelita...” Dalam kejutnya Bintang juga merasa gembira. Kalau tunggangannya berada di sana, berarti Ruhjelita tidak berada jauh dari situ.Paecoklat berpaling pada Bintang. Matanya dikedip-kedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Bintang beranikan diri mendekat lalu melompat ke atas punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala binatang itu Bintang berkata. “Paecoklat, bisa kau menunjukkan padaku di mana Ruhjelita berada?”Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua kali lalu palingkan kepalanya ke kiri. Setelah menghadap ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan. Bintang memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah dirambas orang kelihatan sebuah mulut goa batu yang tingginya
Kita tinggalkan Bintang dan Ruhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada saat-saat sebelumnya ketika Bintang berusaha mencari goa di mana Ruhjelita disekap oleh sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan menyelamatkan Ruhjelita, Bintang ini sampai tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok burung besar yang bukan lain adalah Zeus, awan raksasa milik Dewi Awan Putih. Zeus terbang mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja Awan Putih itu melayang mengikuti atas kehendak si pemiliknya yakni Dewi Awan Putih yang ada di atas punggungnya. Sang Dewi merasa heran melihat Bintang berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah awan tunggangan yang bernama Zeus itu keluarkan suara halus. Dewi Awan Putih yang sudah tahu sifat tunggangan kesayangannya itu mengusap Zeus seraya berucap.“Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa. Me
Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Jin Obat Seribu atau mencari makhluk roh bernama Ruhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang memberikan cintanya hanya kepada Bintang? Namun setelah dipikirnya lebih dalam dia memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya telah tergila-gila pada Bintang dan menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah berhubungan dengan pemuda itu.Kini menghadapi kenyataan bahwa Bintang berada di sebuah bukit di mana dipastikannya Ruhjelita juga ada di situ, Dewi Awan Putih merasa seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.“Gadis bernama Ruhjelita itu. Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana yang hendak aku lakukan. Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu. Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan? Ah... Bagaimana ini!” Dalam bingungnya Dewi Awan Putih membiarkan awan t
Dalam kejutnya melihat Bunda Dewi, Dewi Awan Putih bertanya-tanya bagaimana Bunda Dewi tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Dewi Awan Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Bunda Dewi berkata padanya dengan penuh kelembutan.“Hai Dewi Awan Putih kerabatku yang cantik. Setelah cukup lama kau meninggalkan negeri kita, sungguh aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah. Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada suatu keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Dewi Awan Putih katakan padaku apa yang terjadi. Katakan jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.”Ditegur begitu rupa kesedihan Dewi Awan Putih jadi bertambah, membuat dia kembali menangis tersedu-sedu dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai air mata. Bunda Dewi dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Dewi Awan Putih dia berkata. “Dewi Awan Putih, segala