"Aku sendiri menggorok leher mereka dengan duri-duri di tanganku!" kata Jin Patilandak.
"Bagus! Tidak sia-sia aku memberi perintah pada kalian kakek dan cucu!" Jin Muka Seribu memandang berkeliling. Tangannya siap mengeluarkan keris luk tiga untuk dimasukkan ke dalam lobang berisi darah. Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Kalian berhasil membunuh tiga manusia katai itu! Lalu bagaimana dengan orang bernama Maithatarun, berjuluk Jin Kaki Batu?! Aku tidak melihat dirinya sejak tadi!"
"Maafkan kami Hai Jin Muka Seribu. Jin Kaki Batu berhasil melarikan diri ketika kami sergap. Dia menghancurkan patung-patung kayu serta pohon-pohon jati. Dia melarikan diri dalam keadaan terluka parah. Sekali lagi kami mohon maafmu." Menjawab Tringgiling Liang Batu.
"Hemmm, begitu?" ujar Jin Muka Seribu. Sepasang pandangan matanya sebelah depan membentur liang batu yang sebelumnya menjadi sarang makhluk bersisik itu. 'Mataku belum lamur, apa lagi buta! Tapi aku sama sekali tidak melih
"Jin Muka Seribu," tiba-tiba perempuan bernama Jin Monyong Penggali Liang Kubur berucap. "Pekerjaanku memang tukang gali liang kuburi Terus terang, Hai akupun sudah menyiapkan satu liang kubur untukmu! Jika kau berkenan cepat-cepat ingin masuk ke dalamnya. Hik... hik... hik! Silahkan...!"Habis berkata begitu Jin Monyong Penggali Liang Kubur lalu singkapkan rumput dan daun kering di depannya. Maka kelihatanlah satu lobang besar seukuran kubur manusia!Empat mata Jin Muka Seribu depan belakang mendelik besar, merah laksana saga!"Perempuan bedebah keparat! Kau kira siapa dirimu! Suami dan Jin Patilandak saja tunduk padaku! Apa kau lebih hebat dari mereka?! Kau yang akan kupendam lebih dulu dalam liang itu!""Aku memang lebih hebat dari dua orang yang kau sebutkan itu Jin Muka Seribu! Kau boleh membunuh mereka semudah membalik telapak tangan! Tapi apa kau punya nyali membunuhku seorang perempuan?! Hik... hik... hik!"Tersentaklah Jin Muka Seribu mend
Sementara itu darah mengucur dari luka di pergelangan kakinya. Hawa panas menjalar sampai ke mata kaki. Jin Muka Seribu tidak tahu apa yang barusan menyerangnya. Memandang ke bawah dia melihat ada satu sosok kecil menyelinap ke balik semak belukar.Selain itu tadi dia juga masih sempat melihat satu bayangan kecil menyambar dan tahu-tahu kantong kainnya yang jatuh lenyap entah kemana. Ketika Jin Muka Seribu hendak memandang sosok kecil yang menyelinap di balik semak belukar!"Tiga makhluk katai jahanam! Pasti mereka!" teriak Jin Muka Seribu marah. "Tringgiling Liang Batu! Kau dan cucumu berani mati menipuku!" Seperti tidak perduli lagi akan pantangannya membunuh perempuan Jin Muka Seribu angkat tangan kiri, siap hendak menghantam dengan pukulan "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi." Yang ditujunya adalah Jin Patilandak dan Tringgiling Liang Batu yang saat itu mendekam berlindung di balik sosok Jin Monyong Penggali Liang Kubur. Jika Jin Muka Seribu hendak membun
"Hai! Apa tidak salah apa yang aku lihat ini?!" ujar Jin Muka Seribu dalam hati. Bibirnya bergetar, dadanya seolah mau meledak akibat debaran keras yang tiba-tiba muncul. "Tanda bunga dalam lingkaran..." desis Jin Muka Seribu. Muka raksasanya yang sebelumnya merah mendadak sontak berubah menjadi empat wajah kakek yang pucat pasi. "Tidak mungkin! Tidak mungkin!" kata Jin Muka Seribu setengah berteriak. Lalu tanpa menunggu lebih lama makhluk ini putar tubuh, melesat ke arah kegelapan dan lenyap ditelan kelamnya malam!"Apa yang terjadi...?!" bertanya Tringgiling Liang Batu. Maithatarun bangkit berdiri sambil pegang perutnya yang sakit bekas injakan Jin Muka Seribu. "Jelas dia hendak membunuhku. Tapi tidak jadi”"Dia berkali-kali menyebut kata-kata tidak mungkin. Apa gerangan yang tidak mungkin?" kata Bayu pula."Mungkin tadinya dia naksir padamu Maithatarun. Tapi setelah tahu kau ternyata laki-laki dia jadi kecewa besar. Itu sebabnya dia berucap tidak mungki
Maithatarun berpikir sejenak. Lalu dia anggukkan kepala. Diusapnya kuduk kuda berkaki enam yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Lalu dia turun dari punggung tunggangannya itu. “Kudaku, jangan kemana-mana. Tunggu di sini sampai kami kembali!”Kuda berkaki enam kedipkan dua matanya yang merah lalu menjilat tangan Maithatarun.“Maithatarun, kau harus pergunakan kesaktianmu agar langkah kaki batumu tidak mengeluarkan suara dan menggetarkan tanah. Aku khawatir orang yang meracau akan mendengar lalu melenyapkan diri sebelum kita sampai ke tempatnya.” berkata Bintang.“Hal itu sudah kupikirkan,” jawab Maithatarun. Dia mulai melangkah ke jurusan datangnya suara orang meracau. Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan mengandalkan tenaga dalam, setiap langkah yang dibuat Maithatarun akan mengeluarkan suara duk-duk-duk dan menggetarkan tanah yang dipijaknya. Tapi kali ini setelah dia mengeluarkan kesaktian maka setiap langka
“Kita harus berhati-hati Maithatarun,” kata Bintang.Seolah tidak perdulikan kehadiran Maithatarun dan tiga manusia cebol yang terikat di pinggangnya, makhluk yang tubuhnya seperti macan tutul di atas kuda hitam berkaki enam memandang tak berkesiap pada Jin Patilandak. Lalu orang ini dongakkan kepala dan dari mulutnya keluar suara meracau panjang seperti orang merapal mantera atau jampi-jampi.Sesaat kemudian perlahan-lahan kepalanya yang tadi mendongak diturunkan, mulutnya masih terus meracau sedang dua matanya menatap tajam kearah Jin Patilandak. Tiba-tiba racauannya putus. Dari mulutnya menyembur bentakan keras.“Jin Patilandak! Takdir telah jatuh atas dirimu! Pada hari pertama kau meninggalkan pulau kediamanmu. Maka hari itu pula kau akan menemui kematian! Aku akan menguliti tubuhmu! Aku memerlukan kulitmu yang berduri itu untuk kujadikan sehelai mantel sakti!”“Gila! Enak saja tua bangka bertubuh seperti macan tutul itu
Dalam hati dia yakin bahwa musuh memang berniat hendak menguliti membunuhnya. Dia meludah ke tanah lalu berkata. “Baru hari ini aku meninggalkan hutan Pahitamkelam. Tak kenal orang tak pernah punya musuh maupun seteru. Mengapa kau ingin mencelakai diriku? Mengapa kau inginkan jiwa dan ragaku?! Siapa kau sebenarnya?!”“Aku Jin Tutul Seribu! Sudah kubilang hari ini adalah hari takdir kematianmu! Jadi tidak perlu berbanyak tanya!” Habis berkata begitu Jin Tutul Seribu kembali keluarkan gerengan keras. Lalu tubuhnya berkelebat ke depan. Dua pisau siap menguliti tubuh Jin Patilandak sedang kuku-kuku jari mencari kesempatan merobek-robek!Jin Patilandak meludah ke tanah. Duri-duri di muka dan kepalanya berjingkrak kaku. Dari sepasang matanya tiba-tiba berkiblat dua larik sinar kuning. Menghantam ke arah dada dan perut Jin Tutul Seribu!“Maithatarun!” Bintang berteriak. “Bagaimanapun Jin Patilandak telah menjadi sahabat kita! K
Suara teriakan itu terdengar keras namun ada serangkum nada kelembutan pertanda orangnya memiliki rasa welas asih yang tinggi. Selain itu suara teriakan tadi datangnya dari kejauhan di sebelah timur rimba. Namun belum lagi gemanya lenyap sosok orang yang berteriak sudah muncul di tempat itu, tegak di atas batang pohon besar yang tumbang, delapan langkah di belakang Jin Tutul Seribu.“Astaga! Kalau bukan bidadari pasti yang muncul ini adalah Dewi paling cantik di negeri Kota Jin!” kata Arya dari balik pohon dengan sepasang mata dibuka lebar-lebar. Bayu leletkan lidah. Bintang sendiri diam-diam harus mengakui bahwa perempuan yang tegak di atas batang pohon itu memang lebih cantik dari Ruhjelita ataupun Bunda Dewi, maupun Dewi Awan Putih. Namun dibalik kecantikan itu dia melihat adanya satu bayangan aneh yang saat itu tidak bisa ditebaknya apakah bayangan itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang jahat atau hanya satu ganjalan yang terpendam di lubuk hati.
“Hanya itu yang kau ketahui?”“Ada satu hal. Nenek sakti itu tidak bakalan panjang umurnya!”“Hai! Mengapa kau bisa berkata begitu?” tanya gadis bernama Ruhcinta.“Karena aku akan membunuhnya!” jawab Jin Tutul Seribu sambil busungkan dada.“Mengapa kau hendak membunuhnya?” tanya Ruhcinta lagi.“Karena dia tidak tunduk padaku. Tidak mau tunduk pada pimpinan tertinggi Istana Surga Dunia!”“Siapa gerangan pimpinan tertinggi Istana Surga Dunia yang kau maksudkan itu?” Ruhcinta memburu terus dengan pertanyaan beruntun. Setiap bertanya senyum tidak pupus dari bibirnya yang bagus.“Hal itu tidak bisa ku terangkan saat ini,” jawab Jin Tutul Seribu.“Mengapa tidak bisa?”“Karena belum saatnya!”“Kalau begitu, kapan saatnya kau bisa memberi tahu?!” tanya gadis di atas batang kayu pula.&